Opini

Mengurai Fenomena Fatherless, di Tengah Sekularisme

Bagikan di media sosialmu

Oleh: Astrian Wulandari (Aktivis Dakwah Ngaglik, Sleman, DIY)

Wacana-edukasi.com, OPINI–Di antara derasnya arus media sosial, muncul satu istilah yang kian sering diucap dengan getir yaitu fatherless. Bukan sekadar ketiadaan ayah secara fisik, tetapi hilangnya kehadiran psikis, sosok pelindung yang mestinya menjadi sumber aman dan teladan bagi buah hati, cahaya hangat penuh penjagaan. Namun, ruh itu hilang bahkan sangat sulit ditemukan.

Mengutip laman Tempo.co (14/07/2025), Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga-Kepala BKKBN Wihaji menyatakan bahwa anak yang fatherless mengalami hambatan perkembangan emosi, sosial dan kognitif. Senada dengan hal tersebut, disampaikan oleh Sekda P3KP2KB Sleman Dra. Dwi Wiharyanti yang menyatakan bahwa anak yang tumbuh tanpa peran ayah beresiko mengalami gangguan emosional sepeti rasa minder, kesulitan beradaptasi dengan lingkungan hingga kehilangan kepercayaan diri dan masalah kesehatan mental.

Menurut laman kompas.id bertajuk “Seperlima Anak Indonesia Tanpa Pengasuhan Ayah”, disebutkan, bahwa Analisis Tim Jurnalisme Data Harian Kompas menunjukkan, 15,9 juta anak di Indonesia berpotensi tumbuh tanpa pengasuhan ayah atau fatherless. Angka ini setara dengan 20,1 persen dari total 79,4 juta anak berusia kurang dari 18 tahun. Temuan ini merujuk pada olahan data Mikro Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik Maret 2024.

Jika kita kaji lebih dalam, masalah fatherless tergolong kompleks. Keluarga tanpa sosok ayah baik karena perceraian, pekerjaan ayah di luar kota atau konflik rumah tangga biasanya sudah memiliki dinamika tersendiri. Tekanan ekonomi, hubungan tidak harmonis, atau pola asuh yang bermasalah sering turut memengaruhi kesejahteraan anak. Jadi sukar memisahkan apakah anak bermasalah karena fatherless atau justru karena kondisi sosial dan ekonomi keluarga yang melatarbelakangi fatherless itu sendiri.

Penyebab Mendasar Fatherless

Di konteks Indonesia, fenomena fatherless tidak lepas dari lemahnya pranata kesejahteraan keluarga di tingkat negara. Sistem kesejahteraan masih bersifat familistik, terutama ayah sebagai penanggung jawab kesejahteraan. Akibatnya ketika ayah absen atau kehilangan pendapatan, negara sejatinya gagal berfungsi sebagai penyangga sosial yang memadai bagi ibu dan anak. Karena regulasi berkaitan dengan hal tersebut belum hadir. Kalaupun ada, seperti Bansos berupa PKH, dan lain-lain sejatinya belum menjawab beratnya beban ekonomi yang dihadapi keluarga hari ini.

Selain itu, ketidakhadiran ayah seringkali tidak disebabkan oleh kehendak pribadi tetapi oleh sistem ekonomi yang memaksa mereka bekerja lebih lama atau di lokasi yang jauh demi memenuhi kebutuhan dasar. Di titik ini problem fatherless tidak hanya sekadar isu relasional, tetapi juga isu struktural. Bagaimana negara gagal menjamin keseimbangan antara kerja dan kehidupan keluarga.

Dengan beberapa faktor yang berkorelasi terhadap tingginya fatherless, nampaknya perlu ada pendalaman lebih jauh terhadap faktor yang dimunculkan tersebut. Fatherless tidak ujug-ujug hadir dan menjadi tren. Ia tumbuh dari sistem ekonomi sosial kapitalistik-sekuler yang menempatkan kerja dan materi diatas nilai keluarga.

Cara pandang kapitalistik sekuler yang cukup lama diadopsi oleh negeri kita telah nyata berhasil menukar nilai dengan angka, cinta dengan kompetisi. Sehingga, para ayah terseret dalam pusaran ekonomi yang menuntut waktu tanpa jeda, hingga peran qawwam perlahan memudar. Dari penjaga jiwa menjadi sekadar penyedia nafkah.

Di sisi lain, kapitalisme menanamkan ilusi bahwa keberhasilan seorang ayah diukur dari seberapa banyak ia menghasilkan materi, bukan seberapa hangat ia hadir di dalam rumahnya. Sementara, sekularisme menyingkirkan nilai spiritual dari rumah, mengubah keluarga menjadi sekadar “unit ekonomi”. Akibatnya, banyak ayah hidup dalam dilema, hadir di rumah, tetapi jiwa tertinggal di pekerjaan. Atau bahkan banyak ayah dipaksa memilih menjadi pencari nafkah atau ayah yang senantiasa hadir bagi keluarganya.

Di sinilah letak paradoksnya, satu sisi negara menuntut keluarga yang kuat, di sisi lain negara tidak menyediakan fondasi yang memungkinkan kehadiran dan kedekatan tumbuh di dalamnya. Kehadiran ayah sejatinya bukan sekadar urusan finansial. Ayah adalah fondasi emosional dan moral anak. Kehilangan sosok ayah yang hadir dengan hati, bisa membuat anak kehilangan arah dan krisis identitas diri. Inilah sejatinya mengapa masalah fatherless bukan hanya masalah keluarga, tapi krisis peradaban.

Sistem Islam Menjawab Fenomena Fatherless

Secara istilah, fatherless tidak lahir dari terminologi Islam. Istilah ini lahir dan berkembang di dalam peradaban kapitalis-sekuler. Secara realita, ketiadaan peran ayah memang banyak terjadi di masa Islam seperti yang terjadi pada nabi kita Muhammad SAW, Imam Syafi’i, Imam Bukhari, Ibnu Hajar Al Asqalani, Ibnu Hajar al Haitami. Namun, hal tersebut tidak membawa dampak ikutan seperti yang terjadi dalam sistem kapitalis sekuler saat ini. Bukan berarti Islam tidak memiliki perhatian terhadap peran ayah, tetapi justru Islam memperhatikan peran ayah dengan begitu jelas, seperti kisah Lukman al Hakim, Nabi Yaqub as, Nabi Ibrahim as yang tertuang dalam Al Qur’an.

Islam sebagai sebuah mabda’ (ideologi) memiliki cara pandang yang khas dalam melihat peran ayah dan negara. Dalam Islam, negara berkewajiban menjamin kesejahteraan agar ayah mampu menjalankan perannya tanpa dihantui tekanan ekonomi. Dimana negara menerapkan sistem ekonomi Islam yang dapat mendistribusikan harta sehingga tidak hanya berputar pada orang kaya saja. Ditambah lagi, pengaturan kepemilikan dan pengelolaan SDA bisa dinikmati hasilnya oleh rakyat yang tidak hanya dikuasai oligarki.

Selain itu, negara hadir menjamin lapangan pekerjaan bagi ayah sehingga mereka mampu memberi nafkah secara makruf. Bahkan sistem Islam juga memberikan santunan jika ada para ayah yang lemah sehingga tidak mampu bekerja. Sistem perwalian dalam Islam juga memastikan setiap anak memiliki figur ayah. Jika seorang anak kehilangan ayah, maka wali akan mengambil alih peran perlindungan dan bimbingan sebagaimana yang terjadi pada baginda Rasulullah SAW. Inilah bentuk tanggung jawab sosial yang mencegah anak tumbuh tanpa arah dan tanpa kasih.

Sistem Islam sejak dini menyiapkan para calon ayah yaitu laki-laki untuk fakih dalam agama termsuk paham ilmu pendidikan anak. Proses ini dilakukan secara formal dalam sistem pendidikan maupun nonformal dalam bentuk pembelajaran (talaqi) di masjid-masjid oleh para ulama seperti yang terjadi pada Imam Syafii atau Ibnu Hajar al Asqalani. Materi yang diajarkan tidak melulu tentang parenting, tetapi lengkap sejak aspek mendasar yaitu akidah hingga persoalan fikih praktis, akhlak, dan adab. Semuanya diselenggarakan secara kontinyu oleh negara dan gratis karena biaya ditanggung baitulmal.

Semua solusi tersebut menunjukkan posisi negara sebagai raa’in (pengurus rakyat).
“Imam (khalifah) itu pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus.” (HR. Al Bukhari dan Ahmad).

Oleh karenanya, fenomena fatherless yang terjadi di Indonesia adalah hasil dari diadopsinya sistem kehidupan kapitalis-sekuler yang berdampak pada mandulnya peran ayah. Bahkan menunjukkan negara yang kehilangan arah. Sudah semestinya gagasan sistem Islam dalam menyikapi fenomena fatherless ini diperjuangkan dalam format negara (Khilafah Islamiyah).

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 0

Comment here