Oleh: Wiwin ummu Atika
Wacana-edukasi.com, OPINI–Salah satu harapan seorang muslim adalah menunaikan ibadah haji ke Baitullah, karena merupakan puncak penunaian rukun Islam. Belum afdol rasanya bila ibadah yang satu ini belum dilakukan, walaupun secara Syar’i menunaikan ibadah haji hanya diwajibkan bagi yang mampu.
Bagi yang berkemampuan, mudah saja, tinggal setor awal, daftar ke Departemen Agama, lalu menunggu antrian keberangkatan. Tapi bagi yang pas-pasan penghasilannya, perlu perjuangan sejak niat dicetuskan. Minimal menabung untuk mendaftar ke Departemen Agama dulu sebesar Rp 25 juta, lalu menabung lagi untuk pelunasannya.
Sayangnya Ongkos Naik Haji (ONH) semakin hari semakin naik. Sudah 2 tahun ini ONH Reguler di atas Rp 50 jt. Tahun ini saja, seorang jamaah dari kota Bandung harus melunasi ONH yang nilainya Rp 58 juta. Padahal sebelumnya berkisar Rp 30 jt-an. Biaya pelunasan ONH lebih dari setoran awal.
Melansir dari Kompas.TV (6/5/2025), Presiden Prabowo Subianto meminta agar ONH diturunkan. Jemaah haji tahun ini rata-rata membayar ONH sebesar Rp 55,43 juta, turun dari tahun sebelumnya yang mencapai Rp 56,04 juta. ONH setara dengan 62% dari BPIH. Sisa BPIH disubsidi oleh nilai manfaat hasil pengelolaan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) atas Setoran Awal calon jamaah haji.
Dadi Darmadi, pengamat haji dan umrah dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, mengemukakan beberapa cara yang dapat ditempuh oleh pemerintah untuk menurunkan ONH, seperti mengurangi waktu menginap jamaah haji di Tanah suci, mengurangi biaya tiket pesawat, dan mencari hotel serta katering untuk jamaah yang lebih hemat harganya tapi kualitas tetap terjaga.
Pemerintah bahkan mengusulkan untuk membangun Kampung Indonesia di dekat mesjid Al Haram, agar tidak menyewa hotel lagi setiap tahun. Namun cara ini tentunya memerlukan modal awal yang besar sekali karena harga tanah sekitar mesjid Al Haram tinggi sekali (CNN Indonesia, 6/5/2025). Selanjutnya dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan haji yang lebih efisien, maka mulai tahun 2026, penyelenggaraan haji tidak ditangani oleh Kementerian Agama (Kemenag) lagi, melainkan oleh Badan Penyelenggara Haji (BP Haji).
Dana awal setoran haji masyarakat dikembangkan oleh BPKH melalui investasi pada Bank Muamalat, BPKH Limited, surat berharga dan sukuk. Dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan atau nilai manfaat.
BPKH dibentuk berdasarkan UU no 34/2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji, dan mulai beroperasi di tahun 2018, namun BPKH bukan bagian dari Departemen Agama (Depag). BPKH merupakan mitra kerjasama Depag dalam penyelenggaraan haji, khususnya terkait pendanaan dan efisiensi biaya.
Keberadaan BPKH dalam penyelenggaraan haji menunjukkan bahwa Pemerintah tidak mampu mengelola dana haji secara efisien, orang-orang Depag tidak profesional dalam menyelenggarakan haji, sehingga butuh pihak lain untuk membantu, yaitu BPKH. Padahal bertambahnya pengelola tentu bertambah pula biaya operasional. Dan hal ini akan berpengaruh terhadap mahalnya ONH.
Penyelenggaraan ibadah haji reguler oleh negara memerlukan masa tunggu sangat panjang antara 12 sampai 48 th. Berbeda bila ikut ke penyelenggara swasta dengan biaya sampai ratusan juta rupiah/orang (ONH Plus atau Furoda), masa tunggu tidak sampai 5 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa dalam penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia tidak lepas dari aspek bisnis. Siapa punya uang, dapat berangkat lebih cepat. Harapan rakyat kecil untuk berhaji makin jauh.
Sayangnya ONH yang mahal dan pengelolaan dana oleh BPKH tidak terbukti membawa efisiensi dan kenyamanan pelaksanaan ibadah bagi jamaah haji. Karena dari penyelenggaraan haji tahun 2024, diduga terjadi pungutan biaya haji melebihi ketentuan, pengalihan kuota haji reguler ke haji plus, di tanah suci banyak jamaah tidak mendapatkan tenda, makanan dan hotel. Urusan ke kamar kecil masih harus antri lama sampai 1 jam, sangat melelahkan dan tidak nyaman.
Begitulah penyelenggaraan ibadah haji dalam negara dengan sistem Kapitalisme. Peran negara makin berkurang, pemerintah hanya membuat aturannya saja, perannya hanya sebatas Regulator. Sementara rakyat harus mengeluarkan biaya yang lebih besar agar dapat pelayanan yang memadai. Pemerintah terkesan berbisnis dengan rakyatnya. Bukan mengurus dan mengayomi.
Sungguh berbeda dengan Pemimpin dalam negara bersistem Islam (Khilafah). Pemimpin yang disebut Khalifah berperan sebagai raa’in (pengurus rakyat), sehingga akan berusaha untuk memudahkan urusan rakyat terlebih dalam pelaksanaan ibadah.
Khilafah akan mengatur penyelenggaraan ibadah haji dengan serius karena ketakwaan kepada Allah membuatnya bersungguh-sungguh menunaikan kewajiban. Penetapan ONH disesuaikan dengan jarak wilayahnya dan akomodasi yang dibutuhkan.
Penyelenggaraan perjalanan dari negeri-negeri muslim tidak memerlukan visa (surat ijin masuk) karena seluruh negeri muslim bernaung dalam satu negara yaitu Negara Khilafah. Pengaturan kuota haji diatur oleh Khalifah dan jajarannya, transportasi menuju kota Mekah dan Madinah akan dibuat mudah dan murah, bahkan dalam sejarah, Khalifah menyediakan tempat istirahat bagi para calon jamaah haji. Di sana disediakan makanan, minuman dan bekal untuk melanjutkan perjalanan.
Prinsip pelayanan terhadap jamaah adalah sederhana dalam sistemnya, pelaksanaannya cepat, dan ditangani oleh orang yang profesional sehingga urusan penyelenggaraan ibadah haji tidak bertele-tele dan memakan waktu lama. Pengaturan ibadah haji dalam Khilafah dapat dipastikan efektif dan efisien sehingga jamaah dapat melaksanakan ibadah haji dengan nyaman. [WE/IK].
Views: 0
Comment here