Oleh : Nurpah Achmad (Aktivis Daqwah)
Wacana-edukasi.com, OPINI–Dalam beberapa media menyatakan bahwa data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 menunjukkan bahwa rata-rata lama pendidikan atau sekolah penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas hanya mencapai 9,22 tahun. Ini setara dengan lulusan kelas 9 atau Sekolah Menengah Pertama (SMP), yang artinya menunjukkan bahwa banyak pelajar yang tidak berhasil menyelesaikan Pendidikan Menengah ke Atas (SMA) dan mayoritas pendidikan penduduk Indonesia masih berhenti pada jenjang SMP (Kompas.com, 04-03-2025).
Pendidikan yang seharusnya dapat dirasakan oleh semua kalangan di berbagai daerah nyatanya hanya sekadar impian bagi sebagian masyarakat. Sebab masih banyak masyarakat yang tidak mampu menyelesaikan studinya hingga SMA, bahkan tidak sedikit masyarakat yang sama sekali belum mengenyam pendidikan sama sekali. Faktanya dapat dilihat dari data BPS menyebutkan mayoritas pendidikan penduduk Indonesia hanya sampai SMP.
Banyak faktor yang membuat masyarakat tidak dapat menyelesaikan pendidikan atau tidak dapat mengenyam bangku pendidikan. Yakni akibat biaya pendidikan yang tinggi, kemiskinan yang tinggi, akses yang kurang memadai, sarana dan prasarana yang kurang lengkap, serta kualitas SDM pengajar yang kurang mumpuni.
Di tengah problem pendidikan yang tidak mampu di jangkau beberapa kalangan, bukannya mencari solusi atau cara agar masyarakat mampu bersekolah atau menyelesaikan pendidikannya, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka justru berencana memperkenalkan kurikulum pendidikan berbasis Artificial Intelligence (AI) di sekolah-sekolah Indonesia. Program ini akan dimulai pada tahun ajaran baru 2025/2026 dan mencakup semua jenjang pendidikan, mulai dari SD, SMP, SMA, hingga SMK.
Alih-alih wacana program kurikulum AI, di luar sana masih banyak pelajar atau siswa yang belum bisa menulis dan membaca meskipun mereka sudah di tingkat sekolah menengah pertama. Otomatis kurikulum ini lagi-lagi hanya mampu dilaksanakan di sekolah-sekolah tertentu dan diakses oleh beberapa masyarakat saja.
Sebelum melangkah lebih jauh dalam pengenalan kurikulum baru alangkah baiknya negara lebih fokus untuk memperbaiki hal yang paling mendasar dulu.
Memang negara sudah memberikan berbagai program yang diharapkan menjadi solusi, seperti KIP (Kartu Indonesia Pintar), sekolah gratis, beasiswa dan berbagai program yang lain. Akan tetapi, kenyataannya tidak semua rakyat dapat mengakses layanan pendidikan dan program tersebut hanya untuk kalangan tertentu, serta jumlahnya pun terbatas. Ditambah lagi tidak meratanya layanan pendidikan di beberapa wilayah, terkhusus rakyat yang tinggal di wilayah terpencil.
Ke mana Arah Pendidikan di Tangan Kapitalisme?
Sistem kapitalis telah lama dianut oleh Indonesia. Di mana semua lini kehidupan memakai sistem kapitalisme. Seperti yang kita ketahui bahwa sistem kapitalisme mengukur segalanya berdasarkan keuntungan materi. Mulai dari sektor ekonomi, kesehatan, sosial budaya pemerintahan dan pendidikan, semua memakai sistem kapitalis dalam mengatur setiap aturan maupun kebijakannya.
Kapitalis dapat membawa arah pendidikan menjadi komersialisasi, mengubah pendidikan menjadi komoditas yang hanya dapat diakses oleh mereka yang mampu membayar. Inequality yang dapat memperlebar kesenjangan sosial dan ekonomi dalam pendidikan, dan Pengaruh Ideologi, di mana kapitalis dapat mempengaruhi kurikulum dan metode pendidikan untuk kepentingan bisnis.
Serta privatisasi yang dapat mendorong privatisasi pendidikan dan dapat mengancam akses pendidikan bagi masyarakat yang tidak mampu. Misalnya saja sekolah swasta. Akibat membangun dan mengelola sekolah swasta, pendidikan berkualitas tinggi menjadi lebih mahal. Begitu pun pada lembaga pendidikan online yang menawarkan kursus dan pelatihan dengan biaya tertentu. Hal ini diperparah dengan adanya kerja sama industri, di mana para kapitalis dapat bekerja sama dengan industri untuk mengembangkan program pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan industri.
Apa Dampak sistem Kapitalis pada Pendidikan?
Sepeti penjelasan di atas bahwa dampaknya dapat mempengaruhi peningkatan biaya, kurangnya akses serta mempengaruhi ideologi yang dapat mengancam nilai-nilai pendidikan yang sebenarnya. Lantas, bagaimana pendidikan di dalam sistem Islam?
Dunia pendidikan yang ada pada sistem sekuler sangat berbanding terbalik dengan dunia pendidikan dalam sistem Islam. Dalam Islam, layanan kesehatan, keamanan bahkan pendidikan merupakan tanggung jawab sepenuhnya oleh negara. Pendidikan dapat di rasakan oleh semua kalangan, baik miskin maupun kaya, tidak ada perbedaan.
Negara juga memberikan pendidikan secara gratis, sehingga orang tua mereka tidak lagi terbebani oleh biaya pendidikan.
Alhasil, para orang tua bisa fokus untuk mencari nafkah untuk kebutuhan sehari-hari. Sebab, biaya pendidikan tersebut diambil dari kas negara atau biasa disebut Baitulmal.
Layanan yang diberikan negara kepada masyarakat bentuk perhatian negara kepada umatnya. Fungsi negara atau seorang pemimpin (Khalifah) adalah mengurus dan menjaga umatnya. Fungsi ini, kelak akan dimintai pertanggungjawaban sebagaimana sabda Nabi saw., “Setiap kalian adalah pemimpin (pengurus) dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban. Maka seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban.” (HR. Bukhari)
Selain itu, Islam juga memberikan support system secara maksimal melalui institut Khilafah sehingga mewujudkan pendidikan yang lebih baik. Membuktikan sepanjang beberapa abad, pendidikan Islam mampu menjadi salah satu pilar kecerdasan cemerlang.
Walhasil, output dari pendidikan Islam benar-benar ideal dan tidak dapat dipungkiri. Lahirnya generasi terbaik yang memberikan kontribusinya terhadap peradaban Islam. [WE/IK].
Views: 3
Comment here