Oleh: Pri Afifah (Komunitas Muslimah Peduli Generasi)
Wacana-edukasi.com, OPINI–Tragedi yang menimpa seorang bayi berusia dua tahun di Surabaya, yang disiksa hingga tewas oleh ayah kandungnya sendiri sementara sang ibu hanya merekam sambil tertawa, merupakan potret buram rapuhnya keluarga dalam sistem kehidupan hari ini. Berita yang dilansir Kompas pada 14 Juni 2025 itu, seakan menampar nurani publik. Bagaimana mungkin orang tua, yang secara fitrah berkewajiban melindungi, justru berubah menjadi penyiksa yang tidak punya rasa iba? Bagaimana bisa seorang ibu menyaksikan penderitaan anaknya dan memilih mengabadikan kekerasan itu seolah tontonan? Semua pertanyaan ini mengundang keprihatinan mendalam. Namun keprihatinan saja tidak cukup. Kita harus berani mengurai akar masalah yang lebih mendasar: sistem kehidupan sekuler kapitalis yang menjauhkan manusia dari nilai-nilai agama dan menjadikan rumah tangga kian rapuh.
Kasus ini bukan peristiwa tunggal. Dalam kurun waktu yang hampir bersamaan, media juga memberitakan kekerasan serupa yang terjadi di Riau, ketika sepasang suami istri menyiksa bayi temannya sampai meninggal, hanya karena merasa terganggu dengan tangisan anak itu. Jika ditarik lebih jauh, laporan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menunjukkan tren kekerasan terhadap anak terus meningkat dari tahun ke tahun, baik kekerasan fisik, psikis, maupun seksual. Data tersebut menunjukkan bahwa regulasi yang ada belum mampu menjadi tameng bagi anak-anak yang rentan menjadi korban.
Dalam banyak pernyataan resmi, pemerintah sering menegaskan pentingnya perlindungan anak, pembenahan ekonomi keluarga, dan penguatan regulasi. Namun, mengapa kekerasan terus terjadi? Karena solusi yang ditawarkan masih berkutat pada pendekatan administratif dan hukum positif semata, tanpa mengubah pola pikir masyarakat dan sistem nilai yang membentuk perilaku. Dalam paradigma sekular kapitalis, keberhasilan hidup diukur dari materi, kesenangan, dan kebebasan individu, bukan pada ketundukan kepada ajaran agama. Nilai kebahagiaan diidentikkan dengan kenikmatan duniawi. Tidak heran, banyak keluarga kehilangan makna sakral rumah tangga sebagai tempat tumbuhnya kasih sayang, amanah, dan ibadah kepada Allah.
Himpitan ekonomi kapitalisme juga kerap menjadi alasan kekerasan. Kebutuhan hidup yang makin tinggi, ditambah ketimpangan kesejahteraan, membuat emosi orang tua mudah meledak. Dalam kasus di Surabaya, diketahui ayah korban adalah buruh serabutan dengan penghasilan tidak menentu. Ketika tekanan ekonomi bersatu dengan lemahnya iman dan rapuhnya kontrol sosial, agresi pun menemukan jalannya. Tapi bukankah ini ironi? Bukankah seharusnya negara hadir dengan sistem yang menyejahterakan rakyat, bukan sekadar memberi imbauan sesudah anak kehilangan nyawa?
Kekerasan semacam ini juga lahir dari kegagalan negara dalam mendidik masyarakat dengan visi moral yang benar. Media massa dan media sosial hari ini banyak mempertontonkan kekerasan, perendahan martabat manusia, hingga pornografi yang merusak fitrah kasih sayang. Tayangan-tayangan yang normalisasi kekerasan dalam keluarga, baik secara verbal maupun fisik, membuat orang tua tidak lagi sensitif pada penderitaan anak.
Tidak sedikit yang akan berdalih bahwa Undang-Undang Perlindungan Anak sudah cukup. Namun kenyataan membuktikan, sekian banyak aturan itu tidak mampu menyentuh akar permasalahan. Karena aturan tersebut lahir dari ruh sekular, yang memisahkan agama dari kehidupan. Dalam paradigma sekularisme, agama ditempatkan hanya sebagai urusan privat. Akhirnya tidak ada mekanisme yang efektif untuk membentuk kepribadian manusia yang takut kepada Allah dan menjadikan iman sebagai kendali perbuatan.
Padahal, jika kita cermati, Islam memiliki konsep yang sangat jelas dan menyeluruh dalam membangun keluarga. Islam menempatkan rumah tangga sebagai institusi penting yang bertujuan membina ketenteraman, kasih sayang, dan pendidikan akhlak. Seorang ayah tidak hanya pencari nafkah, tetapi pemimpin yang wajib memelihara dan mendidik anak agar bertumbuh menjadi insan bertakwa. Ibu memiliki kedudukan mulia sebagai madrasah pertama. Rasulullah Saw bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari Muslim).
Konsep keluarga dalam Islam tidak bisa berdiri sendiri tanpa didukung sistem kehidupan yang menyeluruh. Islam menetapkan negara sebagai pihak yang bertanggung jawab menyejahterakan rakyat, memastikan kebutuhan pokok terpenuhi, dan menjaga lingkungan sosial agar bersih dari faktor-faktor destruktif. Negara dalam sistem Islam juga memiliki perangkat edukasi, mulai dari kurikulum sekolah hingga media informasi, yang semuanya berpijak pada akidah Islam. Pendidikan akhlak dan keimanan tidak hanya menjadi urusan keluarga, tetapi menjadi agenda negara.
Sebaliknya, dalam sistem kapitalis hari ini, kesejahteraan hanya menjadi jargon. Negara lebih sibuk menggenjot pertumbuhan ekonomi makro, tetapi membiarkan rakyat kecil bergelut dalam kemiskinan struktural. Orang tua yang hidup dalam tekanan ekonomi, minim ilmu agama, dan tidak memiliki sistem pendukung, mudah menjelma menjadi pelaku kekerasan.
Opini ini tidak bermaksud membenarkan perilaku biadab orang tua yang menyiksa anak. Mereka tetap harus diproses secara hukum. Namun kita harus jujur mengakui, kasus-kasus semacam ini akan terus berulang jika sistem kehidupan tidak diubah. Mengandalkan regulasi sekuler sama saja dengan menambal luka bernanah dengan plester tipis.
Islam sebagai sistem hidup yang kaffah, tidak hanya mengatur ibadah ritual, tetapi juga sistem sosial, ekonomi, dan pendidikan. Dalam Islam, negara wajib memenuhi kebutuhan pokok rakyat sehingga orang tua tidak terdorong melakukan kekerasan karena alasan lapar. Islam juga memiliki mekanisme amar ma’ruf nahi mungkar yang kuat di masyarakat, membuat lingkungan sosial menjadi pengawas moral kolektif.
Jika kita menginginkan anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang aman, penuh kasih sayang, dan menjunjung tinggi martabat manusia, maka kita harus jujur mengakui perlunya penerapan syariat Islam secara menyeluruh. Karena hanya dengan sistem yang berpijak pada wahyu, manusia mampu menahan nafsu amarah, memuliakan keluarga, dan takut pada pertanggungjawaban di hadapan Allah kelak.
Tragedi bayi dua tahun di Surabaya adalah cermin. Cermin yang memperlihatkan kerusakan sistem kehidupan hari ini. Jangan biarkan cermin itu hanya menjadi tontonan duka. Sudah saatnya umat Islam berjuang menegakkan sistem yang benar-benar melindungi generasi, yaitu sistem Islam yang kaffah. Hanya dalam naungan syariat, anak-anak akan hidup dengan rasa aman, tumbuh menjadi insan mulia, dan keluarga kembali menjadi surga dunia yang diberkahi Allah SWT.
Views: 4


Comment here