Opini

Polemik MBG, Urgensi Peran Ahli Gizi, dan Solusi

Bagikan di media sosialmu

Oleh: Yusma Indah Jayadi (Mahasiswa Pascasarjana IPB)

Wacana-edukasi.com, OPINI–Polemik mengenai peran ahli gizi dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) memuncak setelah pernyataan Wakil Ketua DPR RI, Cucun Ahmad Syamsurijal, yang menyebut bahwa lulusan SMA dengan pelatihan tiga bulan sudah cukup mengelola dapur MBG (BBC Indonesia, 2025; KompasTV, 2025; Tempo.co, 2025).

Ucapan ini dipandang meremehkan kompleksitas ilmu gizi dan memicu gelombang penolakan dari kalangan profesional, akademisi, dan masyarakat luas.

Pernyataan tersebut memantik respons keras dari Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi). Organisasi profesi menegaskan bahwa MBG bukan sekadar urusan logistik makanan, tetapi intervensi kesehatan berskala nasional yang membutuhkan kompetensi tinggi: perencanaan menu berbasis Angka Kecukupan Gizi (AKG), pengawasan keamanan pangan, hingga edukasi gizi (Tempo.co, 2025). Program yang menyasar jutaan anak mustahil berjalan aman tanpa tenaga ahli.

Kontroversi semakin melebar ketika Badan Gizi Nasional (BGN) menyebut adanya kekurangan ahli gizi. Namun Persagi membantah klaim ini. Dengan 11.000 lulusan gizi baru setiap tahun, Indonesia tidak kekurangan tenaga profesional—yang kurang adalah sistem distribusi tenaga dan pendataan ketenagakerjaan yang akurat
(Tempo.co, 2025).

Polemik ini sekaligus menyoroti kualitas menu MBG yang berjalan di lapangan. Berbagai kritik muncul terkait menu tinggi pangan olahan seperti burger dan spageti, yang tidak sesuai prinsip gizi seimbang maupun pangan lokal(Tempo Editorial, 2025). Tanpa pengawasan ahli, risiko kekurangan atau kelebihan gizi, penurunan kualitas makanan, keracunan pangan, hingga pemborosan anggaran sangat besar. MBG rawan menjadi “Makan Bermasalah Gratis.”

Organisasi seperti CISDI dan ICW pun menilai bahwa tata kelola MBG perlu diperkuat. Mereka menyoroti lemahnya pengawasan, kurangnya standar baku, dan potensi ketidakefisienan anggaran. Setelah tekanan publik meluas, pemerintah akhirnya mempertegas kembali bahwa ahli gizi adalah syarat mutlak dalam MBG
(CISDI Report, 2024; ICW Analysis, 2024).

Secara garis besar, polemik ini memperlihatkan dua cara pandang yang saling bertabrakan: pandangan yang menganggap penyediaan makanan hanya urusan logistik, dan pandangan berbasis ilmu kesehatan yang menekankan pentingnya intervensi gizi yang benar untuk masa depan bangsa. Di sinilah akar persoalan: lemahnya penghargaan terhadap profesi gizi dan kurangnya pemahaman bahwa makanan adalah investasi SDM jangka panjang.

Solusi dalam Perspektif Islam: Mengembalikan Fungsi Negara sebagai Penjamin Kesejahteraan

Islam menawarkan fondasi solusi yang jauh melampaui perdebatan teknis “perlu ahli gizi atau tidak”. Islam memandang pemenuhan kebutuhan dasar rakyat, termasuk pangan, kesehatan, dan pendidikan, sebagai kewajiban negara—bukan proyek bantuan yang dilaksanakan setengah hati.

Pertama, negara wajib mengangkat tenaga ahli yang kompeten. Dalam sistem Islam, pemangku jabatan diangkat berdasarkan amanah dan kompetensi (al-quwwah wa al-amānah). Al-Qur’an memberi contoh jelas dari ucapan putri Syu’aib: “Sesungguhnya orang terbaik yang kamu pekerjakan adalah yang kuat lagi amanah.” (QS. Al-Qashash: 26)
Menerapkan hal ini dalam MBG berarti ahli gizi profesional menjadi bagian wajib dari sistem, bukan digantikan tenaga yang tidak memiliki keahlian. Tidak ada kompromi antara kompetensi dan efisiensi biaya.

Kedua, negara bertanggung jawab penuh terhadap keamanan dan kualitas pangan. Islam menetapkan pemerintah (khalifah/waliyul amri) sebagai penjamin keselamatan rakyat; tidak boleh ada program negara yang mengorbankan rakyat dengan makanan tidak layak atau bermutu rendah. Rasulullah ﷺ menegaskan: “Imam adalah pengurus rakyat, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR. Bukhari)

Ini menutup celah kelalaian dan korupsi yang sering dikhawatirkan dalam implementasi program besar seperti MBG.

Ketiga, distribusi tenaga ahli adalah kewajiban sistemik, bukan masalah individu. Dalam Islam, negara mengatur pemetaan tenaga ahli secara nasional, memastikan seluruh daerah mendapat tenaga kesehatan, serta menyediakan fasilitas dan insentif yang memadai. Tidak ada alasan “kekurangan ahli” selama negara menjalankan fungsinya secara struktural.

Keempat, pangan harus berbasis kesehatan, keberlanjutan, dan kemaslahatan. Islam menolak penyediaan makanan sekadar untuk mengenyangkan. Prinsip halalan thayyiban menekankan keamanan pangan, bahan yang tepat, kebermanfaatan kesehatan, dan kesesuaian dengan fitrah manusia. Program MBG seharusnya selaras dengan prinsip ini: menu berbasis pangan lokal, minim ultra-proses, dan memenuhi kebutuhan fisiologis anak.

Kelima, anggaran negara adalah amanah, bukan ruang kompromi. Konsep hisbah dalam Islam memungkinkan pengawasan ketat terhadap anggaran, mencegah mark-up dan pemborosan, dan memastikan setiap dana benar-benar kembali kepada rakyat. Ini menghilangkan potensi penyimpangan dan menjamin program berjalan efisien. Selain itu, mata kita jangan hanya tertuju dan fokus pada MBG mengingat alokasi dana yang jumbo misalnya fakta yang menunjukkan Dana program Makan Bergizi Gratis (MBG) sebesar Rp 70 triliun dikembalikan kepada pemerintah pusat oleh Badan Gizi Nasional (BGN) karena dana tersebut tidak terserap sepenuhnya hingga akhir tahun 2025 (Tempo, 2025). Disisi lain Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti minta tambahan Rp52,9 triliun. Untuk dana pendidikan namun hanya Rp400 miliar yang diberikan. Banyak aspek penting yang masih menjadi kewajiban negara namun terdampak efisiensi akibat dari MBG ini. Seharusnya semua hal pokok menjadi kewajiban negara tanpa terdampak efisiensi satu sama lain.

Islam memberi solusi menyeluruh dengan memastikan kompetensi profesional sebagai syarat wajib, pengawasan pangan yang ketat, distribusi tenaga ahli yang terencana, serta tata kelola negara yang bersih dan amanah, dan perhatian yang komprehensif pada hal penting lainnya yang tak boleh terlupakan pula dan lain-lain. Dengan pendekatan ini, bukan hanya program seperti MBG yang berjalan dan memenuhi kebutuhan tapi juga aspek lainnya pun selaras.

Wallahu a’lam bishshawab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 15

Comment here