Surat Pembaca

Menyoal Jurus Stabilkan Harga dengan Beras SPHP

Bagikan di media sosialmu

Oleh: Nurlaini

Wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA–Manusia akan bertahan hidup ketika kebutuhan pokoknya dapat terpenuhi. Kebutuhan itu meliputi sandang, pangan, dan papan. Ketika populasi bertambah, maka akan bertambah pula kebutuhan pokoknya. Sama halnya dengan kebutuhan akan beras, ketika populasi di Indonesia bertambah maka kebutuhan beras ini akan makin meningkat. Tak hanya kebutuhan yang meningkat, bahkan di lapangan harga beras pun ikut meningkat, bahkan meroket tajam.

Guna mengatasi masalah harga ini, pemerintah menyalurkan SPHP (Stabilitas Pasokan Harga Pangan) untuk menurunkan harga beras dan ternyata upaya ini mengalami kegagalan. Jaminan pangan yang dijanjikan masih sebatas PHP atau Pemberi Harapan Palsu. Faktanya, masyarakat harus mengeluarkan dana lebih demi bisa membeli beras di kala ekonomi yang semakin keras. Bukankah seharusnya negara memberikan solusi yang lebih mumpuni dibandingan sekadar beras SPHP ini?

Berdasarkan data yang ada, pemerintah optimis bisa mencapai swasembada beras tahun ini karena stok beras tinggi. Namun menurut kumparan.com, masih ditemukan harga beras tinggi di 214 daerah. Upaya penyaluran beras SPHP dilakukan untuk menurunkan harga, tetapi gagal. Penyaluran beras SPHP ini tidak optimal, bahkan kualitas berasnya banyak dikeluhkan oleh masyarakat.

Dengan kualitas yang tidak sesuai harapan, masyarakat enggan membelinya meski harga relatif murah. Mereka lebih memilih mengeluarkan uang lebih demi mendapatkan kualitas yang lebih baik. Sebagai dampak dari hal ini, toko ritel juga enggan menjual beras SPHP karena dinilai kurang menguntungkan. Di sisi lain, bantuan pangan beras yang selama ini diberikan secara gratis terancam akan dihapus karena tidak adanya anggaran.

Anggaran bantuan tersebut justru dialihkan untuk pengadaan beras SPHP yang dianggap sebagai solusi untuk menstabilkan harga. Rakyat miskin pada akhirnya diarahkan untuk membeli beras ini. Beras yang menurut pemerintah sudah cukup murah, tetapi bagi rakyat miskin akan tetap terlihat mahal.

Menurut tirto.id, berdasarkan data BPS produksi beras mengalami surplus dibandingkan tahun lalu. Data tersebut bahkan baru pencapaian hingga bulan Oktober 2025. Menteri Pertanian, Amran Sulaiman, mengakui adanya anomali di sektor pangan, di mana stok beras nasional mengalami surplus namun harga komoditas tersebut tetap tinggi di pasaran. Hal ini seharusnya menjadi perhatian pemerintah, alih-alih fokus dengan swasembada beras SPHP.

Mimpi Swasembada beras tidak sejalan dengan fakta ditemukannya harga yang masih tinggi di lapangan. Stok yang melimpah menjadi ironi ketika negara tidak bisa menurunkan harga beras. Rakyat kesulitan membeli karena harga yang tinggi, sehingga akhirnya beras menumpuk di gudang Bulog. Bulog mengalami “obesitas” sehingga beras yang disimpan lama ini akan rawan mengalami penurunan kualitas, sebagaimana ditemukan pada beras SPHP. Langkah stabilisasi harga beras yang hanya bertumpu pada beras SPHP ini tidak akan efektif karena persoalan harga beras bersifat sistemis, yaitu terkait tata kelola nasional dari hulu hingga hilir.

Lembaga Bulog sendiri bermasalah dari sisi tata kelola sehingga beras bisa menumpuk di gudang dan tidak tersalurkan dengan baik. Praktik oligopoli dalam tata niaga beras berperan besar dalam memengaruhi harga beras di pasaran. Jika masalah ini tidak segera diselesaikan, harga yang ada akan tetap tinggi. Nyatanya Negara dalam sistem kapitalisme saat ini hanya menjadi regulator saja. Pemerintah yang seharusnya mengurusi kebutuhan rakyat, praktiknya di lapangan justru tidak menjamin ketersediaan pangan. Negara yang ada hanya memastikan stok aman, padahal fakta yang ada di lapangan harga beras tetap melambung tinggi. Hal ini adalah bukti buruknya sistem distribusi.

Dalam Islam, seorang pemimpin atau imam adalah raa’in yang wajib memastikan ketersediaan pangan (termasuk beras) di masyarakat dengan harga terjangkau sehingga sampai ke tangan konsumen, tidak sekadar hanya stok di gudang atau pasar. Khilafah akan membenahi jalur distribusi beras dari ujung permasalahan dan memastikan tidak ada praktik haram yang aka merusak distribusi, seperti oligopoli. Selain itu, khilafah tidak hanya fokus pada menjual beras, melainkan juga menjalankan solusi sistemis mulai dari produksi penggilingan, hingga distribusi akhir sampai ke konsumen. Bagi masyarakat miskin, negara bisa memberikan bantuan beras gratis dengan adanya anggaran dari baitulmal. Dalam khilafah, swasembada beras dengan harga yang terjangkau ini akan menjadi wujud nyata, tidak sekadar PHP belaka. Sudah sepatutnya negara melakukan segenap cara untuk mewujudkan hal itu dan Islam memiliki berbagai mekanisme untuk menjaga kestabilan harga pangan di tengah umat. Maka, bukankah sudah seharusnya kita beralih menuju pada Sistem Islam?

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 29

Comment here