Opini

Krisis Sunyi di Balik Senyum Anak Negeri

Bagikan di media sosialmu

Oleh: Fira Nur Anindya

Wacana-edukasi.com, OPINI–Fenomena meningkatnya gangguan kesehatan mental di kalangan pelajar kian mengkhawatirkan. Dalam sepekan terakhir saja, dua kasus dugaan bunuh diri yang melibatkan anak di Cianjur dan Sukabumi, Jawa Barat, menggemparkan publik (Kompas, 31-10-2025). Seorang siswa SD berusia 10 tahun dan siswi SMP berusia 14 tahun mengakhiri hidupnya dengan cara tragis. Surat yang ditinggalkan korban di Sukabumi mengungkap luka batin krisis sunyi di balik senyum anak negeri.

Fenomena meningkatnya gangguan kesehatan mental di kalangan pelajar kian mengkhawatirkan. Dalam sepekan terakhir saja, dua kasus dugaan bunuh diri yang melibatkan anak di Cianjur dan Sukabumi, Jawa Barat, menggemparkan publik (Kompas, 31-10-2025). Seorang siswa SD berusia 10 tahun dan siswi SMP berusia 14 tahun mengakhiri hidupnya dengan cara tragis. Surat yang ditinggalkan korban di Sukabumi mengungkap luka batin mendalam akibat perundungan di sekolah:

“Saya hanya ingin ketenangan… ucapan teman-teman membuat saya lelah.”

 

Data dari Kementerian Kesehatan pun menunjukkan krisis tersembunyi di kalangan generasi muda. Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono Harbuwono, mengungkapkan lebih dari dua juta anak Indonesia mengalami gangguan kesehatan mental, berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan jiwa yang menjangkau sekitar 20 juta jiwa (Republika, 30-10-2025).

 

Di sisi lain, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menegaskan lemahnya sistem deteksi dini di sekolah dan keluarga. Komisioner KPAI, Aris Adi Leksono, menekankan pentingnya membangun early warning system di sekolah dan komunitas. Guru BK, teman sebaya, serta keluarga harus mampu mengenali tanda-tanda stres, depresi, dan penurunan semangat belajar sejak awal (Republika Network, 31-10-2025).

 

Bahkan di level global, isu ini turut mencuat di dunia digital. OpenAI melaporkan bahwa lebih dari satu juta pengguna ChatGPT setiap pekan membahas percakapan yang mengarah ke keinginan bunuh diri (TechCrunch, 27-10-2025).

Angka ini mencerminkan keresahan besar terhadap fenomena kesepian, tekanan hidup, dan ketidakmampuan manusia modern menemukan makna keberadaannya, bahkan di tengah kemajuan teknologi. mendalam akibat perundungan di sekolah: “Saya hanya ingin ketenangan… ucapan teman-teman membuat saya lelah.”

Data dari Kementerian Kesehatan pun menunjukkan krisis tersembunyi di kalangan generasi muda. Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono Harbuwono, mengungkapkan lebih dari dua juta anak Indonesia mengalami gangguan kesehatan mental, berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan jiwa yang menjangkau sekitar 20 juta jiwa (Republika, 30-10-2025).

Di sisi lain, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menegaskan lemahnya sistem deteksi dini di sekolah dan keluarga. Komisioner KPAI, Aris Adi Leksono, menekankan pentingnya membangun early warning system di sekolah dan komunitas. Guru BK, teman sebaya, serta keluarga harus mampu mengenali tanda-tanda stres, depresi, dan penurunan semangat belajar sejak awal (Republika Network, 31-10-2025).

Bahkan di level global, isu ini turut mencuat di dunia digital. OpenAI melaporkan bahwa lebih dari satu juta pengguna ChatGPT setiap pekan membahas percakapan yang mengarah ke keinginan bunuh diri (TechCrunch, 27-10-2025). Angka ini mencerminkan keresahan besar terhadap fenomena kesepian, tekanan hidup, dan ketidakmampuan manusia modern menemukan makna keberadaannya, bahkan di tengah kemajuan teknologi.

Sistem Dunia Hari Ini Kehilangan Ruhnya

Kasus-kasus tragis ini menunjukkan bahwa krisis mental anak bukan hanya masalah pribadi atau keluarga, tetapi buah dari sistem sosial dan pendidikan yang kehilangan arah ruhiyah.

Modernitas menjanjikan kemajuan dan kebebasan, namun dalam praktiknya melahirkan generasi yang terasing dari diri dan Tuhannya. Arus sekularisme yang memisahkan nilai spiritual dari kehidupan publik, membuat banyak keluarga kehilangan panduan hidup yang menyeluruh. Padahal Islam Allah turunkan secara sempurna dan menyeluruh. Akibatnya, pendidikan, kesehatan, hingga kebijakan sosial berdiri di atas paradigma materialistik, bukan tauhid.

Krisis ini bukan sekadar kegagalan individu, tetapi cacat sistemik karena realitanya negara belum sepenuhnya menempatkan pembinaan akidah dan akhlak sebagai prioritas utama pendidikan. Layanan kesehatan jiwa masih bersifat reaktif, bukan preventif. Sementara masyarakat yang mestinya menjadi benteng sosial, kini kian individualistis. Islam sebenarnya telah memberikan panduan yang sempurna. Allah berfirman,“Barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit…” (QS. Thaha: 124). Maka, penyembuhan sejati bukan hanya terapi psikologis, tetapi pengembalian manusia kepada tauhid, iman, dan kesadaran akan tujuan hidupnya sebagai hamba Allah.

Jalan Kembali Menuju Sistem yang Menenteramkan

Kini, jelas bahwa solusi parsial tak cukup untuk mengobati luka generasi ini. Kita memerlukan perubahan mendasar dalam cara berpikir dan mengatur kehidupan, yang menjadikan wahyu sebagai poros. Islam menawarkan sistem hidup yang kaffah, rahmat bagi seluruh alam yang mengatur manusia dengan keseimbangan antara hak individu, tanggung jawab sosial, dan ketaatan kepada Allah. Namun semua ini hanya bisa terwujud dalam naungan institusi resmi berupa sistem kepemimpinan Islam, atau bisa disebut dengan Khilafah Islamiyah yang menaungi negara berlandaskan syariat Islam (Daulah Islamiyah).

Kalau sistem Islam diterapkan secara total dalam naungan Daulah Islamiyah yang dipimpin oleh seorang khalifah, maka perubahan yang terjadi bukan sekadar tambal sulam program sosial atau kebijakan kesehatan mental, tetapi perubahan paradigma hidup secara menyeluruh dari akarnya.

Pada sistem pendidikan, kurikulum akan berporos pada pembentukan akidah dan akhlak, bukan sekadar skill dan nilai ujian. Anak sejak dini harus ditanamkan makna hidup sebagai hamba Allah, bukan sekadar “calon pekerja sukses”. Guru dan sekolah diberi mandat untuk membina kepribadian Islam, bukan hanya kompetensi kognitif. Rasulullah SAW bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Sistem sosial dan keluarga akan dipastikan oleh negara menjadi tempat pertama dan utama bagi pendidikan ruhiyah anak. Peran ibu dimuliakan sebagai madrasah pertama, bukan sekadar pengasuh. Ayah dibimbing dan dipaksa negara (secara sistemik) untuk menunaikan tanggung jawab kepemimpinan rumah tangga. Program sosial bukan sekadar bantuan tunai, tetapi pembinaan akidah, akhlak, dan solidaritas masyarakat berbasis iman.

Media dan informasi dibatasi dari konten yang merusak fitrah (pornografi, gaya hidup hedonis, ide liberal, dll). Disiarkan konten yang menguatkan ruh, menenangkan hati, menanamkan rasa cinta kepada Allah, dan menghargai kehidupan.Allah berfirman, “Barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh dia akan menjalani kehidupan yang sempit, dan Kami akan kumpulkan dia pada hari Kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thaha [20]: 124).

Pelayanan kesehatan mental dan psikologi dalam khilafah bukan bersumber dari teori sekular barat, tetapi dari pemahaman fitrah dan ruh manusia sebagaimana dijelaskan oleh Al-Qur’an dan sunnah. Layanan konseling tidak hanya sekadar mengajarkan cara bertahan dan menenangkan diri sendiri saja dalam situasi sulit tetapi tazkiyatun-nafs diarahkan oleh ulama, psikolog muslim, dan masyarakat yang saling menasihati dalam kebenaran.

Menjemput Fajar Kebangkitan Umat

Kini, di tengah gelombang kegelapan moral dan krisis makna hidup, masih ada secercah cahaya yang tak pernah padam. harapan untuk kembali hidup dalam sistem yang diridhai Allah. Umat ini bukan kehilangan kemampuan, tetapi kehilangan arah, karena dipisahkan dari sumber kekuatannya, yakni syariat Islam yang sempurna. Ketika hukum Allah hanya dijadikan pelengkap spiritual, bukan pedoman hidup yang menyeluruh, maka kehampaan batin dan kekacauan sosial menjadi keniscayaan.

Maka perubahan itu harus dimulai dari kesadaran individu yang berbuah pada gerakan kolektif. Setiap muslim, sekecil apa pun perannya, memikul amanah untuk menegakkan nilai-nilai Islam dalam lingkup keluarganya, komunitasnya, hingga masyarakat luas. Dari sinilah proses menuju penerapan syariat secara kaffah akan menemukan jalannya, bukan karena paksaan, tetapi karena cinta dan keyakinan bahwa aturan Allah-lah yang paling layak mengatur hidup manusia.

Kita sedang berada di ambang fajar. Krisis ini sejatinya adalah panggilan agar umat kembali bersatu di bawah naungan sistem khilafah yang menjunjung tinggi syariat Allah. Saat kesadaran itu menguat, umat akan menyaksikan lahirnya kembali peradaban Islam, peradaban yang memuliakan manusia, menenangkan jiwa, dan menegakkan keadilan sejati. Dalam Daulah Islamiyah yang berlandaskan syariat Allah, anak-anak tak lagi kehilangan arah, ibu-ibu kembali bahagia membesarkan generasi beriman, dan masyarakat berdiri kokoh sebagai penjaga akidah. Inilah kehidupan yang penuh rahmat, di mana setiap jiwa kembali menemukan makna hidupnya, yaitu menjadi hamba Allah yang berjuang menegakkan kebenaran hingga akhir.

Wallahu a’lam bi shawab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 4

Comment here