Opini

Katakan Big No untuk Judi Online

blank
Bagikan di media sosialmu

Penulis: Ummu Haneem

Wacana-edukasi.com, OPINI–Sejak runtuhnya Khilafah Utsmaniyyah pada 1924 umat Islam bagaikan anak kehilangan ibunya. Parahnya, setelah itu kehidupan masyarakat berada di bawah cengkeraman sistem kapitalisme yang berlandaskan pada sekularisme. Dampaknya, umat Islam kehilangan jati diri. Di samping itu, terjadi degradasi moral, pengikisan akidah, dan ketidakjelasan arah tujuan hidup hakiki.

Hadirnya sekularisme di tengah-tengah umat seperti halnya rayap yang diam-diam merayap di akar pohon iman. Lambat laun menggerogoti nilai-nilai akidah umat Islam. Akidah terkikis, pada akhirnya umat menjunjung tinggi ide-ide kebebasan dan netralitas agama. Mereka tidak mau kehidupannya diatur oleh agama. Benar-salah dan cinta-benci ditentukan oleh selera masing-masing.

Betapa sangat berbahayanya virus sekularisme! Virus tersebut tidak hanya menjangkiti remaja, dewasa, dan yang sudah menua. Namun, juga anak-anak. Satu persoalan genting yang tengah terjadi di antara sekian kasus yang sedang viral adalah anak-anak terpapar judi online (judol).

Berdasarkan data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) per 8 Mei 2025, tercatat bahwa sekitar 197.054 anak usia 10-19 tahun terlibat dalam aktivitas judol dengan nilai deposit mencapai 50,1 miliar pada triwulan I – 2025 (beritasatu.com, 19/05/2025). Kemudian, dilansir dari CNBC Indonesia, jumlah deposit yang dilalukan oleh pemain berusia 10-16 tahun adalah lebih dari Rp 2,2 miliar (08/05/2025).

Mendapati kenyataan di atas bahwa jumlah anak yang terpapar judol sudah melebihi 100.000 jiwa, tentu hal tersebut memunculkan keprihatinan bagi publik dan jangan sampai angka tersebut terus merangkak naik. Adapun penyebab persoalan tersebut, tidak lain adalah gaya hidup materialistik. Ya, dalam kapitalisme kebanyakan orang ingin cepat kaya, bergelimang harta. Ingin hidup dalam kemewahan yang menggiurkan. Sekalipun masih berusia 10-16 tahun, tapi bisa jadi keluarga maupun lingkungan telah mengajarkan, “jika ingin bahagia, kumpulkan materi sebanyak-banyaknya”. Sehingga, untuk menggapainya mereka melakukan beragam cara, termasuk yang bertentangan dengan agama. Salah satunya, dengan judol.

Pada hakikatnya, masyarakat sudah merasakan bahwa hidup sekarang begitu sulit. Resah, gelisah. Beban hidup kian melilit. Akhirnya, mau beli ini dan itu jadi rumit. Orang-orang harus berpikir keras bagaimana caranya bisa bertahan hidup, bahkan memperoleh kehidupan yang lebih baik.

Dengan demikian, maraknya judol, baik itu di kalangan anak-anak, remaja, dewasa, maupun yang yang sudah tua tidak boleh dibiarkan. Hal ini dikarenakan dalam pandangan Islam judol hukumnya haram. Apapun alasan melakukan judol, baik untuk memenuhi kebutuhan, sekadar hiburan, hanya ikutan teman, dan yang lainnya, hukum judol tidak akan pernah bergeser menjadi halal. Haram tetap haram.

Berikutnya, diperlukan upaya sistematis untuk mencegah dan memangkas judol hingga ke akar-akarnya supaya tidak semakin merajalela. Tentunya, hal tersebut hanya mampu dilakukan tatkala ada negara, dalam hal ini adalah khilafah, yang memberlakukan penerapan syariat Islam secara kaffah. Sebagai tindakan pencegahan, khilafah akan mengatur perekonomian masyarakat berdasarkan rambu-rambu yang berasal dari Sang Pencipta. Sehingga, mustahil tidak mampu menciptakan keadilan dan kesejahteraan. Sebaliknya, khilafah akan memenuhi hajat hidup asasi setiap warga negara, baik sandang, pangan, maupun papan. Dalam hal pelayanan, seperti pendidikan dan kesehatan juga diberikan secara gratis. Jika belum bisa demikian, tetap dalam pelaksanaannya dengan biaya murah. Tidak sampai membebani masyarakat. Selain itu, jaminan keamanan pun diberikan.

Lapangan pekerjaan dibuka secara lebar. Sehingga, bapak-bapak yang berkewajiban memberikan nafkah kepada keluarganya dapat menunaikan kewajibannya dengan baik. Mereka dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya dengan layak. Seandainya, dalam keluarga tersebut hanya terdiri perempuan dan anak-anak saja, maka negara yang akan mengambil alih untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka. Sekalipun ada laki-laki, tapi kondisinya tidak memungkinkan untuk bekerja, seperti sakit, maka negara juga akan mencukupi kebutuhan keluarga tersebut. Dengan periayahan yang ‘apik’, otomatis masyarakat akan merasa diperhatikan. Pikiran tenang karena kebutuhan tercukupi sebagaimana mestinya.

Penting pula dilakukan oleh negara, yakni menancapkan keimanan yang kokoh di tubuh masyarakat. Dengan begitu, keimanan itu yang akan menjadi rem bagi seseorang apakah hendak melakukan perbuatan yang mendatangkan keridhoan Allah atau sebaliknya. Termasuk, apakah akan melakukan praktik judol atau tidak. Terlebih lagi, masyarakat diberikan edukasi yang benar, sehingga mereka memahami mana perbuatan yang terkategori halal dan mana yang haram.

Selain negara, tentunya kontrol individu, keluarga, dan masyarakat juga tidak boleh dilupakan. Dengan keimanan yang sudah mengkristal dalam diri, seseorang mampu mengerem diri dari perbuatan yang diharamkan. Keluarga, dia bisa mengontrol anggota keluarganya untuk terus berada di jalan takwa. Masyarakat, mereka tidak cuek terhadap setiap bentuk pelanggaran yang dilihat. Justru harus berani mengingatkan dan melaporkan setiap pelanggaran yang terjadi. Dengan sistem kontrol seperti ini, diharapkan dapat mencegah setiap bentuk pelanggaran yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Poin selanjutnya, negara memberlakukan sanksi secara tegas dan adil. Siapapun pelaku penyimpangan harus ditindak secara tegas dan diberikan sanksi sesuai aturan yang berlaku. Ujungnya, diharapkan masyarakat terus dalam suasana iman dan takwa kepada Allah, Sang Pemilik semesta.

Jadi, katakan “BIG NO” untuk judi online karena jelas hukumnya haram. [WE/IK].

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 2

Comment here