Oleh: Dewi Kumala Tumanggor (Aktivis Muslimah, DIY)
Wacana-edukasi.com, OPINI–Meningkatnya kejahatan kekerasan seperti premanisme adalah contoh yang menunjukkan bahwa masalah ketertiban dan keamanan publik tidak dianggap serius. Berbagai laporan media seperti yang disampaikan CNBC Indonesia dan MetroTV News, memperlihatkan bagaimana aksi premanisme kini makin kreatif dan terorganisir, tidak lagi sekadar tindakan individu yang sporadis, melainkan terbungkus dalam kelompok atau organisasi kemasyarakatan (ormas) yang justru mengancam rasa aman dan kenyamanan warga serta kelancaran dunia usaha.
Keprihatinan Menteri Sekretaris Negara dan Presiden Prabowo Subianto terhadap maraknya premanisme yang berkedok ormas mencerminkan bahwa persoalan ini telah mencapai tingkat nasional dan menjadi perhatian utama. Negara, sebagai institusi utama yang bertanggung jawab menjamin ketertiban masyarakat, harus punya harga diri untuk menindak segala bentuk kriminalitas yang mengancam kepentingan bersama.
Namun, mengapa premanisme masih bisa tumbuh subur dan merajalela? Mengapa penindakan tegas sering kali terasa lambat atau bahkan tebang pilih? Untuk menjawabnya, kita perlu melihat akar masalah secara mendalam, termasuk korelasinya dengan sistem sosial dan ideologi yang memengaruhi masyarakat dan negara.
Salah satu penyebab fundamental premanisme yang jarang mendapat sorotan serius adalah cara pandang masyarakat yang sangat dipengaruhi oleh ide sekularisme dan kapitalisme. Kedua paham ini telah merasuk ke dalam hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat modern. Sekularisme menempatkan kehidupan duniawi dan materialistik sebagai pusat nilai, terlepas dari dimensi spiritual dan moral yang esensial dalam pembentukan karakter dan norma sosial. Kapitalisme, dengan logika pasar bebas dan pencapaian materi sebagai ukuran kesuksesan, mendorong setiap individu untuk berlomba-lomba meraih keuntungan pribadi tanpa memedulikan dampak sosial atau kemanusiaan.
Dalam masyarakat yang begitu dipengaruhi ideologi ini, nilai solidaritas, rasa tanggung jawab sosial, dan keadilan sering tergerus oleh egoisme dan individualisme. Premanisme pun tumbuh subur sebagai manifestasi dari mentalitas “aku dulu” dan “yang penting dapat,” di mana kekerasan dan intimidasi dianggap cara yang sah untuk mencapai tujuan ekonomi atau politik. Maka, tak heran jika aksi preman sering digunakan untuk menekan, memeras, atau menguasai wilayah bisnis dan sosial.
Situasi ini diperparah oleh lemahnya penegakan hukum yang diakibatkan oleh penerapan sistem demokrasi kapitalisme. Di mana semestinya menjadi sarana keadilan dan perlindungan hak justru sering kali berujung pada praktik hukum yang tidak konsisten dan tebang pilih. Aparat penegak hukum dan peradilan rentan terpengaruh oleh kepentingan ekonomi dan politik, sehingga preman yang memiliki jaringan dan kekuatan tertentu dapat menghindari sanksi berat. Akibatnya, masyarakat kehilangan rasa aman dan kepercayaan terhadap negara sebagai pelindung utama.
Berbeda dengan Islam, Islam menawarkan solusi yang berbeda dan teruji dalam menjamin keamanan dan ketertiban masyarakat. Dalam perspektif Islam, setiap pelanggaran hukum merupakan pelanggaran terhadap hukum syarak yang harus diberi hukuman tegas dan menimbulkan efek jera. Prinsip keadilan menjadi landasan utama dalam sistem hukum Islam, yang menerapkan sanksi secara tegas, konsisten, dan tanpa pilih kasih. Tindakan yang mengganggu ketertiban umum serta membahayakan keselamatan publik, seperti premanisme, dipandang sebagai pelanggaran serius yang dapat mengancam stabilitas masyarakat.
Sanksi dalam hukum Islam sangat beragam, mulai dari hukuman hudud, takzir, hingga qishash, yang semuanya bertujuan menegakkan keadilan dan memberikan efek jera sekaligus rehabilitasi. Misalnya, tindakan pemerasan dan penganiayaan yang menjadi ciri khas premanisme bisa dijerat dengan hukuman takzir, yang pelaksanaannya disesuaikan dengan tingkat keseriusan pelanggaran dan berlandaskan musyawarah ulama dan penguasa. Penegakan hukum Islam yang tegas ini menjamin tidak ada ruang bagi pelaku preman untuk berkeliaran bebas.
Selain itu, Islam tidak hanya menitikberatkan pada sanksi, tetapi juga pada pembinaan moral dan spiritual masyarakat. Prinsip amar makruf nahi mungkar memberikan landasan menyeluruh dalam membangun masyarakat yang tertib dan harmonis. Nilai-nilai kejujuran, tolong-menolong, dan keadilan menjadi pondasi kuat dalam membangun budaya sosial yang menolak kekerasan dan ketidakadilan.
Oleh karena itu, keberhasilan dalam memberantas premanisme bukan hanya soal tindakan represif dari aparat, melainkan juga perubahan paradigma masyarakat secara keseluruhan. Masyarakat harus diajak kembali untuk memahami pentingnya nilai-nilai spiritual dan moral yang menjunjung tinggi keadilan dan keamanan bersama, bukan sekadar mengejar keuntungan materi semata.
Kehadiran negara yang berlandaskan nilai-nilai Islam dalam tata kelola hukum dan sosial dapat menjadi jalan keluar efektif untuk mengatasi permasalahan premanisme yang selama ini sulit diselesaikan. Negara yang kuat secara hukum dan berintegritas, dengan sistem sanksi yang adil dan konsisten, serta masyarakat yang berlandaskan nilai-nilai Islam, akan menciptakan iklim yang kondusif untuk tumbuhnya rasa aman, nyaman, dan kesejahteraan.
Premanisme bukan hanya masalah kejahatan umum yang dianggap biasa, tetapi ini merupakan tanda krisis etika dan struktural yang perlu ditangani sepenuhnya. Dengan mempelajari menegakkan syariat Islam untuk menciptakan masyarakat yang adil dan sistem hukum, maka negara ini akan dapat menciptakan masa depan yang lebih damai dan lebih kaya, di mana setiap warga negara merasa aman dan dihargai. [WE/IK].
Views: 1
Comment here