Oleh Anggia Widianingrum
Wacana-edukasi.com, OPINI–Kecanggihan teknologi digital hari ini telah menjadi urat nadi di berbagai belahan dunia. Kecepatan informasi sudah menjadi kebutuhan bagi tatanan hidup hari ini. Bukan hanya tren gaya hidup, perilaku manusia pun bisa dibentuk dan diarahkan oleh pengembangan teknologi digital salah satunya media sosial.
Bagai pisau bermata dua, teknologi digital-media sosial tak luput dari sisi negatif terhadap psikologis penggunanya. Maka dari itu, pemerintah tengah berencana membuat peraturan pembatasan penggunaan media sosial (medsos) untuk anak-anak usia 13 – 16 tahun yang akan direalisasikan pada tahun 2026 mendatang. Pemerintah melalui Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid mengatakan bahwa Indonesia telah memiliki aturan terkait pembatasan akses akun medsos pada anak yang terbit pada Maret 2025, yakni PP Tunas Nomor 17 tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak.
Dalam PP tersebut, disebutkan terkait batasan usia anak dalam mengakses medsos, platform wajib memverifikasi usia, menyediakan fitur kontrol orang tua, menghapus konten berbahaya, dan dilarang melakukan pengumpulan data anak. Hal ini bertujuan menciptakan ruang digital aman dan ramah bagi anak. Anak usia 13 -17 tahun diperbolehkan memiliki akun pada produk dan layanan digital berisiko rendah hingga risiko tinggi tergantung platform masing-masing, disertai izin orang tua.
Langkah tersebut ternyata diikuti oleh beberapa negara dunia, Australia, Malaysia, dan Eropa yang saat ini sedang pada tahap penyusunan aturan (Kompas.com, 13 Desember 2025).
Namun, aturan pelarangan ini telah menuai kritik dari sejumlah pihak. Kritik muncul karena kebijakan tersebut dinilai tidak konsisten. Aturan yang melarang anak remaja memiliki akun medsos, sementara mereka masih bisa mengakses platform lain tanpa akun pribadi. Sedangkan sejumlah platform game online tidak termasuk dalam aturan larangan tersebut.
Dr. Daniela Vecchio, seorang psikiater yang mendirikan satu-satunya klinik gangguan game online di Australia berkomentar bahwa peraturan ini tidak masuk akal. Ia menilai game online dan media sosial sangat terhubung. Seorang yang bermain game online berlebihan biasanya juga menghabiskan waktunya di media sosial untuk melihat gamer lain atau menonton siaran langsung. Itulah cara mereka terhubung, jelasnya dilansir dari BBC, Sabtu (13/12/2025).
Vecchio juga menegaskan, bermain game online pada dasarnya tidak selalu berdampak buruk. Namun dalam kondisi tertentu, aktivitas tersebut dapat berkembang menjadi kecanduan. Studi di Universitas Macquarie pada 2022 mencatat sekitar 2,8 persen anak remaja Australia terdampak gangguan adiktif, meski ia menilai jumlah sebenarnya bisa lebih besar, tambahnya (Kompas.com, 13/12/2025).
menjadi bagian yang melekat pada kehidupan hari ini. Medos memberikan kemudahan untuk terhubung dengan orang lain, berbagi pengalaman dan dukungan. Memiliki pengaruh di setiap interaksi sosial, komunikasi, bahkan kesehatan mental.
Beberapa dampak buruk medsos terhadap penggunanya adalah pengguna bisa mengalami kecemasan, rendah diri, depresi, sebagai akibat dari rasa ketidakpuasan terhadap diri sendiri. Merasa diri tidak cukup baik karena selalu membandingkan dengan kehidupan orang lain. Paparan kekerasan secara fisik atau verbal, tayangan bullying, maupun komentar mengejek menyebabkan kurangnya rasa empati dan kepedulian, gangguan tidur, sulit konsentrasi, merasa sedih, putus asa, hingga sampai pada percobaan bunuh diri.
Menakar Efektivitas Pembatasan Medsos
Sangat disayangkan, peraturan yang seharusnya bisa menjadi benteng perlindungan generasi ternyata memiliki celah kelemahan. Anak masih bisa mengakses medsos dengan tanpa akun pribadi, atau bisa memiliki beberapa akun lainnya. Anak juga masih bisa mengakses game online yang bisa mengakibatkan kecanduan, yang bahkan organisasi kesehtan dunia (WHO) mengakuinya sebagai diagnosis resmi.
Aturan pembatasan medsos ini bukan solusi hakiki karena hanya bersifat administratif. Akar permasalahan sesungguhnya adalah pada hegemoni digital oleh negara adidaya kapitalis yang mampu mengontrol perilaku penggunanya (medsos dan game online) agar sesuai kepentingan mereka, yakni meraup keuntungan sebesar-besarnya. Tak peduli apapun dampak buruk yang ditimbulkan terutama pada generasi muda. Para raksasa digital Kapitalis ini mampu menciptakan algoritma yang bersifat adiktif guna terus menopang ideologinya.
Kapitalisme global tidak seutuhnya memberi edukasi dan pemahaman yang benar kepada pengguna layanan digital. Mereka hanya diarahkan agar bisa berlama-lama menikmati konten-konten random yang sifatnya emosional, individualis, dan materialistik, hingga generasi muda, yang dengan jiwa mudanya akan sangat rentan tersusupi pemikiran-pemikiran, pemahaman-pemahaman, bahkan potensi besar mereka dapat dengan mudah dibajak untuk kepentingan Kapitalisme.
Sehingga tak heran aturan ini tidak begitu dirasakan dampak baiknya, karena adanya tarik ulur kepentingan para korporasi.
Peraturan Pembatasan Akan Efektif Jika Negara Menerapkan Islam
Kecanggihan teknologi merupakan suatu keniscayaan di setiap zaman. Peradaban Kapitalisme Sekuler global yang saat ini berdiri telah menjadi landasan bagi teknologinya. Maka tak mengherankan jika keuntungan materi menjadi acuannya. Baik penyedia platform maupun para konten kreator yang mengejar viral demi hal ini, tak jarang menanggalkan batasan-batasan syariat.
Islam memiliki aturan tegas dari hal-hal yang akan membahayakan akal dan jiwa manusia. Islam memandang akal sebagai amanah dari Allah Ta’la, yang merupakan modal utama memahami kebenaran.
Penggunaan medsos berlebihan yang memicu gangguan mental dan akal aerta menjauhkan diri dari kewajiban agama merupakan perbuatan yang dilarang.
Tak hanya individu masyarakat, negara juga bertanggung jawab dalam hal penjagaan akal masyarakatnya. Karena fungsi seorang imam atau khalifah ialah sebagai pemimpin yang menjaga dan seorang pelindung bagi rakyatnya, termasuk melindungi akal warga negaranya.
Untuk bisa melindungi rakyat dari hegemoni digital, negara Islam Khilafah harus memiliki kedaulatan digital yang tidak tunduk dan bergantung pada ideologi laini apalagi berdiri sebagai objek pasar bagi raksasa digital Kapitalisme.
Mendukung penuh riset, inovasi sehingga teknologi akan menjadi alat pendukung kebenaran, bukan alat politik yang menjajah.
Dalam pengelolaannya, Khilafah akan menyaring secara ketat terhadap konten-konten yang melemahkan akal dan mengikis kepribadian Islam rakyatnya dengan teknologi mutakhir. Ruang digital diarahkan menjadi sarana penyebaran dakwah, media propaganda Islam, dan ketangguhan umatnya.
Negara akan membangun benteng keimanan dan kepribadian lewat penerapan Islam secara menyeluruh, meliputi keluarga, masyarakat, pendidikan, ekonomi, media, politik dalam dan luar negeri dalam rangka mempersiapkan serta menjadikan anak muda sebagai generasi khoiru ummah dan pemimpin masa depan. Amanah itu hanya bisa terwujud apabila negara menerapkan Islam secara kaffah. Hanya Khilafah yang mampu dan memiliki kapasitas pendanaan, politik, serta kedaulatan teknologi digital sehingga permasalahan generasi akibat Kapitalisasi liberal digital dapat diatasi dengan tuntas. Wallahualam bishshawab []
Views: 12


Comment here