Oleh: Pri Afifah (Komunitas Muslimah Peduli Generasi)
Wacana-edukasi.com, OPINI–Bagi sebagian orang, rumah adalah tempat pulang, tempat bercengkerama, tempat bernaung dari panas dan hujan, tempat menyusun masa depan. Tapi bagi jutaan rakyat negeri ini, rumah hanya semacam mimpi. Data yang dirilis Kementerian PUPR menunjukkan bahwa 2,69 juta rumah di Indonesia tergolong tidak layak huni (BeritaSatu,13/5).
Rumah-rumah yang dimaksud bukan rumah-rumah kosong tak berpenghuni. Di sana tinggal keluarga, anak-anak, orang tua. Di balik dinding rapuh dan atap reyot, mereka bertahan hidup. Sebagian hidup di bantaran sungai, di kolong jembatan, bahkan di atas tumpukan sampah. Karena memang, tak ada pilihan lain. Harga tanah dan material bangunan naik setiap tahun. Gaji dan penghasilan rakyat tetap stagnan. Sistem hari ini membiarkan rakyat bertarung sendiri di tengah kerasnya pasar.
Pemerintah memang bicara soal sinergi dan solusi. Menteri Sosial Tri Rismaharini, seperti dilansir Detik.com pada 13 Mei 2025, menyatakan pentingnya kerja sama lintas sektor untuk menyediakan rumah layak huni bagi warga miskin. Bahkan Kementerian PUPR dan Kemensos menyatakan siap wujudkan rumah bagi warga miskin, sebagaimana diberitakan Kumparan (13/5/2025). Tapi rakyat sudah terlalu sering mendengar kalimat-kalimat semacam itu. Retorika yang menggantung di langit, tapi tak pernah menyentuh bumi kenyataan.
Yang terjadi di lapangan, pembangunan perumahan rakyat tetap dikendalikan korporasi besar. Motif utamanya: keuntungan. Rakyat bukan target utama, tapi objek yang bisa ditarik cicilannya. Rumah bukan lagi hak warga negara, tapi komoditas. Negara justru hanya berperan sebagai regulator, bukan penanggung jawab langsung. Inilah buah dari sistem kapitalisme. Sebuah sistem yang menilai segala hal berdasarkan nilai materi. Rumah tak lagi dipandang sebagai kebutuhan pokok, melainkan barang mewah yang hanya bisa dimiliki mereka yang punya cukup modal dan lolos syarat kredit.
Sistem ini bukan hanya gagal menjamin rumah layak untuk rakyat. Ia juga menciptakan kesenjangan yang luar biasa. Yang kaya bisa membeli rumah ke mana pun mereka mau. Satu keluarga bisa punya tiga hingga lima properti. Sementara di sisi lain, satu keluarga bisa tinggal bertujuh di ruangan sempit berukuran tiga kali tiga meter, tanpa ventilasi, tanpa sanitasi layak. Tak ada keadilan di sini.
Islam memandang rumah tidak sekadar tempat berteduh, melainkan kebutuhan asasi yang harus dipenuhi oleh negara. Dalam sistem Islam—dalam naungan Khilafah—rumah adalah bagian dari jaminan kesejahteraan yang tak bisa dipisahkan dari pangan dan sandang. Negara berkewajiban memastikan setiap warga memiliki tempat tinggal yang layak, aman, bersih, dan sehat.
Dalam sistem ini, tanah dan sumber daya alam tidak boleh dikuasai oleh korporasi. Islam menganggap tanah, air, dan energi sebagai kepemilikan umum. Negara harus mengelolanya demi kesejahteraan umat. Bahan-bahan bangunan pun tidak akan dikomersialisasikan sebebas-bebasnya. Karena prinsip ekonomi Islam adalah melayani, bukan mengejar keuntungan sebesar-besarnya.
Aturan Islam bahkan menyediakan solusi atas krisis lahan. Dalam salah satu kebijakan sistem Khilafah, jika ada tanah yang tidak dimanfaatkan oleh pemiliknya selama tiga tahun berturut-turut, maka negara boleh mengambil alih dan memberikannya kepada warga yang membutuhkan. Bayangkan jika ini diterapkan hari ini—berapa banyak tanah kosong milik spekulan bisa dialihfungsikan untuk perumahan rakyat?
Islam juga mencegah praktik riba yang menghancurkan. Saat ini, banyak keluarga yang terpaksa berutang demi bisa punya rumah, terjerat cicilan 20 hingga 30 tahun, kadang sampai meninggal pun belum lunas. Dalam Islam, sistem ribawi seperti ini diharamkan. Negara akan memastikan bahwa akses rakyat terhadap rumah tidak melibatkan praktik yang menindas.
Tak hanya itu, sistem Khilafah akan memastikan bahwa lingkungan tempat tinggal rakyat juga sehat secara fisik dan sosial. Tidak ada pencemaran limbah industri, tidak ada perumahan di pinggir TPA, tidak ada pemukiman yang rawan longsor dan banjir. Semua diatur dengan tata kelola berdasarkan hukum syarak yang memprioritaskan keselamatan dan kemaslahatan umat.
Khalifah sebagai pemimpin negara akan berdiri sebagai pelayan rakyat. Ia akan ditanya oleh Allah atas setiap rakyat yang tidak memiliki tempat tinggal. Ini bukan sekadar romantisme sejarah. Dalam peradaban Islam dulu, dari Baghdad hingga Kairo, dari Andalusia hingga Damaskus, rakyat mendapatkan hak perumahan tanpa harus mengemis. Bahkan para pelajar dan pendatang pun difasilitasi rumah tinggal. Negara hadir secara langsung, bukan melalui proyek BUMN atau kerja sama publik-swasta yang ujung-ujungnya penuh kepentingan bisnis.
Rakyat tak butuh janji-janji yang diulang tiap periode. Rakyat butuh sistem yang benar-benar menjamin hak mereka sebagai manusia. Rumah bukanlah kemewahan. Rumah adalah hak. Dan hanya sistem yang dibangun di atas landasan wahyu, bukan kepentingan kapital, yang bisa memenuhi hak ini secara adil dan menyeluruh.
Kita perlu berhenti berharap pada sistem yang terbukti gagal selama puluhan tahun. Kita perlu menengok kembali pada Islam, bukan sekadar sebagai agama pribadi, tapi sebagai sistem hidup yang memuliakan manusia. Dan Khilafah adalah institusi yang menjalankan sistem ini secara kaffah. Sebuah sistem yang tidak membiarkan satu pun rakyatnya hidup di gubuk reyot atau kolong jembatan.
Selama negeri ini masih tunduk pada kapitalisme, selama tanah dikuasai korporasi, selama pembangunan perumahan dikendalikan logika pasar, maka rumah akan tetap jadi mimpi bagi jutaan rakyat. Tapi saat Islam diterapkan secara menyeluruh, rumah bukan lagi sekadar dinding dan atap, melainkan simbol dari keadilan dan kemuliaan hidup. [WE/IK].
Views: 1
Comment here