Oleh : Eti Ummu Nadia (Aktivis Muslimah)
Wacana-edukasi.com, OPINI--Bencana banjir seolah tidak pernah absen dan menjadi langganan tiap memasuki musim hujan. Apalagi bagi wilayah yang terkategori rawan banjir. Banjir bandang dan longsor yang menerjang Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat juga wilayah sekitarnya, menjadi kado pahit akhir tahun 2025. Mirisnya banyak korban meninggal dunia. Banyak rumah yang rusak atau terbawa arus, juga infrastruktur rusak lainnya. Sebagaimana data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Dari data sementara jumlah korban meninggal dunia ada 940, korban hilang 276, korban luka 5.000 orang, rumah rusak 147 ribu unit. Dilansir dari detiknews.com (07-12-2025). Data tersebut bisa berubah sesuai dengan update terbaru.
Sungguh peristiwa tersebut meninggalkan duka yang mendalam. Bukan hanya merenggut rumah mereka, perekonomian mereka, bahkan merenggut keluarga yang mereka cintai. Di tambah kesedihan kian kompleks dengan akses perekonomian yang lumpuh, sulitnya mendapatkan makanan, banyak korban kelaparan karena lambatnya bantuan, khususnya dari pemerintah. Keterlambatan bantuan di duga karena akses lokasi yang sulit dan terputus akibat banjir. Padahal selain akses darat, ada akses udara yang siap ke tempat lokasi. Negara tentunya tidak kekurangan helikopter sebagai akses udara. Seandainya negara lebih cepat merespons para korban banjir, maka korban kelaparan bisa di minimalisir.
Faktor Penyebab Banjir
Adanya bencana banjir bandang juga longsor bukan semata karena faktor curah hujan deras. Akan tetapi minimnya resapan air untuk menampung curah hujan. Ketika hujan turun dengan volume besar, otomatis tanah tersebut tidak kuat menampung. Akibatnya terjadi longsor sungai meluap ke pemukiman. Tak hanya air atau lumpur yang terbawa banjir, akan tetapi bongkahan material kayu yang ikut hanyut saat banjir bandang.
Hal tersebut memunculkan spekulasi dan tanggapan masyarakat. Dilansir dari Kompas.com, (05-12-2025). Salah satunya tanggapan dari Prof Bambang Hero Suharjo seorang Guru Fakultas Kehutanan dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor (ITB). Ia mengatakan, kayu yang terbawa banjir ke pemukiman bukan kayu lapuk atau pun dari reruntuhan alami. Sebagaimana pengalamannya ia pernah menangani di kawasan lindung Sumatera ; bahwa hutan yang masih sehat mampu memecah dan menahan laju air, karena struktur tajuk yang rapat dan bertingkat.
Fakta bongkahan kayu yang ikut terbawa arus banjir, menjadi alarm dan indikasi rusaknya hutan. Hutan memiliki peran vital sebagai ekologis (produsen oksigen, menyerap karbon dioksida, menjaga siklus air agar terhindar dari banjir dan longsor. Juga menjaga habitat keanekaragaman hayati. Namun fungsi alam tersebut sudah tidak sehat, dan di rusak. Akibatnya bencana banjir bandang pun tak terelakkan.
Hutan Rusak Akibat Tangan Oligarki
Hutan pada hakikatnya bagian penting dalam denyut nadi kehidupan untuk melangsungkan kehidupan. Sayangnya kesehatan hutan telah di rusak dan di alih fungsikan jadi lahan perkebunan, pertanian, pertambangan bahkan di jadikan pemukiman. Sebagimana hutan di Aceh sudah beralih fungsi. Pohon kayu yang semestinya menjadi resapan air, dan akar sebagai penopang yang kuat, justru dialihkan jadi perkebunan sawit. Sedangkan pohon sawit tidak memiliki akar yang kuat, tidak seperti pohon kayu yang mampu menampung dan menahan resapan air hujan.
Siapa di balik perusakan hutan? Dan siapa yang mengambil keuntungan dari fungsi hutan tersebut? Tentu saja para oligarki yang mempunyai kekuasaan atas kepemilikan Sumber Daya Alam (SDA). Mereka dengan bebas melakukan deforestasi atau penggundulan hutan yang beralih fungsi. Para oligarki terus menguliti hutan untuk di ambil manfaat bagi kepentingan mereka. Akibatnya penggundulan hutan mengancam kehidupan manusia, dan menghilangkan ekosistem hutan tersebut. Bahkan bongkahan kayu menjadi bukti dan jawaban rusaknya hutan akibat ulah tangan manusia.
Notabenenya dalam sistem kapitalis-sekuler, semua SDA di kuasi para oligarki. Pun dengan peran negara hanya sebagai fasilitator yang menyediakan SDA kemudian di kelola oleh para oligarki. Walhasil yang menikmati keuntungan dari kekayaan SDA, hanya segelintir orang kaya berkuasa (oligarki), dengan mekanisme yang dominan hanya mengejar kepentingan dan keuntungan semata. Realitasnya bencana banjir dan longsor akibat ketamakan para oligarki dalam sistem kapitalis yang memiliki cara pandang asas manfaat, dan sekuler memisahkan agama dari kehidupan, sebagai landasan berpikirnya. Inilah efek ketika meninggalkan aturan Allah, dan meninggalkan tata kelola hutan dalam aturan islam. Hasilnya para penguasa menikmati manisnya, sedangkan rakyat kebagian pahitnya.
Saatnya Kembali Pada Islam
Islam sudah mengingatkan dan menjelaskan dalam Al-Quran, bahwa kerusakan di bumi, tidak lain di akibatkan tangan-tangan manusia. Karenanya tidak semata-mata ada banjir bandang jika tidak ada sebab akibat. Selain itu Allah menurunkan air hujan untuk membawa keberkahan. Ada pun bencana banjir, tidak lain karena fungsi hutan tidak sehat yang mengakibatkan kerusakan, akibat pengelolaan SDA yang keliru dalam kapitalis. Sebagaimana dalam hadits :
“Kaum Muslim memiliki hak yang sama (berserikat) dalam tiga hal, air, padang rumput dan api”. (HR Ibnu Majah).
Sudah seyogianya SDA di kelola oleh daulah islam yang hasilnya di peruntukan untuk masyarakat. Karena mekanisme islam berlandaskan konsep pengelolaan oleh khalifah (pemimpin). Hutan akan di kelola oleh daulah islam, di tata dan di jaga kelestariannya, dan tidak berubah fungsi ekologisnya. Mekanisme islam akan di jadikan sumber aturan dalam tata kelola SDA. Daulah islam tidak akan sedikit pun memberi celah para oligarki berkuasa dalam pengelolaan SDA.
Dalam kebijakannya, islam akan menjamin dan melindungi keselamatan rakyatnya. Seorang khalifah akan mengantisipasi bencana banjir dan longsor, dengan menggelontorkan biaya dalam penjagaannya, melalui perantara dari para ahli lingkungan. Tak hanya negara yang peduli, masyarakat pun akan di dorong menjaga kelestarian lingkungan. Ada pun ketika tata kelola hutan sesuai syariat islam, lalu terjadi banjir, itu merupakan qodharullah. Maka daulah islam akan menangani secara cepat. Sebagaimana kisah khalifah Umar bin Khattab yang terkenal selalu turun tangan menangani bencana. Bahkan ketika bencana dan Wabah Amwas dalam pemerintahannya yang mengakibatkan kelaparan, Umar bin Khattab memanggul sendiri bantuan sampai ke tangan rakyatnya. Di samping itu, selama bencana terjadi Umar tidak pernah makan-makanan enak, sampai rakyatnya kenyang dan bencana berakhir.
Begitulah sosok pemimpin dalam islam, selalu memprioritaskan kebutuhan dan keselamatan rakyat. Karena mereka memahami dengan jabatan kepemimpinannya, hanya untuk mengurus segala urusan umat. Bukan fokus mengurus urusan perut dan kepentingan individu. Sebagaimana faktanya dalam kepemimpinan kapitalis-sekuler. Akan tetapi seluruh urusan manusia di atur dalam IsIam. SDA akan di kelola oleh daulah, sehingga hasilnya bisa di nikmati masyarakat. Begitu pun hutan akan tetap berfungsi menjaga ekologisnya. Dengan demikian mekanisme islam mampu memberikan masyarakat hidup sejahtera. Terjamin keamanan dan keselamatan, dalam payung sistem isIam kaffah dalam naungan khilafah.
Wallahua’lam Bishawab
Views: 3


Comment here