Oleh: Dwi D.R.
Wacana-edukasi.com, OPINI– Permasalahan kemiskinan di negeri maritim belum juga menemukan jalan keluar. Bahkan kini sedang ramai membahas tentang perbedaan standar kemiskinan nasional dan global. Dilansir liputan6.com (30/4/2025), World Bank (Bank Dunia) menetapkan pengeluaran sebesar Rp. 113.777/ hari masuk pada kategori miskin. Standar tersebut berbanding terbalik dengan data yang dibuat BPS (Badan Pusat Statistik). Pada pemberitaan sebelumnya, BPS sempat ramai diberitakan hal yang sangat jomplang dengan menyebut pengeluaran sebesar Rp. 20.000/hari tidak masuk pada kategori miskin (kompas.tv, 17 Januari 2025). Walaupun kemudian muncul berita bahwa hal tersebut adalah hoax.
World Bank : Penduduk Indonesia Tergolong Miskin
Dilansir dari Liputan6.com (30/4/2025), Bank Dunia melaporkan dalam Macro Poverty Outlook (edisi April 2025), bahwa rakyat Indonesia dengan pengeluaran kurang dari Rp. 113.777/hari atau USD 6,85 dikategorikan sebagai penduduk kelompok miskin yang berada di negara berpendapatan menengah ke atas. Berdasarkan garis kemiskinan tersebut, sekitar 60% (171,9 juta jiwa) masyarakat Indonesia terkategori golongan miskin. Data ini meningkat dari sebelumnya, meskipun Indonesia telah masuk pada kategori Negara dengan pendapatan menengah ke atas, setara dengan Thailand dan Malaysia.
Antara Angka dan Realita
Data angka kemiskinan yang dibuat oleh BPS begitu jelas perbedaannya dengan standar yang dibuat oleh Bank Dunia. Seperti yang tertera pada akun Instagram @inilah_com, data kemiskinan versi BPS dan Bank Dunia selisih 147 juta jiwa. BPS mengklaim bahwa jumlah penduduk berkategori miskin di Indonesia sekitar 24,06 juta jiwa atau sekitar 8,57%. Sedangkan World Bank mencatat sekitar 171,8 juta jiwa (60,3%) masyarakat Indonesia termasuk miskin.
Perbedaan selisih data kemiskinan bukan sekadar angka, karena akibatnya akan sangat fatal. Apalagi jika data yang dibuat dan disebarkan adalah data yang salah hingga dimanipulasi. Akibatnya, kebijakan berpotensi gagal total dan memberikan dampak buruk pada nasib rakyat miskin. Hal ini karena, rakyat yang benar-benar miskin tak terjangkau oleh bantuan sosial, dana daerah menjadi tidak adil karena data yang tidak valid dengan realita.
Jika angka Kemiskinan nasional rendah, akan ada banyak rakyat rawan miskin yang tidak terjangkau oleh bansos. Data miskin bukan masalah angka, melainkan tentang kehidupan masyarakat. Banyak penduduk Indonesia yang dianggap tidak miskin oleh BPS, sementara kehidupan mereka sangat rentan terhadap Kemiskinan. Seorang Ekonom sekaligus Pakar Kebijakan Publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menyuarakan agar pemerintah melakukan evaluasi total mengenai definisi dan metode pengukuran kemiskinan.
Dalam akun Instagram inilah_com mengemukakan bahwa bukan kali pertama data statistik Republik Indonesia diragukan. Pada tahun 2019, Ekonom asing pun mencurigai PDB RI dipoles, stabil di 5%. Tak hanya itu, ekonomi Indonesia juga bergerak lebih lambat dibandingkan laporan yang dibuat oleh BPS (Gareth Leather). Wajar saja jika hingga kini publik semakin sulit untuk percaya dengan data statistik pemerintah.
Sistem Rusak Suburkan Kemiskinan
Sejatinya, peraturan yang lahir dari keterbatasan akal manusia, hanya akan mendatangkan kesengsaraan. Tidak heran, jika sistem kapitalisme yang terus diadopsi negara akan melahirkan dampak buruk bagi kehidupan dalam segala aspek. Termasuk masalah kemiskinan yang tak pernah tuntas. Bahkan, semakin tahun ke tahun, angkanya semakin meningkat.
Ini bukan sekadar angka, melainkan kejelasan fakta bahwa masyarakat di Indonesia secara mayoritas masih terperangkap dalam kemiskinan yang membawanya pada serba kekurangan. Hingga akhirnya tidak sedikit masyarakat yang masih terjerat pinjol, masih berharap dan bergantung pada bantuan sosial, aksi gali lubang tutup lubang pun masih terus berlangsung demi bisa melangsungkan kehidupan. Banyak pula masyarakat yang masih sulit memenuhi kebutuhan hidup dan bekerja secara informal tanpa adanya jaminan.
Garis lemiskinan yang dibuat oleh Bank Dunia, harus menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah untuk mengubah sistem ekonomi (kapitalisme). Dengan harapan agar rakyat rawan miskin di Indonesia bisa sejahtera. Kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia harus diberikan oleh negara, karena itulah tugas pemimpin dalam negara.
Ekonomi Islam Solusi Kemiskinan
Islam bukan hanya agama yang mengatur tentang ibadah ritual. Lebih dari itu, Islam adalah pedoman hidup manusia yang aturannya datang dari Sang Khalik yaitu Allah SWT. Islam memiliki aturan dalam setiap aspek kehidupan. Termasuk dalam mengelola ekonomi negara.
“Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api (energi).” (H.R. Abu Dawud)
Berdasarkan hadits inilah, dalam Chanel YouTube Muslimah Media Hub negara dilarang untuk menyerahkan semua sumber daya alam ini kepada pihak swasta maupun asing. Tetapi, negara harus mengelola sumber daya alam tersebut dan hasilnya dikembalikan untuk kemaslahatan umat. Agar pendanaan bagi kesehatan, pendidikan, infrastruktur, dan subsidi kebutuhan lainnya tetap berlangsung.
Sistem Islam memosisikan rakyat sebagai amanah yang harus dijaga dan disejahterakan. Dalam sejarah, peradaban Islam berlangsung selama 13 abad lebih. Pada masa kegemilangannya, kemiskinan pernah berhasil dituntaskan, sehingga pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz tidak ada lagi rakyat yang menerima santunan (zakat), karena terpenuhinya seluruh kebutuhan rakyat saat itu.
Inilah gambaran nyata sejarah Islam yang berhasil menuntaskan kemiskinan dan mennyejahterakan seluruh rakyatnya. Karena, sistem ekonomi Islam memiliki berbagai pemasukan negara yang berasal dari pengelolaan sumber daya alam yang ada di wilayah negara, juga zakat, ghanimah, fa’i, kharaj, jizyah dan yang lainnya.
Solusi kemiskinan bukanlah soal mengganti standar angka. Melainkan mengubah sistem ekonomi yang rusak (kapitalisme) secara menyeluruh dengan sistem Islam. Kebenaran sistem Islam adalah pasti, karena datang dari Sang Khalik yang menciptakan kehidupan. [WE/IK].
Views: 0
Comment here