Opini

Pemberantasan Korupsi hanya Ilusi dalam Demokrasi

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Ns. Ainal Mardhiah, S. Kep

wacana-edukasi.com, OPINI– Kasus korupsi yang terus meningkat dari tahun ke tahun menunjukkan bahwa sistem demokrasi yang diterapkan dinegeri ini tidak mampu memberikan solusi yang tuntas terhadap berbagai macam kasus korupsi. Hal ini disebabkan karena sistem demokrasi lah yang menjadi akar masalah kian menggurita korupsi di negeri ini.

Sepanjang tahun 2022 tercatat ada 579 kasus korupsi yang telah ditindak di Indonesia. Jumlah itu meningkat 8,63% dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebanyak 533 kasus. Dari berbagai kasus tersebut, ada 1.396 orang yang dijadikan tersangka korupsi di dalam negeri. Jumlahnya juga naik 19,01% dibandingkan pada 2021 yang sebanyak 1.173 tersangka (DataIndonesia.id, 21/03/2023).

Dikutip dari laman BBC News Indonesia, 07 Oktober 2023 peningkatan kasus korupsi juga menyeret para menteri, seperti yang terjadi baru-baru ini menteri keenam pada era pemerintahan Joko Widodo, Syahrul Yasin Limpo terjerat kasus dugaan korupsi. Hal ini bukan pertama kali terjadi. Selain Syahrul menteri lain yang terjerat kasus korupsi selama dua periode pemerintahan Jokowi adalah Idrus Marham, Imam Nahrawi, Edhy Prabowo, Juliari Batubara dan Johnny G. Plate.

Lebih lanjut, munculnya berbagai kasus korupsi dituding disebabkan lemahnya pengawasan presiden pada bawahannya. Namun, menurut peneliti Pusat Kajian AntiKorupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yuris Kurniawan mengatakan hal ini tidak saja menunjukkan pengawasan Jokowi yang lemah terhadap anak buahnya, tetapi juga disebabkan oleh tidak adanya perubahaan pemantauan oleh presiden terhadap para menteri.

Inilah bukti bahwa pemberantasan korupsi dalam sistem demokrasi hanyalah ilusi. Hal ini semakin menunjukkan bahwa sistem demokrasi bukanlah jalan keluar dan solusi tuntas untuk memberantas korupsi yang kian menggurita di negeri ini. Demokrasi yang notabene lahir dari sekularisme-kapitalisme justru menjadi biang (akar masalah) terjadinya peningkatan kasus korupsi, bukannya hilang malah makin bertambah dari hari ke hari.

Mahalnya sistem demokrasi telah menyebabkan para calon penguasa harus memiliki dana besar untuk memenangkan kontestasi. Selain itu, sistem demokrasi juga melahirkan para pemimpin yang rakus terhadap harta, tidak amanah dan qana’ah atas pemberian Allah dan tidak adanya efek jera terhadap para pelaku korupsi. Badan khusus yang dibentuk untuk menyelesaikan dan menuntaskan kasus-kasus korupsi belum mampu mencegah dan menghentikan kasus korupsi.

Undang-undang yang berlaku berikut sangsi bagi pelaku korupsi pun nampak belum memberi efek jera terhadap pelaku apalagi mencegah pihak lain melakukan perbuatan yang sama.

Istilah Indonesia sebagai “surga para koruptor” memang benar adanya. Korupsi sebesar apa pun, ujungnya bebas jua. Penanganan terhadap tindak pidana korupsi di Indonesia ditengarai tidak sungguh-sungguh meski ada lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tetapi dari waktu ke waktu tampak sengaja ada upaya pelemahan lembaga ini.

Sehingga banyak koruptor yang melenggang dengan bebas karena bisa membeli hukum. Para koruptor yang tertangkap dan dipenjara mereka juga leluasa beraktivitas di dalam lapas karena mendapatkan fasilitas mewah. Alhasil, sistem demokrasi sekuler merupakan penyebab maraknya korupsi di Indonesia.

Berbeda dengan sistem Islam, Islam memberikan solusi secara sistemis dan ideologis terkait pemberantasan korupsi. Dalam Islam kepemimpinan dan kekuasaan adalah amanah. Tanggung jawabnya tidak hanya di hadapan manusia di dunia, tetapi juga di hadapan Allah Swt. Akidah Islam memberikan solusi yang tidak hanya muncul ketika ada masalah tetapi juga mencegah sedari dini manusia untuk memiliki niat korupsi di awal.

Islam memberikan solusi tuntas untuk mencegah korupsi diantaranya:

Pertama, penerapan Ideologi Islam. Penerapan syariat Islam secara kafah dalam segala aspek kehidupan. Termasuk dalam hal kepemimpinan. Pemimpin negara (khalifah) diangkat untuk menjalankan pemerintahan sesuai dengan Al-Qur’an dan as-Sunah. Begitu pun pejabat lainnya. Mereka diangkat untuk menerapkan dan melaksanakan syariat Islam.

Kedua, pemilihan penguasa dan para pejabat yang bertakwa dan zuhud. Dalam pengangkatan pejabat atau pegawai negara, Khilafah menetapkan syarat takwa sebagai ketentuan, selain syarat profesionalitas. Ketakwaan menjadi kontrol awal sebagai penangkal berbuat maksiat dan tercela. Ketakwaan akan menjadikan seorang pejabat dalam melaksanakan tugasnya selalu merasa diawasi oleh Allah Swt.

Ketika takwa dibalut dengan zuhud, yakni memandang rendah dunia dan qanaah dengan pemberian Allah Swt sehingga pejabat atau pegawai negara betul-betul amanah. Sebabnya, bagi mereka dunia bukanlah tujuan.

Tujuan mereka hidup di dunia adalah demi meraih rida Allah Swt. Mereka paham betul bahwa menjadi pemimpin, pejabat atau pegawai negara hanyalah sarana untuk mewujudkan izzul Islam wal muslimin. Bukan demi kepentingan materi atau memperkaya diri dan kelompoknya.

Allah SWT melarang keras memakan harta dengan cara yang batil

وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ ࣖ

“Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS Al-Baqarah: 188)

Demikian pula, Rasulullah saw. melaknat perilaku yang demikian. Dari sahabat Abu Hurairah ra., beliau mengatakan, “Rasulullah melaknat penyuap dan yang menerima suap.” (HR Tirmidzi dan Ahmad)

Ketiga, pelaksanaan politik secara syar’i. Politik itu intinya adalah ri’âyah syar’iyyah, yakni bagaimana mengurusi rakyat dengan sepenuh hati dan jiwa sesuai dengan tuntutan syariat Islam. Bukan politik yang tunduk pada kepentingan oligarki, pemilik modal atau elit rakus.

Keempat, penerapan sanksi tegas yang berefek jera. Dalam Islam, sanksi tegas diberlakukan demi memberikan efek jera dan juga pencegah kasus serupa muncul berulang. Hukuman tegas tersebut bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati (Muslimah News. Com, 14/01/2023).

Hanya dengan penerapan Islam kaffah dalam naungan bingkai Khilafah yang mampu dan efektif dalam memberantas korupsi. Upaya ini membutuhkan kesungguhan dan komitmen semua pihak untuk segera mewujudkan sistem pemerintahan Islam yang akan menerapkan syariah Islam secara kafah. Imam Al-Ghazali rahimahulLâh berkata,

فَفَسَادُ الرَّعَايَا بِفَسَادِ الْمُلُوْكِ وَفَسَادُ الْمُلُوْكِ بِفَسَادِ الْعُلَمَاءِ وَفَسَادُ الْعُلَمَاءِ باِسْتِيْلاَءِ حُبِّ الْمَالِ وَالْجَاهِ

“Kerusakan masyarakat itu akibat kerusakan penguasa. Kerusakan penguasa adalah akibat kerusakan ulama. Kerusakan ulama adalah akibat mereka dikuasai oleh cinta harta dan jabatan.” Wallahualam bishawwab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 12

Comment here