Opini

Korupsi Meningkat, Bukti Demokrasi Gagal?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Nurhikmah (Team Penulis Idiologis Maros)

Wacana-edukasi.com — Bukan menjadi rahasia umum lagi jikalau korupsi telah menjadi aib juga racun dalam demokrasi. Sama halnya dengan narkoba, orang berbondong-bondong termasuk para pemimpin negeri membuat slogan anti korupsi, mulai dari “Indonesia Tanpa Korupsi”, “Jagalah dirimu dan keluargamu dari korupsi”, “Katakan tidak pada korupsi”, “Say No to Corruption”, dan lain sebagainya. Namun, slogan tersebut nyatanya tak cukup ampuh bahkan tak memberikan efek apapun untuk menghentikan laju peningkatan kasus korupsi di Indonesia.

Dilansir dari Detik News.com (06/12/2020), Lembaga Survei Indonesia (LSI) melakukan survei terhadap tren persepsi publik tentang korupsi di Indonesia. Hasilnya, 45,6 persen responden menilai korupsi Indonesia meningkat dalam 2 tahun terakhir.

Direktur LSI, Djayadi Hanan kemudian melanjut, dengan menjelaskan hasil survei penilaian terhadap kinerja pemerintah dalam waktu 1 tahun terakhir. Pada bagian mencegah korupsi, dia menerangkan 28 persen masyarakat menganggap kinerja pemerintah dalam mencegah korupsi semakin baik. Lalu sebanyak 37 persen menganggap tidak mengalami perubahan dan 26 persen mengatakan semakin buruk. Hal ini menandakan bahwa hanya 28 persen masyarakat yamg menganggap kinerja Pemerintah dalam menangani korupsi semakin baik, selebihnya menganggap tidak mengalami perubahan bahkan semakin buruk.

Para koruptor tersebut pun tak kenal buluk, mulai dari pejabat tingkat daerah, provinsi, hingga nasional, termasuk dilakukan juga oleh para menteri negara. Sebagai contoh tak lama ini, KPK menetapkan Menteri Sosial Juliari Batubara sebagai tersangka kasus dugaan suap bantuan sosial corona. KPK menyebut total uang yang diduga diterima Juliari Batubara sebesar Rp17 miliar.
Sungguh menyayat hati, bukannya simpatik pada rakyat yang terkena dampak pandemi covid-19, malah hak rakyat ia nikmati sendiri. Sangat pantas kiranya mereka digelari sebagai sosok yang serakah juga tak tau berterima kasih, sudah digaji oleh rakyat dengan tanggungan pajak yang berjibun, malah menambahnya dengan mengambil sesuatu yang harusnya menjadi hak dari rakyat. Miris sekali!

Kegagalan Demokrasi Menuntaskan Korupsi

Sekularisme-kapitalis sebagai ideologi pengusung demokrasi membuat korupsi menjadi suatu hal yang tak mustahil untuk terus tumbuh dengan subur. Sebab, sekularisme sendiri merupakan ideologi yang memisahkan antara aturan agama dengan politik juga negara. Sedangkan kapitalis adalah paham yang mengukur segalanya hanya dengan manfaat dan materi. Maka wajar, jika para pemimpin yang terpilih dari sistem demokrasi adalah para pemimpin calon koruptor, sebab mereka memang hanya mengejar keuntungan materi tanpa memedulikan nilai-nilai agama dan tanpa mempertimbangkan halal/haramnya suatu perbuatan.

Selain itu, biaya politik demokrasi yang mahal membuat para pemimpin yang terpilih malah memanfaatkan kakuasaannya untuk mengembalikan modal serta sebagai upaya balas budi kepada para korporat yang berada dibelakangnya yang turut memodali proses pencalonannya sebagai pemimpin.

Upaya pengembalian modal serta balas budi kepada para korporat dengan jalan korupsi tersebut tentu sangat mudah dilakukan ditengah sistem demokrasi, sebab hukum yang diemban dalam sistem ini ibarat hukum pisau dapur, yaitu hukum yang hanya tumpul ke atas namun tajam ke bawah.

Jika pelaku kejahatan dilakukan oleh rakyat bawah atau rakyat miskin hukum nampak sangat tegas meski kejahatan yang diperbuatnya tidak seberapa, dan jika suatu kejahatan dilakukan oleh para pemilik modal atau para penguasa, hukum nampak sangat lembek meski kejahatan yang dilakukannya merugikan banyak pihak bahkan negara.
Hukum yang tidak adil tersebut tercipta, sebab dalam demokrasi yang membuat hukum adalah para penguasa itu sendiri dan juga mereka yang mengaku sebagai wakil rakyat. Padahal notabanenya manusia adalah makhluk yang serba terbatas dan memiliki hawa nafsu, sehingga sangat mudah tercipta suatu hukum yang lemah dan justru hanya memihak pada kepentingan para pembuatnya.

Islam Lahirkan Pemerintah Bersih

Pemerintah bersih artinya pemerintah yang bebas dari segala bentuk koruspsi baik dari kasus suap menyuap, penggelapan khas negara, pemerasan, penyalahgunaan jabatan, maupun perbuatan curang lainnya. Pemerintah yang bersih juga terbebas dari pengendalian para pemilik modal juga pihak asing.

Pemerintah yang bersih tentu tak bisa lahir dari sistem yang berasal dari hawa nafsu manusia, tetapi hanya bisa lahir dari sistem yang shahih yaitu sistem Islam yang berasal langsung dari pencipta manusia dan seluruh alam ini ialah Allah Swt.

Sejarah banyak mencatat bahwa dengan penerapan sistem Islam segala bentuk korupsi dapat ditekan dan ditangani dengan baik. Salah satu contohnya pada masa kekhilafahan Umar bin Khatab. Saat Umar bin Khatab menjabat sebagai khalifah cara ia mencegah dan mengatasi malasah korupsi dengan melakukan inspeksi/pemeriksaan terhadap segala kekayaan para pejabatnya dan menyita harta yang kedapatan bukan dari gaji yang semestinya. Harta sitaan lalu dikumpulkan di baitulmal untuk digunakan bagi kepentingan rakyat. Khalifah Umar juga memecat pejabat yang melakukan korupsi dan memberikan sanksi tegas. Sebab, Islam memandang korupsi sebagai perilaku haram sehingga layak mendapatkan sanksi yang menjerahkan.

Kemudian dengan asas akidah Islam ditambah dengan proses pengangkatan pemimpin yang tidak memerlukan biaya mahal, meniscayakan pemimpin yang terpilih dalam sistem Islam akan dapat dijamin kualitas baik potensi maupun keimanannya, sehingga ia bisa memahami dengan benar bahwa amanahnya sebagai pengurus rakyat kelak akan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah. Maka dengan itu, ia akan senantiasa berupaya menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya dan menghindari segala bentuk pelanggaran yang Allah murkai, termasuk tindakan korupsi.

Wallahua’lam bishshawab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 10

Comment here