Opini

Generasi Sekuler Dijerat Pinjol dan Judol

Bagikan di media sosialmu

Oleh: Poppy Kamelia P. BA(Psych), S.Sos, CBPNLP, CCHS, CCLS, CTRS. (Pelatih Parenting Islam, Konselor dan Terapis Kesehatan Mental, Penulis, Pegiat Dakwah)

Wacana-edukasi.com, OPINI–Kasus siswa sekolah menengah pertama di Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, yang terjerat pinjaman online dan judi daring kembali menyayat nurani masyarakat. Siswa itu diketahui bolos sekolah selama sebulan karena terlilit utang akibat bermain judi online. Uang yang ia pinjam dari aplikasi pinjol digunakan untuk menutupi kekalahan, namun justru menyeretnya lebih dalam ke jerat utang dan rasa putus asa (Kompas, 29/10/2025).

Wakil Ketua Komisi X DPR RI, My Esti Wijayanti, menilai bahwa munculnya kasus ini menunjukkan kesalahan arah dalam sistem pendidikan Indonesia. Pendidikan seharusnya tidak hanya mencetak siswa berprestasi secara akademik, tetapi juga membangun karakter dan moral agar anak-anak mampu membedakan benar dan salah. Namun, realitas di lapangan menunjukkan banyak pelajar yang justru menjadi korban derasnya arus digital tanpa fondasi iman yang kokoh (Kompas, 29/10/2025).

Fenomena ini bukan kasus tunggal. Konten judi daring kini dengan mudah merambah situs pendidikan dan permainan anak-anak. Banyak siswa yang awalnya hanya iseng mencoba, lalu terperangkap dalam kecanduan yang dirancang oleh sistem permainan untuk memancing emosi dan ketagihan. Ketika uang habis, pinjaman online menjadi pelarian sesaat yang justru memperpanjang penderitaan. Pinjol dan judol akhirnya membentuk lingkaran setan yang mematikan semangat belajar dan menghancurkan masa depan generasi muda.

Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) bahkan mengungkapkan fakta yang mengejutkan. Pada November 2024 silam, tercatat sekitar 200 ribu pelajar di bawah usia 19 tahun memiliki indikasi terpapar aktivitas judi online. Lebih memilukan lagi, sekitar 80 ribu di antaranya masih berada pada jenjang usia di bawah 10 tahun (Tirto.id, 29/10/2025). Angka ini menunjukkan bahwa paparan judi daring telah masuk begitu dalam ke ruang-ruang kehidupan anak, bahkan sebelum mereka memahami arti uang dan tanggung jawab. Situasi ini menandakan bahwa bahaya judi daring bukan lagi isu moral semata, melainkan darurat sosial yang menuntut keseriusan negara dalam melindungi generasi mudanya.

Kondisi ini menyingkap celah besar dalam pengawasan keluarga, sekolah, dan negara. Situs-situs judi daring terus tumbuh meski telah berkali-kali diblokir. Negara tampak hadir hanya sebagai pengatur lalu lintas digital, bukan sebagai pelindung rakyat dari kerusakan moral. Padahal, peran negara semestinya tidak berhenti pada regulasi, tetapi memastikan kehidupan masyarakat terlindungi dari bahaya yang merusak jiwa dan akhlak generasi (Tirto.id, 28/10/2025).

Upaya yang selama ini digalakkan melalui pendidikan karakter dan literasi digital ternyata belum mampu menuntaskan akar masalah. Anak-anak tahu bahwa judi dan pinjol berbahaya, tetapi tidak memahami mengapa keduanya dilarang secara moral dan agama. Mereka hidup dalam sistem yang menormalisasi prinsip untung rugi sebagai ukuran keberhasilan. Inilah wajah dari sistem sekuler kapitalistik yang memisahkan agama dari kehidupan dan menjadikan materi sebagai tujuan utama.

Dalam logika kapitalisme, kesuksesan diukur dari hasil, bukan dari cara mencapainya. Maka tidak mengherankan jika anak-anak tumbuh dengan pola pikir instan, ingin cepat kaya tanpa kerja keras. Mereka terpapar budaya media sosial yang memuja kekayaan, kemewahan, dan popularitas semu. Ketika iman tidak menjadi dasar berpikir, mereka mudah tergoda oleh jalan pintas yang justru menjerumuskan diri.

Islam menawarkan solusi yang menyentuh akar permasalahan. Setiap perbuatan diukur bukan dari manfaat atau keuntungan, tetapi dari halal dan haram. Judi dan riba jelas diharamkan karena merusak akal, menimbulkan permusuhan, dan menghancurkan tatanan sosial. Allah telah memperingatkan bahwa setan menggunakan khamar dan judi untuk menimbulkan kebencian dan menjauhkan manusia dari mengingat-Nya. Selama pendidikan berjalan tanpa landasan iman, penyimpangan moral akan terus berulang.

Masalah ini tidak bisa diatasi dengan kampanye moral belaka. Diperlukan sistem pendidikan Islam yang menanamkan kesadaran spiritual sejak dini agar anak memiliki arah dalam berpikir dan bertindak. Dalam pendidikan Islam, anak dididik untuk mengenal siapa Penciptanya, memahami tujuan hidup, dan meyakini bahwa setiap perbuatan akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Mereka belajar bahwa rezeki tidak akan berkurang karena meninggalkan yang haram dan kebahagiaan sejati hanya lahir dari ketaatan, bukan dari kemenangan semu di dunia maya. Pendidikan Islam tidak berhenti pada penguasaan ilmu, tetapi menumbuhkan keteguhan akhlak dan rasa tanggung jawab sosial yang kokoh.

Negara pun harus memegang peran nyata dalam melindungi generasi. Negara wajib menutup seluruh akses judi daring, menghukum tegas pelaku dan penyebar konten, serta menciptakan sistem ekonomi yang bebas dari riba. Negara tidak boleh hanya menjadi regulator, tetapi harus menjadi pelindung yang menjamin keselamatan moral dan mental rakyatnya. Ketika negara berpihak pada nilai-nilai Islam, maka masyarakat akan hidup dalam ketenangan dan anak-anak akan tumbuh dengan arah yang benar.

Setiap anak yang terjerat judi daring dan pinjol adalah cermin dari kerusakan sistemik. Sekolah yang terlalu fokus pada angka, keluarga yang lalai mengawasi, dan negara yang abai menegakkan nilai ilahi. Jika akar sekuler kapitalistik ini tidak diubah, generasi mendatang akan terus kehilangan arah. Sudah saatnya bangsa ini menata ulang arah pendidikannya, kembali kepada sistem Islam yang menumbuhkan iman, akal, dan akhlak sekaligus. Sebab pendidikan tanpa ruh Islam hanyalah wadah kosong yang mencetak generasi pandai berpikir, tetapi kehilangan makna hidup dan arah untuk kembali kepada Tuhannya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 0

Comment here