Oleh: Eva Ariska Mansur
wacana-edukasi.com, OPINI–Sudan menjerit. Perang saudara yang menewaskan ribuan masyarakat sipil di sana. Perang antara Jenderal Abdel Fattah al-Burhan dari militer Sudan (SAF) dan Letjen Mohamed Hamdan Dagalo atau Hemedti dari pasukan Rapid Support Forces (RSF) menjadi konflik akbar di beberapa wilayah.
Padahal sebelumnya Jenderal Abdel Fattah al-Burhan dan Mohamed Hamdan Dagalo adalah sohib. Keduanya bersinergi mengkudeta pemerintahan transisi pada tahun 2021. Kemudian pada bulan April 2023 keduanya berseteru disebabkan perebutan kekuasaan. Perang akbar terjadi dan berubah menjadi pembunuhan gila-gilaan terhadap masyarakat sipil.
Namun demikian, di balik perang saudara berakhir pada perebutan kekuasaan di Sudan ada peran asing (Barat) di dalamnya. Barat, khususnya AS dan Inggris, berupaya mengadu-domba masyarakat Sudan. Tujuannya tidak lain untuk memperkuat hegemoni mereka sambil menyedot kekayaan alam Sudan. Barat menggunakan proxy untuk menjaga kepentingan mereka di Sudan.
Sudan Negeri Islam
Benua Afrika secara mayoritas adalah bagian dari negeri-negeri Muslim di era Kekhilafahan Islam. Dakwah Islam ke benua Afrika dimulai pada tahun 641 M, yakni masa Kekhilafahan Umar bin al-Khaththab ra. Kemudian pada masa Khilafah Utsmaniyah, setelah kekuatan Khilafah melemah di Afrika, satu-persatu negeri-negeri di Afrika jatuh ke tangan penjajah Barat: Inggris, Prancis, Spanyol, Belanda, Jerman, Italia, Portugal dan Belgia. Inggris adalah pemilik jajahan terbesar di Afrika, disusul Prancis, Belgia dan Portugal. Merampok kekayaan alam di wilayah Afrika adalah motif utama seluruh negara kafir penjajah Barat. Mereka memandang Afrika sebagai bagian dunia yang tertinggal, tetapi berlimpah kekayaan alamnya.
Sudan juga memiliki garis pantai yang luar biasa di sepanjang Laut Merah. Tepat di seberang Jazirah Arab dan dekat Selat Bab al-Mandeb, salah satu titik kunci maritim paling genting di dunia. Hampir 10% minyak dunia dibawa melalui Selat Bab al-Mandeb yang menghubungkan Laut Merah dengan Teluk Aden dan Laut Arab.
Pertarungan Dua Negara Penjajah
Sudan direbut Inggris dari tangan Khilafah Islam pada tahun 1898. Selain bertujuan melemahkan kekuatan Khilafah Utsmaniyah, Inggris memiliki tujuan untuk mengamankan kendali atas Mesir dan Sungai Nil, yang merupakan salah satu dari dua jalur perdagangan ke koloni-koloninya di India dan Afrika Selatan.
Perang saudara yang terjadi di Sudan adalah rekayasa Inggris. Setelah berkuasa di Sudan, Inggris mempertahankan kekuasaannya dengan melakukan taktik
adu domba, baik secara etnis maupun agama. Komunitas yang lebih “Arab” di utara diberdayakan atas komunitas yang lebih “Afrika” di barat dan selatan. Rezim Inggris membagi negara itu menjadi dua wilayah yang berbeda: Sudan Utara dan Selatan. Melalui proses yang disebut “Kebijakan Selatan”, Sudan Selatan dikelola secara berpisah dari wilayah Utara yang lebih maju secara ekonomi.
Di wilayah selatan yang menganut kepercayaan agama animisme, kegiatan misionaris Kristen pun digencarkan. Akibatnya, Sudan Selatan modern yang memisahkan diri dari Sudan pada 2011 terdiri dari 60% Kristen, 34% animisme dan 6% Muslim. Ini adalah upaya mengkotak-kotakan suku hingga menjadi kecil, selama dua hingga tiga dekade terakhir.
Namun begitu, dominasi Inggris di Sudan meleyot setelah Amerika Serikat lewat PBB mendesak negara-negara Eropa agar membebaskan negara-negara jajahan mereka. Usai deklarasi kemerdekaan Sudan pada tahun 1956, AS mulai mempererat hubungan diplomatik dan pengaruh politiknya di Sudan. Meski sempat mengalami maju-mundur, kekuatan AS di Sudan semakin menggeser pengaruh Inggris.
Maka dari itu, konflik yang hari ini terjadi adalah siasat jahat Amerika Serikat dengan sejumlah tujuan: Pertama, “cuci tangan” sisa-sisa pengaruh Inggris terhadap Sudan baik secara politik maupun militer. Amerika Serikat menyiapkam pasukan RSF untuk melakukan pembersihan terhadap kelompok-kelompok yang pro-Inggris di Sudan, terutama di Darfur.
Kedua, AS membuat kelompok-kelompok kekuatan politik bersama Saudi, Uni Emirat Arab (UEA) dan Mesir untuk mencegah masuknya pihak ’asing’ dalam menangani perang di Sudan. Hal ini disampaikan oleh Penasihat Senior Presiden AS untuk Urusan Arab dan Afrika, Massad Boulos pada 25 Oktober 2025. Dengan begitu maka tertutup bagi negara lain, termasuk PBB dan terutama Inggris, untuk ikut campur tangan dalam perang saudara di Sudan. Hal ini makin memperkuat dominasi AS di Sudan.
Ketiga, memecah-belah Sudan serta menjaga supaya terus berlangsung sehingga Sudan tak berdaya dan gampang dikuasai. Amerika Serikat melalui RSF berupaya menguasai Darfur dan menjadikan Darfur kawasan terpisah.
Keempat, Amerika Serikat–juga Inggris–memiliki kepentingan politik yang selaras di Sudan. Tak lain menghentikan kebangkitan Islam yang bisa menjadi ancaman atas penjajahan mereka di sana. AS memainkan isu terorisme dan radikalisme untuk mencegah kebangkitan Islam. AS juga mekotak-kotakan wilayah Sudan dan mengadu-domba berbagai kelompok militer, suku dan agama di sana. Tujuannya untuk melumpuhkan kekuatan umat Islam di Sudan.
Gentingnya Persatuan dan Khilafah
Wahai umat Islam, setelah Rohingya, Uyghur, Kasmir, dan Gaza, kini Sudan menyusul menjadi wilayah penderitaan umat. Pasukan yang didukung oleh negara kafir Amerika Serikat bersenang-senang di atas jeritan bahkan darah umat Islam. Bahkan mereka juga menghancurkan kehormatan perempuan Muslimah di sana. Padahal tak ada nyawa yang paling mahal nilainya di sisi Allah SWT melainkan nyawa seorang Mukmin. Nabi saw. bersabda:
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللَّهِ مِنْ قَتْلِ مُؤْمِنٍ بِغَيْرِ حَقٍّ
Hancurnya dunia ini lebih ringan bagi Allah daripada pembunuhan seorang Mukmin tanpa haq (HR Ibnu Majah).
Ironinya, para pemimpin Muslim hari ini justru bersinergi dengan negara-negara Barat penjajah membantai umat Islam. Mereka justru mendukung perbuatan setan Amerika Serikat di Sudan, sama halnya yang mereka lakukan terhadap Gaza. Ironinya, sejumlah umat tidak menyebut mereka sebagai pengkhianat, tetapi sebagai orang mulia. Padahal perlakuan mereka telah menyalahi sunah Rasulullah saw.:
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يُسْلِمُهُ
Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya. Ia tidak menzalimi dan tidak membiarkan saudaranya itu (disakiti) (HR al-Bukhari).
Fenomena menyakitkan ini tidak akan pernah terjadi seandainya umat masih mempunyai pemimpin yang ditakuti oleh para penjajah. Yakni Khilafah Islamiyah. Khilafah adalah junnah (perisai) yang menaungi dan memelihara umat. Demikian sebagaimana sabda Nabi saw.:
إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
Sesungguhnya Imam (Khalifah) adalah perisai; orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepada dirinya (HR al-Bukhari dan Muslim).
Ketiadaan Khilafah sebagaimana hari ini telah menyebabkan berbagai penderitaan umat seolah tanpa akhir. Lucunya, umat masih saja berharap kepada pihak-pihak asing yang sebetulnya merekalah penyebab derita ini yang menimpa umat.
Kini saatnya umat bangkit bersatu dalam ukhuwah Islamiyyah di bawah institusi pemerintahan Islam global (Khilafah). Saatnya umat Islam sedunia bersama-sama membangkitkan kekuatan sebagaimana perintah Rasulullah saw. Tidak lain dengan mengangkat seorang khalifah yang mampu melindungi umat sedunia dari ancaman dan penderitaan. Semoga Allah SWT menyegerakan pertolongan kepada seluruh umat ini agar Khilafah Islamiyah segera tegak kembali. Dengan itu kehormatan agama dan umat ini dapat terpelihara. Wallahua’lambisshawab!
Views: 0


Comment here