Wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA–Air adalah sumber kehidupan. Ia mengalir di sungai, meresap di tanah, dan menumbuhkan kehidupan di mana pun. Namun, hari ini air tak lagi menjadi anugerah, tetapi berubah menjadi barang dagangan yang dikuasai segelintir perusahaan. Fenomena kapitalisasi air kini makin nyata, dan kita sedang melihatnya terjadi di depan mata.
Sebagaimana yang terjadi di Jawa Barat, pada Oktober 2025, publik dihebohkan oleh sidak anggota DPR Dedi Mulyadi ke pabrik Danone-Aqua di Sukabumi, Jawa Barat. Dalam kunjungannya, ia menemukan bahwa perusahaan tersebut menggunakan sumur bor dalam, untuk mengambil air tanah sebagai bahan baku produksi air minum dalam kemasan. Warga sekitar pun mengeluhkan debit air yang makin menurun, bahkan sumur-sumur rumah tangga pun mulai kering.
Menanggapi temuan itu, Kementerian ESDM menyatakan akan mengevaluasi izin pengambilan air tanah oleh perusahaan AMDK agar tidak menimbulkan kerusakan lingkungan. Namun, fakta lain menunjukkan bahwa masalah ini bukan kasus tunggal. Menurut Antara News, di Jawa Barat saja ada lebih dari 2.000 titik pengambilan air tanah tanpa izin. Artinya, ada ribuan titik eksploitasi air yang berpotensi mengancam keseimbangan alam dan hak rakyat atas air bersih (tempo.co, 24-10-2025).
Air dalam Kapitalisme
Masalah air bukan sekadar teknis lingkungan, tapi juga masalah paradigma ekonomi. Dalam sistem kapitalisme, air dianggap sebagai komoditas ekonomi yang boleh dimiliki dan dijual. Selama menghasilkan keuntungan, maka penguasaan atas sumber air dianggap sah, bahkan jika masyarakat sekitar harus menanggung akibatnya.
Praktik semacam ini memperlihatkan bahwa logika pasar tidak mengenal keadilan ekologis. Siapa yang punya modal, dia yang berkuasa. Padahal, air bukan barang mewah, melainkan kebutuhan dasar manusia. Sayangnya, negara justru sering kali abai dan gagal mengawasi eksploitasi sumber air oleh korporasi. Dewan Sumber Daya Air Nasional (DSDAN) dan Ditjen SDA Kementerian PUPR sejauh ini belum mampu menekan laju privatisasi sumber daya air yang terjadi di banyak daerah.
Inilah konsekuensi dari sistem ekonomi yang bertumpu pada ideologi kapitalisme, yaitu sumber daya publik diprivatisasi, dan rakyat dibiarkan bersaing dengan korporasi. Dampaknya, tentu yang punya modal yang menang dan mampu menguasai. Alhasil, alam menjadi korban dari kerakusan mereka. Akibatnya, yang kuat akan mendominasi, dan yang tidak punya modal tak akan mampu berdaya.
Sebagaimana diketahui, para korporasi mengelola sumber daya alam bukan untuk melayani masyarakat, tetapi untuk bisnis yang orientasinya adalah keuntungan sebanyak-banyaknya. Mereka tidak peduli dampak terhadap kerusakan alam dan ekosistemnya.
Padahal, akibat eksploitasi berlebihan, muka air tanah terus menurun, mata air mengering, bahkan di beberapa wilayah mulai muncul amblesan tanah. Ironisnya, di tengah krisis air bersih yang dialami warga, perusahaan justru mampu memproduksi jutaan liter air kemasan setiap hari. Inilah wajah nyata sistem ekonomi kapitalisme yang menempatkan laba di atas kelestarian lingkungan.
Islam Menjaga Air dan Kehidupan
Dalam pandangan Islam, air tidak boleh dikuasai oleh individu, swasta, apalagi oleh asing. Rasulullah saw. bersabda,
اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّار
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Hadis ini menegaskan bahwa air adalah milik bersama (milkiyyah ‘ammah) yang tidak boleh dikuasai individu maupun korporasi. Negara bertugas mengelola sumber daya air untuk kemaslahatan seluruh rakyat, bukan menyerahkannya pada mekanisme pasar atau investor. Dalam sistem Islam, negara akan memastikan distribusi air berjalan adil, melarang monopoli, dan melindungi lingkungan dari kerusakan.
Islam juga mengajarkan bahwa bisnis harus dijalankan dengan kejujuran dan tanggung jawab sosial. Oleh karena itu, aktivitas ekonomi yang merusak alam atau menzalimi masyarakat, termasuk dalam perbuatan dhoror (berbahaya) yang dilarang. Dengan demikian, praktik bisnis yang mengeringkan sumber air warga demi keuntungan, jelas bertentangan dengan nilai-nilai Islam, dan tentu merugikan masyarakat.
Demikianlah sistem Islam dalam mengatur air sebagai sumber kehidupan. Bahwasanya, setiap sumber air akan dikelola oleh negara secara transparan. Sementara itu, rakyat dimudahkan dalam aksesnya, dan perusahaan hanya bisa beroperasi dalam batas wajar tanpa merusak keseimbangan alam. Dengan demikian, air benar-benar akan menjadi sumber kehidupan, bukan sebagai sumber keuntungan.
Selain itu, air adalah karunia Allah yang seharusnya membawa berkah, bukan konflik. Ketika air dijadikan komoditas, maka sejatinya kita sedang mengkhianati amanah itu. Sudah saatnya umat menolak logika kapitalisme dalam pengelolaan sumber daya alam termasuk air.
Sebaliknya, umat kembali pada sistem Islam yang menempatkan air dan SDA lainnya sebagai hak publik. Inilah sistem yang berpihak pada manusia, lingkungan, dan keadilan. Hal ini karena menjaga air, sejatinya adalah menjaga kehidupan itu sendiri.
Della Damayanti
Wonosobo, Jawa Tengah
Views: 0


Comment here