Oleh: Nadia Ummu Ubay (Aktivis Muslimah Semarang, Pegiat Literasi)
Wacana-edukasi.com, OPINI–Akhir bulan November lalu tepatnya pada tanggal 27/11/2025, bencana banjir bandang dan tanah longsor terjadi di Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan Aceh. Sudah empat belas hari berlalu, luka trauma bencana dan kesedihan masih terasa. Air bah menyapu semua yang dilaluinya tanpa ampun. Kini mereka sedang menata ulang semua yang hilang.
Update data terbaru disampaikan oleh BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) bahwa seluruh korban tewas berjumlah 967 orang di tiga provinsi tersebut, sebanyak 262 orang masih dinyatakan hilang, 5063 orang luka, dan 850 ribu orang mengungsi. Ratusan fasilitas umum, jalanan atau jembatan rusak hingga akses menuju jalan lumpuh total (detikNews.com, 10/12/25).
Angka-angka tersebut bukan lagi kalkulasi yang masuk dalam statistik. Mereka kehilangan nyawa dan tidak bersalah atas bencana yang tidak diinginkan. Namun, mengapa hingga dua pekan berjalan masih banyak yang terisolir susah mendapatkan bantuan? Terkesan lamban atau rakyat yang terburu-buru? Mengapa sulit sekali untuk mengevakuasi bahkan membenahi semua yang menghambat para korban untuk segera pulih?
Sistem Kapitalisme Memberikan Ruang Kezaliman dan Kerusakan
Para korban yang selamat dari bencana kini menghadapi bencana kelaparan, sebab sulitnya akses akibat jembatan putus dan jalan rusak, serta tidak adanya listrik dan sinyal internet. Mereka benar-benar dibunuh dengan kesempitan.
Dalam hal ini, Pemerintah melalui Kementerian Keuangan, Purbaya Sadewa, menyatakan anggaran untuk penanganan bencana menyesuaikan dengan permintaan BNPB. Meskipun dana uang dialokasikan terjadi penurunan dari Rp 2 Triliun menjadi Rp 491 miliar. Pihaknya menegaskan bukan pemerintah minim perhatian, sebab dana tersebut juga masih mencukupi baik untuk rehabilitasi maupun pemulihan hingga perlindungan sosial, dan berkomitmen untuk mempercepat proses penanganan ini (Beritasatu.com, 2/12/25).
Ini bukan hanya tentang nominal anggaran dana yang dikucurkan untuk mengatasi bencana, namun lebih kepada keseriusan penguasa untuk menjamin keselamatan rakyatnya. Sebab hampir dua pekan berjalan yang terjun langsung adalah para relawan bukan penguasa. Berita kelaparan dan daerah terisolir yang belum tersentuh evakuasi masih banyak.
Melihat banjir bandang dengan ribuan gelondongan kayu bukan turun dari langit, kayu yang rapi dan lengkap dengan label dari kementerian terkait. Ini bukan fakta yang harus dielakkan lagi. Harusnya segera benahi dan jangan sakiti hati para korban lagi.
Sebab ini adalah buah kerusakan lingkungan ditambah dengan cuaca ekstrem. Bencana kali ini benar-benar mengungkap bagaimana kejinya kebijakan penguasa yang tidak mempertimbangkan efek jangka panjang. Kerusakan alam, kehilangan nyawa serta ancaman generasi pun tidak menjadi imbauan yang dipikirkan. Semua demi keuntungan.
Tidak mungkin ada negara yang mau dicuri hasil alamnya oleh swasta atau para korporatokrasi. Tentu ini ada kerjasama tersembunyi dan rapi, kesepakatan bersama menjarah hak milik rakyat, sungguh zalim. Ketika kezaliman sudah sedemikian busuknya maka alam pun berbicara, bagaimana bahaya nyata kerusakan lingkungan atas keserakahan.
Namun di lapangan justru tidak ada kata maaf atau menyesal, minimal empati. Justru para pemimpin dan jajarannya selalu mengelak tentang apa yang terjadi di Sumatra, padahal alam sudah berbicara tentang perusakan alam besar-besaran yang didukung sistem beserta kebijakan yang lahir darinya. Muaranya adalah kepentingan para oligarki dan korporatokrasi.
Negara yang di dalamnya mengatur manusia dengan standar aturan yang dibuat manusia tidak akan pernah berakhir pada kesejahteraan. Namun, berakhir pada penindasan, kepentingan, kesenjangan, dan kesengsaraan. Pengelolaan alam yang tidak dikembalikan pada bagaimana harusnya memberikan kebermanfaatan bersama untuk kebutuhan rakyat, tapi pada kebutuhan kantong pribadi penguasa dan pengusaha. Hingga rakyat yang menderita dan harus menjadi korban kebijakan yang serakah.
Sistem Islam Menyelamatkan dan Menyejahterakan
Islam selalu menyeru dan mengingatkan tentang hal kebaikan, untuk menyadarkan manusia akan tujuan hidupnya di bumi. Bahkan Allah memperingatkan kerusakan di bumi akibat ulah manusia. Oleh karena itu, harusnya menjaga kelestarian lingkungan untuk mendapatkan kelayakan dan kehidupan yang berkah.
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (TQS. Ar-Rum: 41).
Inilah seruan yang mengandung konsekuensi bahwa segala eksploitasi hingga mengundang bencana adalah buah kerusakan lingkungan yang disengaja. Sehingga manusia dan alam harusnya selaras. Manusia menjaga dan alam memberikan apa yang dibutuhkan sesuai porsinya.
Oleh karenanya dibutuhkan adanya negara dengan kebijakan yang berasaskan sistem yang benar. Negara yang menerapkan hukum Allah atau syariat. Sebab syariat akan mengatur semua sesuai dengan kapasitas dan tidak ada kekeliruan di dalamnya. Termasuk kebijakan yang lahir. Negara menjadi pelindung dan pengurus urusan umat. Rakyat yang tunduk dengan syariat. Alam dijaga bersama untuk kemaslahatan.
Bahkan sebagai bentuk tanggungjawab negara terhadap bencana yang menimpa rakyatnya, negara akan mengeluarkan anggaran yang dibutuhkan. Anggaran tanpa pemangkasan, dan memperhatikan dampak jangka panjang terhadap kebijakan yang akan dijalankan, antisipasi dini mendengarkan pendapat para ahli untuk meminimalisir terjadinya bencana yang menyengsarakan rakyat.
Rakyat tidak dijadikan sebagai saingannya. Mereka bekerja dengan perintah syariat. Segala kebijakan yang dbuat tidak lain untuk keselamatan dan kesejahteraan rakyat. Bahkan, semua tata ruang kehidupan atau pemetaan wilayah sesuai fungsi alami. Misalnya, dilarangnya pembalakan liar, pengerukan tambang besar-besaran, perusakan hutan yang mengancam habitat alam, atau istilahnya membuat rancangan blue print untuk keamanan dan keselamatan rakyat. Tentu ini semua dilakukan oleh penguasa. Penguasa melakukannya dengan dorongan amanah sesuai seruan syariat dalam setiap kebijakan yang dirancangnya.
Views: 7


Comment here