Surat Pembaca

Paylater, Perangkat Kapitalisme

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Novi Ummu Jundi

Wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA–Di tengah tekanan hidup yang kian mencekik, masyarakat Indonesia justru dimanjakan dengan berbagai tawaran konsumtif. Salah satunya lewat skema buy now pay later atau yang dikenal dengan istilah paylater. Sekilas tampak membantu, padahal yang ditawarkan hanyalah kenyamanan semu yang menjerat rakyat dalam lingkaran utang.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, outstanding kredit paylater dari perbankan pada Februari 2025 mencapai Rp21,98 triliun. Meski turun dibandingkan Januari 2025 yang tercatat Rp24,76 triliun, angka ini tetap menunjukkan kenaikan signifikan sebesar 36,60% secara tahunan (www.ekonomi.republika.co.id, 11 April 2025). Artinya, semakin banyak rakyat menggantungkan pemenuhan kebutuhannya pada utang konsumtif.

Yang lebih mengkhawatirkan, peningkatan penggunaan paylater ini terjadi di tengah anjloknya daya beli masyarakat. Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) menyebutkan bahwa daya beli masyarakat di DKI Jakarta turun 20–25% selama momentum Lebaran 2025, padahal biasanya mengalami kenaikan (www.ekonomi.republika.co.id, 9 April 2025). Penurunan ini bukan sekadar gejala musiman, tetapi cerminan ketidakmampuan rakyat memenuhi kebutuhan pokok secara normal.

Di sisi lain, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) pun turut menambah derita. Kementerian Ketenagakerjaan mencatat sebanyak 77.965 orang terkena PHK sepanjang 2024, dan 4.050 orang lainnya sudah menyusul sepanjang Januari hingga Februari 2025 (www.ekonomi.republika.co.id, 29 Maret 2025). Ini menunjukkan bahwa banyak keluarga kehilangan sumber pendapatan tetap.

Namun anehnya, pemerintah tak menghadirkan solusi struktural atas persoalan ini. Yang terjadi justru sebaliknya: rakyat diberi kemudahan untuk berutang lewat aplikasi digital, diperdaya dengan narasi “keuangan inklusif” yang hanya menambah beban mental dan finansial. Bukannya disubsidi untuk makan, rakyat malah difasilitasi untuk menunda bayar belanjaan.

Skema paylater ini banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti belanja harian, obat, bahkan biaya sekolah. Namun lama-kelamaan bergeser menjadi alat pemuas gaya hidup: membeli gadget, baju baru, hingga tiket liburan. Tentu saja perubahan ini bukan terjadi begitu saja, melainkan dipengaruhi oleh algoritma iklan digital dan kultur konsumtif yang didorong oleh kapitalisme.

Padahal, Islam memandang utang sebagai perkara serius. Bukan untuk dimudahkan apalagi dibudayakan. Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang berutang dan berniat tidak melunasinya, maka ia akan bertemu Allah dalam keadaan sebagai pencuri.” (HR. Ibnu Majah). Dalam Islam, utang bukan sarana gaya hidup, tetapi solusi darurat dengan niat tulus untuk melunasi.

Apalagi jika dalam skema paylater itu disertai bunga, denda keterlambatan, atau biaya administrasi—semuanya termasuk dalam riba. Padahal Allah telah mengharamkan riba dalam firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, tinggalkan sisa riba yang belum dipungut, jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah: 278)

Yang lebih menarik, skema semacam ini sudah lebih dulu menjebak masyarakat negara maju. Di Amerika Serikat, penggunaan buy now pay later melonjak sejak pandemi. Namun pada 2023, Consumer Financial Protection Bureau (CFPB) mencatat peningkatan keterlambatan pembayaran secara signifikan, serta kecenderungan pengguna untuk menumpuk utang dari berbagai platform BNPL sekaligus (www.consumerfinance.gov, 15 September 2023). Hal ini mendorong pemerintah AS mulai mengatur regulasi ketat karena ancaman krisis kredit konsumen.

Sayangnya, alih-alih belajar dari negara lain, pemerintah Indonesia malah meniru. Bahkan menjadikan paylater bagian dari inklusi keuangan digital. Padahal solusi utang jangka pendek ini tidak menyelesaikan masalah utama, yakni tidak meratanya akses terhadap kebutuhan dasar dan rendahnya kesejahteraan rakyat.

Islam punya pendekatan yang jauh lebih adil dan manusiawi. Dalam sistem ekonomi Islam, negara wajib menjamin kebutuhan pokok rakyat seperti pangan, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan. Jika ada rakyat yang kesulitan, mereka diberi bantuan dari Baitul Mal. Negara juga wajib menciptakan lapangan kerja dan menjamin pengelolaan sumber daya alam untuk kepentingan rakyat, bukan diserahkan kepada swasta.

Rasulullah SAW bersabda:
“Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat, dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang dia urus.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Islam juga melarang sistem ekonomi berbasis riba. Tidak ada pembiayaan konsumtif berbunga atau jebakan psikologis yang mendorong rakyat hidup di atas kemampuan. Sistem keuangan Islam mendorong produktivitas, zakat, dan distribusi kekayaan yang adil—bukan menjerumuskan rakyat dalam lilitan utang.

Kini, tugas kita bukan hanya menyadarkan bahwa paylater itu berbahaya, tetapi juga menunjukkan bahwa ada sistem alternatif yang bisa melindungi rakyat: sistem Islam. Bukan hanya dalam skala pribadi, tetapi dalam tatanan negara. Karena selama kapitalisme masih mengatur arah kebijakan, rakyat hanya akan dijadikan objek pasar—bukan subjek pembangunan. [WE/IK].

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 1

Comment here