Surat Pembaca

Mewujudkan SDM Unggul, Butuh Evaluasi?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Agustin Pratiwi

Wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA-Dilansir dari antaranews.com (7/4/2025), Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat menegaskan komitmennya untuk meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebagai salah satu prioritas utama dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2025–2029. Gubernur Kalbar, Ria Norsan, menyampaikan bahwa capaian IPM Kalbar pada 2024 sudah meningkat menjadi 71,19, naik 0,72 poin atau 1,02 persen dari tahun sebelumnya. Meski demikian, pemerintah menyadari bahwa angka ini masih tergolong rendah di tingkat nasional. Untuk itu, pemerintah membuka ruang bagi masukan publik agar perbaikan pembangunan manusia bisa lebih signifikan dan merata.

Namun, penting sekiranya untuk melihat bahwa tantangan dalam meningkatkan IPM tidak hanya soal perbaikan angka statistik, tetapi juga persoalan mendasar yang belum terselesaikan. Dalam konteks nasional, pemerintah Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mewujudkan visi Indonesia Emas 2045, yakni menjadi negara maju, mandiri, dan berdaulat. Ada tiga tantangan utama yang sering kali menjadi penghambat utama pembangunan manusia: ketimpangan pendidikan, kesenjangan ekonomi, dan meningkatnya intoleransi sosial.

Pertama, masalah ketimpangan pendidikan masih menghantui negeri ini. Sekolah-sekolah elit di kota besar menikmati akses teknologi, fasilitas lengkap, dan guru berkualitas, sementara daerah-daerah tertinggal masih berjuang dengan minimnya guru, fasilitas seadanya, bahkan gedung yang tidak layak. Pendidikan berkualitas yang seharusnya menjadi hak semua warga justru menjadi barang mewah yang hanya bisa dinikmati segelintir orang. Lebih ironis lagi, kurikulum nasional sering kali mengabaikan pembentukan karakter spiritual dan moral, padahal keduanya merupakan fondasi penting bagi kemajuan bangsa.

Kedua, kesenjangan ekonomi menjadi luka yang tak kunjung sembuh. Berdasarkan data BPS per Maret 2023, terdapat 25,90 juta penduduk Indonesia yang hidup dalam kemiskinan. Sementara itu, laporan World Inequality Report 2022 menunjukkan bahwa 10 persen orang terkaya menguasai sebagian besar kekayaan nasional. Sistem ekonomi kapitalistik yang dianut saat ini hanya menguntungkan para pemilik modal besar, sementara masyarakat kecil semakin tersingkir dari akses terhadap kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan perumahan.

Ketiga, intoleransi sosial terus meningkat di tengah sistem yang mengklaim menjunjung tinggi kebebasan dan keberagaman. Politisasi agama sering digunakan sebagai alat kekuasaan yang memperburuk konflik horizontal, memecah belah masyarakat, dan merusak persatuan nasional. Lebih memprihatinkan, kritik atas ketidakadilan sistem kerap dicap radikal atau subversif, sementara diskriminasi dilegalkan demi alasan stabilitas.

Berangkat dari tantangan-tantangan itu, penting bagi bangsa ini untuk mengevaluasi ulang paradigma pembangunan yang selama ini diadopsi. Dalam sistem kapitalistik, pembangunan kerap hanya dilihat dari sisi pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan aspek keadilan sosial dan martabat manusia. Contoh nyata bisa dilihat pada kasus penggusuran warga Rempang demi proyek Rempang Eco-City, di mana atas nama pembangunan, hak hidup dan nyawa rakyat kecil seolah bisa diabaikan begitu saja.

Islam menawarkan paradigma pembangunan yang berbeda. Dalam Islam, pembangunan manusia bukan semata-mata pencapaian materi atau statistik, melainkan pembentukan individu sebagai hamba Allah yang berilmu, berakhlak mulia, dan bermanfaat bagi masyarakat. Sejarah membuktikan, peradaban Islam pernah mencetak tokoh-tokoh besar seperti Ibnu Sina, Al-Khawarizmi, dan Imam Syafi’i yang karya-karyanya menjadi warisan dunia. Sistem Islam memberikan pendidikan gratis berbasis akidah, mengelola kekayaan publik untuk kemaslahatan rakyat, dan menjadikan kebijakan pembangunan sebagai sarana menjaga agama, akal, jiwa, keturunan, dan harta.

Jika bangsa ini benar-benar serius ingin memperbaiki kualitas SDM dan mencapai cita-cita besar Indonesia Emas 2045, maka perbaikan tidak cukup hanya pada level program atau kebijakan teknis. Yang lebih mendesak adalah evaluasi mendasar terhadap ideologi pembangunan yang dipegang. Tanpa perubahan paradigma, pembangunan hanya akan menjadi proyek formalitas yang jauh dari penyelesaian akar masalah. Sudah waktunya kita mempertimbangkan alternatif sistem yang terbukti berhasil membangun peradaban manusia yang unggul, adil, dan beradab. [WE/IK].

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 0

Comment here