Oleh : Gien Rizuka
Wacana-edukasi.com, OPINI–Pada September 2025 keadaan di Gaza sudah kian memprihatikan. Konflik antara Israel dan Palestina yang berlangsung bertahun-tahun lamanya telah terus menelan banyak korban serta berdampak pada kerusakan besar di wilayah tersebut.
Di Oktober 2023 saja, lebih dari 66.000 rakyat Gaza terdata tewas, terutama diantaranya ialah perempuan dan anak-anak. Serangan udara dan darat yang terus diluncurkan oleh Israel membuat wilayah Gaza nyaris rata. Kejinya, pada bulan ini pula Israel menyerang sebuah sekolah yang diubah menjadi kawasan perlindungan di Gaza City, hingga menewaskan anak-anak dan perempuan.
Di tengah kondisi seperti ini, kabar bala bantuan telah terdengar. Pasalnya, Global Sumud Flotill mengirim 50 armada Internasional untuk mengangkut bantuan kemanusiaan. Dengan membawa obat-obatan dan bahan pokok lainnya, mereka akan tiba di Gaza diperkirakan di akhir September atau awal Oktober.
Namun, tantangan rakyat Gaza tidak berakhir sampai di situ. Banyak fasilitas kesehatan di wilayah tersebut nyaris tidak tersisa dan tidak bisa beroperasi lagi. Akhirnya hal ini memperparah keadaan di Gaza sehingga kelaparan dan penyebaran penyakit kian mengkhawatirkan di sana.
Menurut Antonio Guterres selaku sekretaris Jenderal PBB, menuturkan bahwa keadaan Gaza kini mencapai titik paling memilukan yang pernah ia amati selama ini. Dengan ini, para tokoh dunia pun mendorong agar negara-negara lain turut menyusul untuk mengerahkan armada bantuan ke Gaza. (gazamedia.net, 29/9/25)
*Solusi dua negara yang tidak perlu dikaji lagi*
Gagasan solusi dua negara yang selama ini digaungkan dan kembali ditawarkan oleh Amerika Serikat dan negeri-negeri barat untuk menyelesaikan konflik antara Palestina dan Israel rasanya tidak perlu dikaji lagi.
Pasalnya sangat jelas, sejarah mengatakan gagasan ini tidak bisa dijadikan sebagai resolusi menuju keadilan, melainkan bisa dianggap sebagai bentuk jebakan politik. Adapun yang melatarbelakangi mengapa gagasan solusi dua negara ini muncul karena zionis Israel kewalahan membungkam para pejuang Gaza.
Mereka rakyat Gaza tetap istiqamah bertahan meski telah lama diblokade, di bawah gempuran militer serta tekanan ekonomi. Alhasil, mereka mengeluarkan kembali jurus menawarkan solusi dua negara dalam konflik ini. Namun apa yang terendus adalah ini menjadi cara halus untuk melindungi kepentingan Israel sendiri dan para pendudukungnya di Barat.
Menerima gagasan solusi dua negara berarti melonggarkan Israel dalam memperluas wilayahnya di Palestina. Pelajaran ini kita bisa ambil kembali dari sejarah bagaimana di 1948 wilayah rakyat Palestina telah menyusut drastis sejak Israel mendirikan negara di sana. Alhasil, bila gagasan ini tetap diterima, maka rakyat Gaza pun hanya akan mendapatkan sebagian kecil dari tanah historynya, sekitar 20%–30% saja atau bahkan bisa lebih menyempit lagi.
Menyetujui solusi ini pun yang berarti para tokoh internasional secara tidak langsung melanggar pasal 2 konvensi Genosida 1984 dan status Roma 1988, karena mereka ikut serta melegitimasi genosida dalam penguasaan wilayah Palestina oleh Israel.
Mirisnya, para pemimpin negeri muslim justru mendukung gagasan ini yang bisa
disebut sebagai pengkhianatan.Tatkala negeri-negeri muslim, termasuk Indonesia mangapresiasi solusi dua negara untuk menyelesaikan konflik di Gaza, justru hal ini akan melemahkan upaya untuk pembebasan Palestina secara total.
Alih-alih perjanjian ini dapat menghentikan genosida Israel terhadap Palestina, sementara yang ada Israel
lebih bebas tunggang langgang menyesuaikan diri di atas kepentingan geopolitik negara-negara barat. Solusi dua negara telah jelas hanya sebagai alat zionis untuk memperkuat kontrol Yarusalem Timur dan tepi Barat.
*Solusi Solutif Untuk Gaza*
Tragedi penjajahan yang terus terjadi di Gaza mencerminkan bahwa umat ini sedang tidak baik-baik saja sudah sejak lama. Tentu bukan rahasia lagi jika penjajahan di Palestina merupakan agenda yang terorganisir. Sayangnya, hanya pernyataan kecaman serta bantuan kemanusiaan saja yang negeri-negeri muslim kerahkan sebagai bentuk respon mereka terhadap krisis Gaza.
Dalam Islam, solusi hakiki masif ditawarkan. Kekuatan militer yang dibutuhkan Gaza saat ini. Jihad fisabilillah adalah solusi praktis atas penindasan Palestina. Di bawah kepemimpinan yang satu, kaum muslim dibina untuk memiliki hasrat keberanian politik yang barasaskan syariat Islam. Walhasil, kekuatan militer yang umat dambakan selama ini bisa terwujud di negara Islam. Bukan hanya menenteng kekuatan, para militer pun siap bersedia menyisir segala bentuk penjajahan yang sedang terjadi di berbagai negeri, termasuk imprealisme ala zionis Israel di Palestina.
Bahkan, mungkin peperangan ini bisa dimenangkan oleh kaum muslimin dalam hitungan jam saja. Secara menurut matematika manusia, jumlah zionis Israel lebih sedikit dibanding penduduk kaum muslimin di dunia. Hal ini merupakan potensi besar bagi kaum muslimin untuk mengalahkan zionis Israel.
Tentu hal ini memerlukan syarat akan daruratnya menyeru pada penegakkan Islam kaffah terlebih dahulu. Sebuah institusi yang akan membawa perubahan mendasar, bukan sekadar menawarkan atau pun menyepakati solusi diplomasi basi.
Sistem pemerintahan Islam merupakan institusi yang dibangun semata-mata atas dasar hukum syarak. Maka, respons yang diberikan disesuaikan kebutuhan. Jika terdapat negara atau pun individu yang meminta perlindungan untuk melawan agresi, maka secara cepat dan tangkas mereka bergerak menuju lokasi di mana pun pertolongan dibutuhkan.
Oleh karena itu, hanya dengan penerapan Islam kaffah, Gaza serta seluruh wilayah muslim yang juga masih tertindas akan miliki perisai sejati. Hal itu bisa terlihat dari disiapkannya bala bantuan kekuatan militer oleh negara serta merumuskan kebijakan politik yang pro pada umat.
Pemerintahan Islam pun bakal menjadi benteng pertama yang melindungi umat, menjaga darah, kehormatan dan harta, sebagaimana yang telah dituliskan dalam sejarah kejayaan Islam.
Views: 5

 

 
 
 
Comment here