Oleh: Lely Nv (Aktivis Generasi Peradaban Islam)
Wacana-edukasi.com, OPINI–Dalam gelombang unjuk rasa yang membanjiri jalanan, Generasi Z (Gen Z) menunjukkan gaya baru dalam berunjuk rasa, dari Kathmandu hingga Jakarta. Berbeda dengan generasi sebelumnya yang cenderung konfrontatif atau diam, Gen Z menghadapi tekanan dengan kreativitas, humor, dan ketegasan tanpa kekerasan. Ciri khas mereka hari ini bisa dilihat di berbagai sosisal media dengan meme satir, poster unik dan tagar viral untuk menarasikan kritikan. Mereka juga membangun solidaritas dengan berbagi logistik (minuman, masker). Aksi yang biasanya hanya orasi penuh ketegangan, mereka ubah ketegangan menjadi lelucon kolektif untuk memperkuat ketahanan mental. Di samping itu aksi berjalan damai sebab mereka memilih membawa tumbler, sunscreen dan powerbank, alih-alih aksi anarkis. Kompas.com
Menurut Anastasia Satriyo, Psikolog Anak dan Remaja, Gen Z memiliki mekanisme pertahanan psikologis yang disebut “face”. Mekanisme ini memungkinkan mereka menghadapi ancaman secara rasional, asertif, dan tetap terhubung secara emosional. Ini berbeda dengan respons generasi lama seperti “fight” (lawan), “flight” (lari), atau “fawn” (menurut).
Namun, Rose Mini Agoes Salim, Psikolog, mengingatkan adanya potensi resiko. Remaja di bawah umur biasanya rentan terprovokasi karena kontrol diri yang belum matang. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat puluhan pelajar menjadi korban dalam demonstrasi, beberapa bahkan kehilangan nyawa. Gen Z juga rentan terhadap FOMO (Fear of Missing Out), yang dapat memicu partisipasi hanya untuk diakui keberadaannya secara sosial, bukan didasari pemahaman mendalam.
Apakah pendekatan psikologis ala “face” saja cukup untuk perubahan sistemik?
Sayangnya literasi Gen Z sebagian masih terbatas. Alhasil Gen Z mudah diarahkan oleh popularitas dan tren, alih-alih menilai substansi kebijakan. Mereka rentan terbawa arus viral tanpa filter yang kritis.
Ditambah kepemilikan media oleh elite politik yang berisiko mengubahnya menjadi mesin propaganda, bukan sarana edukasi. Gerakan ‘face’ bisa saja dikerdilkan hanya sebagai produk psikologis generasi tertentu, sehingga mengaburkan akar masalah terkait sistem zalim yang harus segera diubah.
Pendekatan kapitalistik cenderung berorientasi pada bagaimana Gen Z bisa “beradaptasi” dengan tekanan, bukan pada bagaimana menghilangkan tekanan sistemik itu sendiri. Seolah diarahkan fokus hanya pada adaptasi, bukan perubahan hakiki.
Solusi Sistem Islam: Mengarahkan Energi Gen Z untuk Perubahan Hakiki
Islam menawarkan kerangka yang jelas untuk mengarahkan energi Gen Z menuju perubahan yang substantif dan berkelanjutan. Tidak hanya memenuhi fitrah manusia dalam menolak kezaliman dan mendambakan keadilan. Dengan gerakan Gen Z yang merupakan bagian ekspresi modern dari naluri mempertahankan diri, Islam memandu naluri ini melalui syariat, bukan sekadar pendekatan psikologis, untuk mencapai solusi hakiki yang menghilangkan kezaliman secara sistemik. Misalnya, kritikan yang dibuat sedemikian kreatifnya ditunjukkan untuk menasehati penguasa tetap dilakukan dengan cara yang benar/tidak melanggar koridor syara’. Sebab, Islam telah mengatur mekanisme kontrol penguasa yang jelas. Sebagaimana tercantum dalam QS An-Nahl: 125 dan hadis tentang pemimpin para syuhada, Islam mendorong untuk menegur penguasa zalim.
Arah tujuan kritikan Gen Z haruslah jelas, tidak bermuara pada viralitas semata, tetapi tetap ditunjukkan untuk mengembalikan kebijakan agar sesuai dengan norma hukum dan prinsip keadilan dalam Islam. Kesadaran Gen Z juga perlu dibangun bahwa solidaritas jangan sampai hanya bersifat temporer melainkan menuju Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam) yang kuat dan berkelanjutan daripada solidaritas sesaat hanya karena tren. Sebab, kesewenang-wenangan, ketidakadilan, kezaliman yang dihadapi hari ini bukan hanya lokal melainkan menjadi persoalan global yang menimpa khususnya umat Islam di Palestina dan negeri-negeri lainnya. Maka penting menjadi evaluasi bersama, solidaritas ini menjadi sebuah sistem, bukan sekedar aksi.
Dari kesadaran politik Gen Z yang mulai bangkit, dengan aksi nyata turun ke jalan tetap perlu diedukasi agar memiliki pemahaman mendalam bahwa tujuan akhir aktivitas politik hakikatnya untuk menegakkan kedaulatan di bawah syariat Allah mewujudkan kehidupan Islam yang mampu menjaga kemaslahatan manusia, bukan sekedar ganti rezim atau kebijakan di sistem yang sama. Berulangnya kerusakan moral, ekonomi, sosial dan pendidikan secara sistematis hanya bisa diubah dengan sistem lain yakni Islam. Sebab Islam tidak condong pada hawa nafsu alias ketamakan manusia, tapi berlandaskan keadilan yang sumbernya dari Pencipta manusia.
Aktivitas Gen Z ini memiliki akar dan nilai yang sejalan dengan tradisi muhasabah dalam Islam. Gen Z adalah pemuda sebagai Garda Perubahan (Agent of Taghyir). Sejarah Islam pernah mencatat peran pemuda seperti Ali bin Abi Thalib dan Mus’ab bin Umair sebagai tulang punggung dakwah. Gen Z adalah penerus tradisi ini. Energi mereka harus dialihkan kepada kreativitas dan inovasi mendasar pada sistem. Perlunya solidaritas lintas generasi lain (milenial, Gen X) untuk membingkai gerakan Gen Z dalam konteks yang lebih luas, mencegah eksploitasi, dan memastikan perubahan berjalan substantif (nyata).
Gen Z bukan sekadar generasi dengan gaya protes yang estetik. Mereka menjadi suara naluri manusia yang menuntut keadilan. Estetika dan humor adalah bahasa zaman mereka, namun esensinya adalah tuntutan akan sistem yang lebih adil.
Potensi besar mereka untuk menjadi katalis kebangkitan umat akan terwujud jika tidak hanya mengandalkan mekanisme “face”, tetapi juga dilengkapi dengan literasi kritis dan dipandu oleh nilai-nilai hakiki dari fitrah dan syariat Islam.
Islam pun tidak mematikan energi mereka, tetapi mampu mengarahkan dari sekedar reaksi dan estetika yang rentan dieksploitasi menjadi aksi sistematis, berkelanjutan dan berbasis solusi yang menyentuh akar persoalan. Sistem Islam mampu memberikan peta dan kompas yang jelas untuk perjalanan menuju perubahan hakiki dan mendasar. Maka peradaban Islam menjadi satu-satunya jawaban yang terbukti pernah memberikan gambaran nyata keadilan dan kesejahteraan dapat dirasakan oleh seluruh umat manusia yang bernaung di dalamnya.
Dengan edukasi pemahaman Islam inilah diharapkan kritikan Gen Z bukan sekadar fenomena sesaat, tetapi mampu menjadi penerus estafet perjuangan para syuhada, hingga keadilan dan kesejahteraan bisa kembali nyata dirasakan umat manusia.
Views: 7
Comment here