Oleh : Ummu Gendiscantika
Wacana-edukasi.com, OPINI–Petaka bencana banjir bandang dan longsor menerjang beberapa wilayah di Sumatra, yaitu di Sumatra Barat, Sumatra Utara, dan juga Aceh, serta beberapa tempat lainnya. Bencana banjir dan tanah longsor ini tentu saja bukan karena faktor curah hujan yang tinggi saja, tetapi disebabkan faktor lain sehingga banjir bandang terlihat sangat parah karena diiringi oleh menurunnya daya tampung wilayah.
Diketahui melalui cnnindonesia.com (1/12/2025) bahwa data korban meninggal dunia sampai saat ini per Senin (1/12) menjadi 604 orang. Data itu diambil dari Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari.
Sehubungan dengan itu, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menanggapi terkait belum ditetapkannya status bencana nasional terhadap terjadinya bencana banjir dan tanah longsor di Sumatra Utara, Aceh, dan Sumatra Barat. Beliau menuturkan bahwa meskipun status bencana nasional belum ditetapkan oleh BNPB, tetapi dipastikan bahwa penanganan bencana di wilayah tersebut sudah dilakukan setara dengan bencana nasional.
Pemerintah melalui Kementerian Keuangan memastikan untuk kesiapan dana penanganan bencana, yaitu sebanyak Rp 491 miliar. Jumlah alokasi menurun dari sekitar Rp 2 triliun menjadi Rp 491 miliar. Penurunan anggaran ini memunculkan isu dan sempat memicu perhatian publik, terutama di tengah besarnya kebutuhan untuk penanganan bagi wilayah yang terdampak.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa pun menegaskan, bahwa realisasi anggaran sepenuhnya menyesuaikan permintaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Hal tersebut disampaikan beliau pada Rapat Pimpinan Nasional Kadin di Park Hyatt Jakarta, Senin (1/12). (Kompas.tv, 2/12/2025)
Sistem rusak membawa bencana
Di tengah banyaknya permasalahan di negara ini. Perlu diketahui bahwa bencana yang terjadi saat ini bukan karena faktor alam, atau sekadar ujian dari sang pencipta semata. Namun, bencana ini adalah akibat dari kejahatan lingkungan yang telah berlangsung lama, dan dilegitimasi oleh kebijakan penguasa. Di antaranya yaitu berupa pemberian hak konsesi lahan, obral izin perusahaan sawit, izin tambang terbuka, tambang untuk ormas, UU Minerba, UU Ciptaker, dan lain-lain.
Sikap penguasa seperti inilah yang menjadi sebuah keniscayaan dalam sistem sekuler demokrasi kapitalisme. Di mana, penguasa dan pengusaha melakukan kongkalikong untuk menjarah hak milik rakyat atas nama pembangunan. Inilah risiko sebuah negeri yang menerapkan sistem pemerintahan yang buruk, maka akan menghasilkan para pemimpin yang buruk pula, serta melahirkan para penguasa zalim.
Musibah banjir dan longsor di Sumatra semakin memperlihatkan betapa bahayanya dampak dari sebuah kerusakan lingkungan. Terlebih, dengan sengaja melakukan pembukaan hutan secara besar-besaran dan mengalihfungsikan tanpa memperhitungkan dampak ke depan.
Inilah dampak yang mesti ditanggung rakyat ketika negara meninggalkan hukum Allah dan sistem Islam dalam pemerintahan, termasuk dalam pengelolaan lingkungan. Akibatnya masyarakat menderita, sedangkan pengusaha dan penguasa yang menikmati hasil hutannya.
Memang terlihat begitu kejam dan tidak berperikemanusiaan, tetapi begitulah sistim kapitalisme ketika dipakai untuk mengatur negara termasuk mengatur lingkungan atau hutan. Sistem ideologi kapitalisme hanya memprioritaskan manfaat demi materi sebanyak-banyaknya. Namun, sistem dari ideologi yang diadopsi dari Barat ini tanpa memikirkan keberlangsungan hajat hidup. Mereka akan tabrak apa pun yang ada di depan tanpa memandang rasa kemanusiaan. Sudah begitu jelas kezaliman yang mereka pertontonkan.
Islam melindungi dan memberi solusi
Sebagai orang yang beriman kita harus memahami, bahwa manusia itu diciptakan untuk mengemban tugas sebagai Khalifah fil ardh, yaitu sebagai pengelola dan penjaga di bumi. Kita diberikan tanggung jawab oleh Allah untuk menjaga keseimbangan alam dan keberlanjutannya dengan mewujudkan lingkungan hidup yang lestari. Semua itu demi kemaslahatan seluruh umat tanpa kecuali, dan itu merupakan tugas mulia yang harus kita tunaikan.
Selain itu dari sudut pandang Agama Islam juga telah dijelaskan bahwa setiap penggunaan dan pemanfaatan sumber daya alam untuk kebutuhan manusia harus mengedepankan kelestarian lingkungan, kesejahteraan, dan kemakmuran bersama. Di samping itu, harus memikirkan juga keberlangsungan masa depan untuk generasi berikutnya yang bersifat global, yaitu memikirkan kebersamaan dengan konsep amal jamaiyah, gotong royong, saling melengkapi, saling memberi antar sesama dan saling tolong menolong. Allah Swt. berfirman,
وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ
“Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.” (TQS. Al-A’raf : 56)
Dari sini bukankah seharusnya sudah jelas ,bahwa sebagai wujud keimanan, umat Islam harus menjaga kelestarian lingkungan. Negara dalam sistem Islam diwajibkan mengutamakan penggunaan hukum Allah dalam kepengurusan semua urusan, termasuk bertanggung jawab untuk menjaga kelestarian alam.
Salah satu contohnya yaitu mengembalikan hak kepemilikan. Bahwasanya hutan dan sumber daya alam lainnya adalah milik rakyat, sehingga tidak boleh diprivatisasi oleh siapa pun dan kelompok mana pun, terlebih oleh asing. Kepemilikan sumber daya alam harus dibatasi jumlahnya sehingga tidak terjadi jenjang perekonomian antara yang kaya dan yang tak berpunya.
Negara boleh mengelola tetapi hasilnya dikembalikan ke rakyat berupa fasilitas-fasilitas yang bisa diakses dengan mudah, murah, bahkan gratis. Fasilitas itu seperti bidang pendidikan, kesehatan, informasi, maupun hal keamanan. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ahmad, “Kaum muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga perkara, yaitu air, Padang gembalaan, dan api.”
Begitu sempurnanya hukum Allah, maka jika hukum Allah Swt. ditegakkan, niscaya dapat meminimalisasi terjadinya banjir dan longsor hingga menyengsarakan rakyat. Dalam hal ini, penguasa atau khalifah akan fokus pada setiap kebijakannya yang senantiasa mengutamakan keselamatan umat manusia dan lingkungan dari dharar.
Selain itu juga penguasa atau khalifah juga akan merancang tata ruang lingkungan secara menyeluruh dengan melakukan pemetaan wilayah sesuai fungsi alaminya masing-masing. Semua itu akan khalifah pikirkan dan rancang dengan matang agar tidak terjadi kerusakan lingkungan yang berakibat bencana alam karena kesalahan manusia. Dengan langkah demikian, maka niscaya petaka bencana tidak akan terus berulang.
Wallahualam bissawab.
Views: 21


Comment here