Opini

Perceraian Marak, Bukti Rapuhnya Kapitalisme

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh  Eti Ummu Nadia

Sistem kapitalisme saat ini, memang terbukti tidak mampu memberikan solusi yang tuntas atas keretakan tatanan rumah tangga

Wacana-edukasi.com — Tidak bisa dimungkiri, pandemi covid-19 berimbas kepada ekonomi, pendidikan bahkan pada ketahanan rumah tangga. Angka perceraian meningkat tinggi di beberapa daerah di Indonesia. Salah satunya di Kota Banjar, Jawa Barat.

Permohonan gugat cerai di Kantor Pengadilan Agama Kota Banjar pada tahun 2020 tercatat ada 863. Menurut Aris bahwa, pendaftaran gugatan perceraian tahun 2020 sekitar 863. Akan tetapi yang terbit dengan produk akta perceraian ada 808 (04/08/2021).

Kemudian pada tahun 2021, permohonan gugat cerai sebanyak 488. Dari data tersebut, tiga perkara di antaranya merupakan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang digugat cerai oleh istrinya. Sedangkan, semenjak adanya kebijakan PPKM, permohonan gugat cerai yang masuk ada 45 perkara. Untuk gugatan cerai rata-rata adalah perempuan. Untuk ASN tahun ini ada tiga perkara.

Pertengkaran merupakan kebanyakan faktor penyebab atas meningkatnya kasus perceraian di masa pandemi, entah karena alasan ekonomi ataupun perselingkuhan (Harapanrakyat.com 05/08/2021).

Melonjaknya jumlah kasus perceraian yang 70 persennya adalah pelaku gugat cerai, menunjukkan bahwa rapuhnya ketahanan ikatan rumah tangga. Sebagian besar terjadi karena faktor tekanan ekonomi yang sulit. Sehingga berimbas pada pendapatan yang menurun, pemasukan berkurang, sampai beberapa kepala rumah tangga harus rela di PHK, karena perusahaan sudah tidak mampu untuk menggaji mereka akibat daya jual yang menurun.

Walhasil hal tersebut pun membuat sebagian ibu rumah tangga harus berpikir keras mengelola keuangan supaya kebutuhan sehari-hari bisa terpenuhi. Tak ayal faktor tersebut membuat sebagian istri harus membantu peran suami untuk mencari nafkah.

Salah satu faktor tekanan ekonomi sulit inilah, disebut penyebab timbulnya ketegangan didalam keluarga, cekcok antara suami istri hingga berujung pada KDRT. Sehingga, persoalan tersebut membuat sebagian orang dengan pemikiran pendeknya, menilai perceraian jadi solusi terakhir. Padahal dalam pandangan Islam, perceraian diambil sebagai jalan terakhir. Walaupun cerai adalah sesuatu yang halal, akan tetapi sangat dibenci Allah Swt.,Tetapi jika untuk kemaslahatan, cerai jadi solusi ketika semua cara sudah ditempuh tapi tidak ada hasilnya.

Tingginya angka perceraian tersebut, sebenarnya tidak luput dari peran negara yang abai menjaga ketahanan rumah tangga. Seperti membuka lapangan pekerjaan bagi rakyatnya, memberi gaji yang pantas dan cukup bagi rakyat. Bukan hanya ekonomi, tidak adanya pendidikan dan pembinaan pada suami istri ditambah pemahaman agama yang minim. Sehingga kurangnya memahami visi misi berumah tangga yang benar sesuai syari’at Islam. Dari faktor tersebut inilah rentan terjadinya percekcokan dalam keluarga.

Sistem kapitalisme saat ini, memang terbukti tidak mampu memberikan solusi yang tuntas atas keretakan tatanan rumah tangga. Karena, akar masalahnya ada pada sistematis hanya diselesaikan dengan secara parsial, bahkan cenderung kontra produktif atau justru hanya memunculkan masalah yang baru bagi tatanan keluarga tersebut.

Tidak adanya peran negara dalam pembinaan bagi pasangan suami istri inilah, menjadi faktor utama runtuhnya tatanan keluarga. Karena saat ini negara seakan lepas tangan dalam mengurus rakyatnya. Sehingga dengan sistem sekuler yang jauh dari pemahaman Islam kaffah, membiarkan masyarakat mau tidak mau membina rumah tangganya sesuai kadar kemampuannya masing-masing. Akibatnya masyarakat teracuni oleh pemahaman kapitalisme sehingga memandang kebahagiaan dunia justru sebagai tujuan kehidupan utama.

Kondisi kehidupan seperti itulah yang rentan membuat goyahnya ketahanan rumah tangga. Karena tujuan hidupnya hanya terfokus pada matrealisme. Sehingga ketika mendapat ujian kekurangan ekonomi dalam rumah tangga, solusi cerai jadi pilihan. Padahal kalau kita bersabar dengan ujian yang diberikan Allah Swt., tentunya ada balasan yang indah yang kita dapatkan yaitu surga.

Berbeda dengan sistem Islam, relasi hubungan sakral antara suami dan istri semata-mata adalah ibadah. Visi misi keluarga akan sama yakni mendapatkan rida-Nya. Seperti firman Allah Swt., “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar Rum: 21).

‌Sejatinya ketenangan akan terasa jika satu visi dan satu misi. Selain itu negara memiliki andil dalam mengupayakan agar ketahanan keluarga tidak rapuh.

Islam dengan seperangkat aturan komplitnya akan menerapkan aturan Islam secara kaffah. Akan memastikan pelaksanaan hukum syari’at Islam diterapkan dalam kehidupan antara suami istri. Di mana di dalamnya terdapat hak-hak dan kewajiban suami istri yang harus ditunaikan.

Dalam Islam, negara akan tetap memastikan anggota keluarga tersebut mampu menjalankan peran dan fungsinya dengan baik, sesuai ajaran Islam. Negara wajib bertanggung jawab penuh atas rakyatnya. Termasuk memberi lapangan pekerjaan, memberi tempat tinggal yang layak dan aman dengan harga terjangkau, pangan yang cukup dan murah, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.

Maka terwujudnya keluarga sakinah, mawadah, warahmah dapat dirasakan ketika negara hadir ditengah-tengah masyarakat dengan mengembalikan kehidupan Islam.

Wallohu alam bishowab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 36

Comment here