Opini

Diam di Saat yang Tepat

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Nurhayati

wacana-edukasi.com– Ada pepatah yang mengatakan ‘diam itu emas’. Entah dari mana asalnya pepatah ini, namun disadari atau tidak pepatah ini telah mendarah daging dalam masyarakat kita.

Sejatinya fitrah manusia dan kehidupan ini adalah dinamis. Tumbuh, berkembang, dan bergerak adalah tanda adanya kehidupan. Maka diam identik dengan tidak adanya kehidupan alias mati.

Dalam menjalani kehidupan ada kalanya diam memang diperlukan. Seorang muslim yang wajib senantiasa menyesuaikan perbuatannya dengan hukum syara tentu harus menempatkan sikap diam pada saat yang tepat.

Diam diperintahkan saat seseorang belum mampu untuk berkata yang baik karena begitu pentingnya menjaga lisan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا، أَوْ لِيَصْمُتْ

“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik dan jika tidak maka diamlah. (HR. Bukhari no. 6018 dan Muslim no. 47).

Namun tentunya seorang muslim harus berusaha agar ia kemudian mampu berkata yang baik seiring bertambahnya ilmu dimana Allah SWT telah mewajibkan kepada setiap muslim untuk menuntut ilmu.

Diam juga diperlukan ketika berada dalam situasi perselisihan atau perdebatan. Jika seseorang telah dikuasai emosi, perasaan marah atau benci maka diam adalah pilihan yang tepat, karena seorang muslim harus berhati-hati dengan perasaannya yang boleh jadi menggeser niat dalam hatinya yang seharusnya murni karena Allah SWT semata.

Seseorang yang membenci sesama muslim yang berbeda golongan atau berbeda pendapat misalnya, maka yang muncul dari lisan atau tulisannya adalah cacian, celaan, tuduhan keliru dan sebagainya. Tentu ini tidak dibenarkan, maka diamnya orang tersebut adalah lebih baik dan menanggapinya atau berdebat dengannya kurang tepat untuk dilakukan, karena berdebat yang disyariatkan adalah untuk menetapkan kebenaran dan membatalkan kebatilan bukan untuk mengalahkan, memaksa, mencari kebanggaan, meraih dukungan, berselisih, agar dilihat, dan sebagainya. Bagaimana mungkin menemukan kebenaran jika hati tengah tertutup kabut kebencian.

Tengoklah kisah shahabat Rasul Saw, Ali bin Abi Thalib ra yang tidak jadi membunuh seorang kafir karena ia diludahi. Tentu beliau amat memahami bahwa dalam setiap tindakannya selain harus sesuai dengan syariat Allah SWT juga haruslah atas niat yang murni karena Allah SWT, marah dan benci karena Allah SWT bukan yang lain, atau bercampur dengan rasa yang lain, misalnya marah karena merasa jatuh harga dirinya. Artinya beliau diam (tidak jadi membunuh) bukan karena menyadari bahwa perbuatan membunuhnya itu salah tapi karena memastikan bahwa niatnya itu murni karena Allah SWT.

Dan ada kalanya ‘diam’ itu memang emas bagi pihak lain. Diamnya kita atas segala kezholiman yang ditimbulkan ideologi kapitalis adalah jalan mulus bagi kekuasaan penjajah Barat. Diam seperti ini adalah tambang emas, penjajah Barat dapat dengan leluasa mengeruk kekayaan alam negeri-negeri Islam sebanyak-sebanyaknya dan mengendalikan dunia seluruhnya.

Penjajah Barat merancang dan menyebarkan racun-racun pemikiran yang membius umat Islam agar tetap ‘diam’. Racun-racun tersebut telah membuat kaum muslim tidak menyadari bahwa mereka telah teracuni.

Nasionalisme adalah salah satunya, dengan nasionalisme, Barat telah berhasil memecah belah Daulah Islam menjadi negeri-negeri kecil yang tidak berdaya. Lihatlah hari ini umat Islam begitu mengagungkan nasionalisme yang terlahir dari pemikiran Barat, padahal Islam memiliki ikatan yang lebih kuat dan lebih luas dari nasionalisme yaitu ikatan ukhuwah Islamiyah. Nasionalisme telah membuat negeri-negeri Islam tak mampu berbuat apa-apa alias ‘diam’ saat saudara seaqidahnya di negeri lain teraniaya. Inilah kezholiman akibat racun nasionalisme.

Adalah wajar manusia memiliki rasa kebangsaan, namun ketika rasa ini diagungkan dan menjadi kendali dalam mengambil kebijakan, lalu dimana kendali akal yang dibimbing oleh wahyu (aqidah Islam) yang harusnya digunakan sebagai makhluk paling mulia (karena dikaruniai akal) sekaligus umat terbaik yang diberi petunjuk agama Islam ?

Maka ‘diam’ yang bermakna memberikan kesempatan emas bagi penjajah barat adalah tindakan yang salah, bahkan merupakan pengkhianatan terhadap Allah SWT, RosulNya, dan kaum muslimin. Begitupula diam berpasrah pada keadaan tidak seharusnya kita lakukan. Diam identik dengan tidak adanya kehidupan maka diam ketika syariat Allah SWT diabaikan mengindikasikan matinya ghiroh Islam seorang muslim.

Upaya maksimal sesuai potensi dan kesanggupan disertai kesungguhan karena Allah SWT semata tentu tidak akan sia-sia. Karena Allah SWT tidak butuh pertolongan manusia sebaliknya manusialah yang membutuhkan pertolongan Allah SWT dan keridhoanNya.

Teringat kisah perjuangan burung pipit yang bolak-balik membawa air dengan paruhnya untuk memadamkan api yang membakar nabi Ibrahim as. Disadari burung pipit, beberapa tetes air dari paruhnya tidak mungkin mampu memadamkan api yang membakar nabi Ibrahim as. Cicak pun menertawakan dan meniup api itu hingga makin menyala demi menunjukkan betapa upaya burung pipit hanyalah sia-sia, dan harapannya hanya mimpi. Namun burung pipit tetap fokus pada perjuangannya, yaitu membuktikan kepada Allah SWT dimana keberpihakannya.

Tidaklah sebuah kisah disampaikan kecuali agar manusia dapat mengambil pelajaran. Umat Islam terkungkung oleh pemikiran bahwa apa yang mereka harapkan seolah mimpi yang tidak mungkin terwujud. Agar umat Islam mencukupkan diri dengan kondisi aman melaksanakan ibadah ritual sebagai perwujudan rasa syukur atas karunia Allah SWT. Pemikiran semacam ini terus disebarkan agar umat Islam putus asa dan akhirnya berhenti berjuang. Inilah yang penjajah Barat harapkan.

Yang harus menjadi fokus umat Islam adalah perjuangan bukan hasil. Kondisi aman hari ini memang patut disyukuri, namun rasa syukur kita bukanlah diwujudkan dengan sikap putus asa dan belumlah cukup diwujudkan dengan perjuangan yang alakadarnya. Kontribusi maksimallah yang harus kita curahkan, hingga layak menjadi hujjah dihadapan Allah SWT kelak bahwa kita tidak berdiam diri ketika syariat Allah diabaikan. Sedangkan hasilnya biarkan Allah SWT yang menentukan. Mimpi kemenangan Islam dan kaum muslim adalah nyata karena ia janji Allah SWT Yang Maha Menepati Janji.

Wallahu a’lam bish-shawab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 41

Comment here