Oleh: Umul Istiqomah
Wacana-edukasi.com, OPINI--Menjelang akhir tahun 2025, negeri ini tak henti-hentinya dikagetkan dengan peristiwa maraknya kasus keracunan akibat dari mengonsumsi Makan Bergizi Gratis (MBG). Kasus ini telah menimpa ribuan siswa di berbagai daerah di seluruh Indonesia. Namun, Jawa Barat menjadi provinsi di urutan pertama, dengan kasus keracunan MBG terbanyak.
Seperti beberapa waktu lalu, kasus keracunan makanan bergizi gratis (MBG) kembali terjadi pada Hari Rabu, 24 September 2025 di Kecamatan Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Kejadian ini hanya berselang 2 hari setelah sebelumnya pada Hari Senin terjadi keracunan di Cihampelas, Bandung Barat. Hingga Rabu sore, korban keracunan dilaporkan sudah mencapai lebih dari 200 orang. Sampel makanan tengah diperiksa untuk memastikan sumber pencemaran yang memicu kasus berulang ini. (Kompas.com, 24/09/25)
Proses penyediaan makanan di dapur langsung menuai sorotan berbagai pihak. Ahli gizi di setiap Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) diminta untuk melakukan pengecekan dari mulai pemilahan bahan baku. Kemudian setelah makanan dimasak perlu diperiksa secara ketat. (detik.com, 16/09/25)
Menurut Wakil Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Nanik S Deyang , kasus keracunan Makan Bergizi Gratis (MBG) yang terjadi di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat di luar nalar. Nanik mengaku terheran-heran dengan petugas dapur MBG setempat yang menyediakan bahan baku, tapi sudah tidak layak. Karena, ayam yang dijadikan lauk untuk MBG sebenarnya sudah dibeli sejak Sabtu. Namun, ayam itu baru dimasak hari Rabu, atau empat hari kemudian. (Kompas.com, 27/09/2025)
Alih-alih berniat baik, namun nyatanya MBG menyisakan fakta miris dengan banyaknya kasus keracunan yang mewarnai terealisasinya program ini. MBG (Makan Bergizi Gratis) adalah sebuah program unggulan yang digaungkan oleh presiden terpilih saat kampanye, yang sudah mulai terealisasi sejak awal tahun 2025, artinya kurang lebih sudah 9 bulan berjalan dan mencakup seluruh provinsi di tanah air.
Tujuan adanya program MBG ini sebenarnya baik, diantaranya untuk menekan angka malnutrisi dan stunting, meningkatkan asupan gizi masyarakat, terutama pada kelompok rentan seperti anak-anak dan ibu hamil serta memperkuat pembangunan SDM demi mewujudkan Indonesia emas. Pemerintah berpikir cara praktis yang menjadi solusi terwujudnya niat baik tersebut adalah dengan memberikan Makan Bergizi Gratis. Namun apa daya, nyatanya pemerintah terlihat belum siap dalam merealisasikan janji ini, mengingat besarnya biaya yang harus di anggarkan untuk pengadaan MBG yakni sebesar 171T di 2025, di saat negara sedang menghadapi krisis APBN. Otomatis pemerintah harus memutar otak agar MBG ini benar-benar berjalan.
Alhasil, seperti sekadar ingin merealisasikan janji kampanye saja, program MBG yang berada di bawah lembaga non kementerian yakni Badan Gizi Nasional ini berjalan dengan terseok-seok. Bagaimana tidak? Hingga akhir September jumlah kasus keracunan MBG sudah menyentuh angka 6.452 kasus di puluhan kota dan kabupaten di seluruh Indonesia. Tentu ini bukan jumlah yang sedikit, mengingat pada setiap kasusnya, puluhan bahkan ratusan anak menjadi korban keracunan. Belum lagi, adanya kasus SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi) bodong pada 361 titik di Kabupaten Bandung. Tak ayal program ini menjadi bancakan kepentingan pihak-pihak tertentu yang ingin menikmati cipratan dana.
Penyebab utama mengapa kasus keracunan ini dapat terjadi yakni karena kurangnya pengawasan dari semua lini. Mulai dari pengawasan kelayakan dapur SPPG, proses pemilahan bahan baku, proses memasak hingga pengecekan makanan yang sudah matang oleh ahli gizi sebelum di distribusikan kepada para penerima MBG yang seharusnya di awasi dengan ketat dan seksama. Ditambah lagi, dengan besarnya biaya yang di gelontorkan kepada setiap unit SPPG, bila pengawasan dalam pengelolaannya tidak tersistem dengan baik dan ketat, tentu akan sangat rentan kepada penyimpangan dan penggelapan dana yang berakibat pada realisasi makanan yang di dapat oleh masyarakat. Bukannya makanan bergizi malah bisa jadi yang dibagikan adalah makanan basi yang pada akhirnya berdampak pada munculnya kasus – kasus keracunan.
Inilah bobroknya sistem kapitalisme, di mana berlaku kaidah menghalalkan segala cara yang penting untung. Sehingga banyak praktik-praktik ‘kotor’ di lapangan, yang tidak relevan dengan tujuan utama pemberian MBG ini. Adapun tujuan MBG yang mengklaim untuk mengurangi stunting, pun sebenarnya tidak menyentuh akar masalah jika diberi solusi dengan cara memberi MBG. Karena saat ini masih banyak persoalan lain yang lebih besar dan urgent yang seharusnya di tangani oleh negara, bukannya malah sibuk bagi-bagi makanan gratis yang itu pun sangat minim persiapan. Alhasil, bukannya menjadi solusi, malah justru menambah persoalan baru di negeri ini.
Berbeda dengan Islam, di mana kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, dan papan merupakan tanggung jawab kepala keluarga sesuai dengan kemampuan masing-masing. Adapun negara di dalam sistem Islam, berfungsi sebagai penyokong utama kepala keluarga agar bisa memenuhi kebutuhan pokok tersebut, yakni dengan menyediakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya. Kemudian, jika dalam beberapa kondisi, kepala keluarga tidak bisa memberikan nafkah karena sakit misalnya, tentu negara di sini akan memberikan bantuan sampai kepala keluarga tersebut mampu memenuhi kebutuhan pokok keluarganya secara mandiri. Sehingga, masyarakat bukan di ajarkan untuk memiliki mental pemalas, yang dalam benaknya tidak usah bekerja pun akan mendapatkan bantuan. Padahal, Islam tidak mengajarkan umatnya untuk tidak berikhtiar, sebaliknya, Islam justru mendorong agar umatnya mau untuk memberdayakan segala karunia yang Allah berikan demi kelangsungan hidupnya. Sebagaimana dalam Q.S Al Jumu’ah ayat 10 : “Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” Ayat ini menjelaskan bahwa setelah menunaikan kewajiban untuk beribadah, umat Muslim dianjurkan untuk kembali beraktivitas di bumi dengan penuh semangat dan optimisme, baik dalam bekerja, berdagang, menuntut ilmu, atau mencari nafkah.
Selain menyediakan lapangan pekerjaan untuk para pencari nafkah, dalam hal ini kepala keluarga. Negara pun harus memberikan edukasi kepada Ibu rumah tangga, bagaimana caranya agar makanan bergizi itu tersaji di setiap rumah. Karena, tidak sedikit masyarakat yang secara finansial terlihat mampu menghadirkan makanan sehat untuk keluarganya, namun fakta di lapangan justru keluarga tersebut sering diberi makanan instan siap saji (junkfood). Artinya setelah seorang kepala keluarga di motivasi untuk terus berikhtiar mencari nafkah dan seorang ibu di rumah telah di beri edukasi terkait bagaimana menyajikan makanan bergizi. Maka, persoalan stunting ini sedikit demi sedikit seharusnya dapat teratasi.
Oleh karenanya, sebaiknya MBG ini di kesampingkan dahulu, agar negara fokus pada upaya memperbaiki taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat dengan tersedianya lapangan kerja yang banyak dan luas, perbaikan layanan di segala bidang baik pendidikan, kesehatan, sarana transportasi dan lain-lain. Sehingga, anggaran negara bisa digunakan pada hal-hal yang tepat sasaran. Dan itu semua dalam pandangan bahwa negara menyediakannya sebagai bentuk tanggung jawab dan kewajibannya sebagai pelayan rakyat. Bukan sebagai penyedia layanan berbasis bisnis seperti halnya pemerintahan kapitalis. Tentunya negara yang dapat melakukan hal ini hanyalah negara yang menerapkan sistem Islam secara Kaffah.
Wallahu ‘alam bishowab
Views: 19

 

 
 
 
Comment here