Tabligul Islam

Lonjakan Harga Pangan, Buah Sistem Salah

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Ayu Winarni

wacana-edukasi.com, OPINI– Siapa yang tak kenal dengan Indonesia. Negara dengan segudang kekayaan yang tersimpan didalamnya. Baik di darat maupun di laut, masing-masing memberikan limpahan kekayaan untuk manusia. Indonesia sungguh tanahnya diberkahi. Bahkan ada ungkapan dalam Bahasa Jawa, ‘Gemah Ripah Loh Jinawi’ yang maknanya tentang ketentraman, kemakmuran serta kesuburan tanahnya.

Tanah Indonesia menyimpan kekayaan sumber daya alam (SDA) yang melimpah ruah. Kondisi ini yang menjadikan Indonesia dilirik negara-negara besar dunia. Sampai saat ini, Indonesia menjadi target investasi negara-negara maju. Meski begitu, Indonesia masih terkategori negara berkembang. Why? Parahnya lagi, ditengah limpahan kekayaan sumber daya alam (SDA), termasuk sumber daya pangan, rakyat Indonesia justru dibuat merana dengan harga-harga pangan yang sering terjadi lonjak tinggi.

Dilansir dari CNBC Indonesia, Jum’at (24/11/2023), bahwa harga beberapa bahan pangan terpantau terus bergerak naik. Beras mengalami kenaikan harga sebesar 20% lebih dan cabai 90% lebih. Untuk komoditas pangan yang lain mengalami kenaikan 10% lebih dari harga acuan atau eceran yang ditetapkan oleh pemerintah. Sementara itu, kenaikan upah minimum propinsi (UMP) lebih rendah dari kenaikan bahan pokok pangan yang tidak lebih dari 10%.

Untuk masyarakat dengan ekonomi menengah kebawah tentu kenaikan harga pangan ini akan sangat berimplikasi terhadap roda kehidupan. Bayangkan, akibat kenaikan harga pangan, biaya pengeluaran belanja untuk bahan pangan pokok harus ditambah lagi baik dari memangkas anggaran belanja untuk kebutuhan yang lain dan sebagainya. Kebutuhan pangan senantiasa harus dipenuhi, sementara pemasukan masyarakat tak seberapa bahkan minus. Patut dipertanyakan dan diselidiki. Apa gerangan yang tengah terjadi di balik ungkapan Indonesia bumi ‘Gemah Ripah Loh Jinawi’?

Faktor Harga Pangan

Beberapa sumber menyebutkan bahwa kenaikan harga pangan ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya, karena perubahan iklim, belum memadainya infrastruktur pendukung pertanian, masih kurangnya pemanfaatan teknologi, lahan yang berkurang, berkurangnya jumlah petani, hingga rendahnya produktivitas pertanian. Perubahan iklim memang rentan terhadap aktivitas pertanian. Namun kondisi ini tidak selalu merata di setiap daerah di Indonesia. Seharusnya negara bisa memaksimalkan pasokan pangan pada daerah-daerah yang tidak terjadi perubahan iklim yang ekstrim.

Beberapa faktor lain yang disebutkan di atas masih pada persoalan teknis yang masih bisa diatasi jika memang benar-benar ditangani dengan serius oleh negara. Kemudian jika demikian faktornya, seharusnya pemerintah sudah mewanti-wanti dari jauh-jauh hari untuk meminimalisir dampak kemungkinan yang terjadi. Faktor-faktor ini menjadi tanggung jawab negara dalam upaya meningkatkan produktivitas pertanian. Negara harus menyediakan sarana dan prasarana dalam mendukung kegiatan pertanian guna tercapainya produktivitas yang diharapkan.

Alih-alih mengharapkan hasil produksi yang tinggi, justru yang terjadi saat ini kegiatan pertanian dihadapkan pada beban berat. Mulai dari harga benih unggul yang tinggi, harga pupuk yang meroket, biaya produksi mahal dan sebagainya. Di tengah biaya produksi yang melambung tinggi, negara justru menerapkan kebijakan impor pangan. Maka lengkaplah derita yang dialami petani. Lagi-lagi negara absen dalam masalah ini.

Kebijakan kapitalisme

Persoalan harga pangan tidak terlepas dari kebijakan negara itu sendiri. Harus kita sadari bersama bahwa negara kita saat ini berlandaskan pada kapitalis. Maka, landasan ini yang kemudian menjadi sumbangsih terbesar terhadap persoalan harga pangan.

Atas dasar landasan ini yang kemudian kebijakan negara hanya berfokus pada materi belaka, yang kemudian karenanya lahirlah para pemilik modal. Antara penguasa dan pemilik modal ini terjadi politik transaksional. Antar kedua pihak sama-sama mencari keuntungan (simbiosis mutualisme). Artinya, kebijakan negara akan disetir oleh para pemodal. Sehingga dalam hal ini negara hanya berperan sebagai regulator saja. Akibatnya, lahirlah mafia-mafia pangan yang berkuasa dari hulu hingga hilir.

Berbagai kebijakan yang lahir dari negara kemudian akan berpihak pada korporat (mafia) termasuk pada persoalan pangan. Bahkan para korporat tak segan mendesak pemerintah melakukan kebijakan impor pangan mendekati panen raya dan para korporat bisa membeli dengan harga murah kepada petani kemudian ditimbun. Ketika stok terbatas, para mafia bisa memainkan harga yang dikehendaki. Sehingga yang terjadi adalah lonjakan harga tidak bergantung penawaran dan permintaan pasar tapi pada korporat.

Islam adalah solusi

Islam tak sekadar agama tapi juga Ideologi yang melahirkan seperangkat aturan-aturan didalamnya. Termasuk juga mengatur masalah pangan. Islam memiliki politik pertanian yang khas yang tidak dimiliki agama lain. Politik pertanian dalam Islam dijalankan untuk meningkatkan produksi pertanian yang ditempuh dengan membantu pengadaan benih, memberikan modal, penyebaran teknik-teknik modern kepada para petani serta mendorong rakyat menghidupkan tanah mati.

Dengan menempuh jalan tersebut, akan tercapailah peningkatan produksi pertanian dan terwujudlah tujuan dari produksi pertanian. Dengan begitu negara tidak akan kekurangan pangan yang mengharuskan adanya impor pangan. Selain itu, negara juga wajib mendorong rakyatnya untuk memiliki hasil produksi untuk diekspor keluar negeri. Hal ini dilakukan guna mendapatkan mata uang negara lain untuk membeli bahan-bahan yang diperlukan untuk melakukan revolusi industri, karena industri adalah ujung tombak dari kemajuan.

Jika terjadi kenaikan harga pangan yang melambung tinggi yang disebabkan akibatnya pelanggaran yang dilakukan oleh manusia itu sendiri, maka dalam hal ini negara harus turun tangan langsung untuk mengatasinya dan memberikan sangsi tegas terhadap tindakan penipuan harga dan penimbunan. Hal ini pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat setelahnya. Khalifah Umar bin Khattab bahkan sampai melarang orang berbisnis sebelum orang itu paham hukum fiqih terkait bisnis itu sendiri.

Negara dalam Islam akan benar-benar mengurus persoalan rakyatnya dan menjamin semua kebutuhan tercukupi dengan baik. Bahkan jika terpaksa impor, negara tetap mempertimbangkan terkait produk dalam negeri. Kebijakan seperti ini hanya ada dalam Islam dan terbukti mampu memberikan kesejahteraan bagi rakyat.
Wallahua’lam bisshawwab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 33

Comment here