Opini

Ironi Pelegalan Budaya Liberal

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Heni Nuraeni (Muslimah Peduli Umat)

wacana-edukasi.com– Akhir-akhir ini ada berita yang masih hangat tentang pro-kontra soal Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021. Mengapa menuai pro dan kontra? Bagi yang pro alias setuju, seperti dikutip dari Kompas.com, Kamis (11/11/2021), Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 dinilai sangat progresif dalam hal pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang berperspektif korban, salah satunya karena mengatur soal persetujuan. Bagi yang kontra, karena aturan tersebut ada indikasi melegalkan seks bebas alias perzinaan. Terutama di Pasal 5 dalam Permendikbud tersebut.

Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan (Diktilitbang) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menilai beleid tersebut cacat secara formil karena prosesnya tidak melibatkan banyak pihak dan cacat materil karena berpotensi melegalkan zina.
Menurut, Ketua Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah Lincolin Arsyad salah satu kecacatan materil ada di Pasal 5 yang memuat consent dalam frasa ”tanpa persetujuan korban”.

“Pasal 5 Permendikbud Ristek No 30 Tahun 2021 menimbulkan makna legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan,” kata Lincolin dalam keterangan tertulis, Senin (8/11/2021). (laman nasional.kontan.co.id, 12 November 2021)
Frasa “tanpa persetujuan korban”, kalau menurut pemahaman terbaliknya berarti boleh saja hal itu dilakukan jika korban setuju. Namun sebenarnya definisi korban dan pelakunya juga jadi tidak jelas, kalau “sama-sama suka atau sama-sama setuju”. Itu artinya, Permendikbud ini bermasalah. Bisa dijadikan alasan untuk melakukan seks bebas alias berzina bagi orang yang memang hobinya maksiat.
Harusnya simpel tetapi dibikin ribet. Intinya memang ada pihak yang berupaya untuk melegalkan perzinaan. Indikasinya sudah jelas. Paling mudah dilihat dari frasa “tanpa persetujuan korban”. Biar jelas isi pasalnya, terutama Pasal 5, saya kutipkan dari website jdih.kemdikbud.go.id, terutama poin yang ada frasa “tanpa persetujuan korban”:
Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
b. memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan Korban;
f. mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
g. mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
h. menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
j. membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh Korban;
l. menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban;
m. membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban;

Sebenarnya sudah jelas. Kalau “suka sama suka, sama-sama setuju” itu bukan perkosaan atau kategori kekerasan seksual. Adanya frasa “tanpa persetujuan korban”, itu sama saja dengan melegalkan pergaulan bebas dan seks bebas. Coba dicermati poin-poin di Pasal 5 yang tadi dikutip. Itu artinya, kalau yang katanya korban itu “setuju”, ya berarti tidak ada pemaksaaan dan tidak ada kekerasan seksual. Lalu, kenapa disebut korban? Itukan sama-sama setuju dengan perilaku tersebut. Kalau dalam aturan tersebut dianggap boleh, tetapi dalam syariat islam jelas kategori perbuatan yang terlarang. Haram dilakukan seorang muslim dan jelas dosanya.

Tidak ada penafsiran lain selain melegalkan zina. Selain itu, jadi tidak ada lagi istilah “korban” kalo setuju melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang katanya ditawarkan pelaku. Karena sama-sama setuju dan bahkan bisa menikmati.Memang begitu logikanya. Wajar kalo Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 ini menuai kritik. Kecuali dari para pendukung perzinaan ya mereka senang aturan ini.
Jika aturan ini diterapkan, bisa bahaya. Zina jadi dianggap legal dengan berlindung di balik Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 ini. Bahaya lainnya, bisa saja bandar narkoba beralasan yang sama: meski narkoba dilarang diedarkan, apalagi di kampus dan sekolah, tetapi kalau “korban” setuju ya jadi boleh diedarkan. Pihak kampus atau sekolah tidak boleh menghukum mahasiswa dan pelajar yang kedapatan melakukan transaksi jual beli narkoba karena mereka sama-sama setuju.
Di zaman sekarang riba sudah jadi tradisi, pelacuran pun sudah dilokalisasi, kini perzinaan malah akan dilegalkan melalui undang-undang. Meski atas nama perlindungan terhadap korban kekerasan seksual, tetapi sejatinya adalah upaya melegalkan seks bebas.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Jika zina dan riba sudah menyebar di suatu kampung (negeri) maka sesungguhnya mereka telah menghalalkan azab Allah atas diri mereka sendiri.” (HR al-Hakim, al-Baihaqi dan ath-Thabrani)
Bisa dipahami sebenarnya, jika riba sudah merajalela, maka kehidupan akan dibuat rusak.Pinjol alias pinjaman online udah banyak menelan korban. Ada yang mencoba bunuh diri karena tidak tahan dengan bunga utang yang kian menggunung dan terus diganggu oleh yang menagih utang. Bahkan ada juga yang sudah bunuh diri. Ekonomi tidak berjalan dengan benar dan baik. Malah yang terjadi banyak orang yang pendek akal dan besar nafsunya memilih lebih suka ngutang ketimbang berusaha.

Seks bebas alias perzinaan, tanpa dilegalkan dengan aturan pun, sejak dulu sudah marak. Apalagi jika seolah dilegalkan (atau memang sengaja mau melegalkan?), bisa tambah banyak lagi yang melakukan perbuatan keji tersebut. Sudah kebayang , bagaimana rusaknya rumah tangga karena suami atau istri bisa selingkuh dan berzina dengan orang lain. Bagaimana masa depan anak-anaknya. Harkat dan martabat manusia jatuh jauh di bawah binatang ternak. Padahal, manusia memiliki akal. Hewan tidak. Namun, akibat perilaku tersebut derajatnya jadi turun jauh ketimbang binatang ternak.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu bagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS al-A’raf [7]: 179)

Islam sangat memelihara keturunan. Itu sebabnya, ada aturan yang menjelaskan tentang nasab, pentingnya nasab. Manusia sampai sekarang berkembang biak melalui proses generatif, diturunkan. Bukan dengan proses membelah diri atau bertunas. Nah, karena proses generatif, maka harus jelas hubungan antara induk yang menurunkan dengan anaknya. Itu sebabnya, dalam Islam disyariatkan pernikahan.

Kenapa harus jelas ikatannya? Karena Islam memang menghargai keturunan. Bayangkan jika manusia bebas berzina. Gonta-ganti pasangan. Lalu bagaimana kalau kemudian yang perempuan hamil. Pasti bingung menentukan anaknya: anak siapa? Karena begitu banyak lelaki yang telah berhubungan dengan wanita secara bebas. Tetapi jika terikat dengan pernikahan, maka sudah jelas pasangannya. Anak jelas ibunya dan bapaknya. Di sinilah Islam benar-benar menghargai manusia dengan syariatnya yang mengatur tentang keturunan yang jelas melalui ikatan pernikahan.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS ar-Ruum [30]: 21)

Sekarang bandingkan dengan sistem demokrasi (sebagai instrumen politik dari Kapitalisme-Sekularisme) yang memberikan kebebasan pribadi, kebebasan berperilaku, kebebasan berhubungan seksual (freesex), homoseks, lesbianisme, dan sebagainya yang mereka anggap sebagai bagian dari HAM. Akhirnya berujung kepada ketidakjelasan keturunan, perselingkuhan, brokenhome, keterputusan hubungan kekeluargaan, dan merebaknya berbagai penyakit kelamin dan AIDS.
Bahkan dalam sistem kapitalisme-sekularisme yang masih diterapkan di negeri ini tumbuh subur hubungan sedarah alias incest; anak perempuan yang dihamili bapaknya, atau malah anak laki yang menghamili ibunya. Naudzubillahi min dzalik.

Kejadian-kejadian seperti ini bukan hanya merugikan kaum Muslimin melainkan seluruh kemanusiaan. Sebaliknya, dengan Islam hal tersebut ditiadakan dalam kehidupan. Semoga Permendikbud Ristek Nomor 30/2021 segera dicabut, meski sudah ditandatangani Mendikbud. Bahaya jika dibiarkan, sebab itu artinya membolehkan perzinaan merajalela di kampus dan di masyarakat. ala

Wallahu ‘alam bishowab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 7

Comment here