Oleh: H.B. Abdillah (Aktivis Muslimah, Ngaglik, Sleman, DIY)
Wacana-edukasi.com, OPINI--Momen Ramadan dan Idul Fitri biasanya menjadi waktu panen bagi para pedagang. Namun, di tahun 2025 ini justru menyisakan kekecewaan. Para pedagang di Pasar Tanah Abang misalnya, mengaku mengalami penurunan omzet signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya (metrotvnews.com,10/04/2025).
Kondisi ini terjadi akibat daya beli masyarakat turun. Di mana, kemampuan masyarakat untuk membeli barang dan jasa menurun. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor. Tentu saja, ini menjadi alarm keras bagi perekonomian Indonesia karena akan berdampak pada kondisi dan kesejahteraan masyarakat.
Pasalnya, kondisi ini mengingatkan kita dengan situasi krisis moneter Asia pada tahun 1998. Krisis ini menyebabkan nilai tukar rupiah merosot drastis dan harga barang turun tajam. Sehingga memicu deflasi yang meluas di berbagai sektor ekonomi. Menurut Divisi Riset Bloomberg Technoz, pada tahun 2025, Indonesia mengalami deflasi pada bulan Januari dan Februari, serta secara tahunan pada Februari. Deflasi ini merupakan yang pertama dalam 25 tahun terakhir. Sedangkan Angka inflasi IHK Indonesia pada Januari 2025 menjadi yang terendah dalam 25 tahun terakhir, sejak tahun 2000.
Meskipun demikian, dampak deflasi-inflasi mempengaruhi kesehatan ekonomi menurun secara keseluruhan. Sehingga dapat merusak perekonomian umat. Jika dibiarkan secara terus-menerus, hal ini tentu akan sangat berbahaya. Untuk itu, harus ada upaya serius mencari akar persoalan akibat daya beli masyarakat yang menurun. Serta solusinya agar dampak persoalan ini bisa teratasi tuntas.
Buruknya Sistem Ekonomi Kapitalisme
Ada banyak faktor yang menyebabkan daya beli masyarakat menurun tahun ini, di antaranya adalah pertama, maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK). Presiden KSPN Ristadi menyampaikan, total korban PHK dari 18 perusahaan dan sebagian besar pekerja yang di PHK merupakan anggota Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara. Data sampai awal April sekitar 23.000 orang (Bisnis.com, 17/4/2025).
PHK massal terjadi akibat banyak perusahaan yang muflis, bahkan bangkrut terancam gulung tikar. Selain itu, kebijakan tarif timbal balik yang diterapkan oleh Amerika Serikat (AS), memberikan efek domino sehingga kian memperparah kondisi ini. Terutama kondisi universal yang penuh dengan ketidakpastian.
Kedua, maraknya pengangguran.
Sudahlah PHK merajalela, ada indikasi bahwa pembukaan lapangan kerja padat karya di Indonesia cenderung menurun di tahun 2025 ini. Tak bisa dipungkiri, bahwa kondisi ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang lebih menggenjot investasi pada sektor padat modal daripada padat karya. Sehingga menimbulkan ketidakseimbangan tenaga kerja, ketergantungan ekonomi pada investor asing, dan potensi pengangguran tinggi karena ketergantungan dari teknologi.
Akibat menurunnya daya beli masyarakat juga tak lepas dari naiknya harga barang serta minimnya pendapatan. Pengaruh dari lesunya ekonomi secara global inilah yang menyebabkan kesengsaraan rakyat semakin meningkat. Faktanya, bukan hanya kebutuhan sandang, papan dan pangan saja yang tidak terpenuhi. Tetapi, kebutuhan akan rasa aman juga semakin pudar. Tak heran jika tingginya kemiskinan akan berbanding lurus dengan meningkatnya angka kriminalitas dan problematik sosial lainnya. Sudahlah kebutuhan pokok tak tercukupi, beragam pajak untuk rakyat semakin membebani.
Begitu pula dengan kesehatan dan pendidikan generasi saat ini yang tidak terpenuhi dengan optimal. Hal ini tentu akan menimbulkan ragam bahaya pada jangka panjang. Karena kualitasnya akan memburuk di masa depan.
Kondisi ekonomi saat ini kian hari kian memburuk. Karena mandulnya ragam kebijakan dan peran pemerintah. Hal ini disebabkan karena penerapan kepemimpinan ekonomi kapitalisme yang menjadi landasan perekonomian negeri ini. Sistem ekonomi kapitalis mengakibatkan masyarakat mencari solusi dengan hutang ribawi demi mencukupi kebutuhan. Besarnya arus budaya konsumerisme, hedonisme juga tk kalah penting, sehingga kebahagiaan diukur dengan standar materi semata. Alih-alih mencari solusi dengan hutang berbasis ribawi, justru berpotensi menambah beban masalah umat, investasi dosa dan menjauhkan keberkahan.
Solusi
Masyarakat harus sadar, sistem kapitalisme sekuler tidak dirancang untuk menjamin kehidupan manusia. Sudah saatnya kita tinggalkan sistem kufur ini dengan kembali sistem ekonomi Islam. Dalam Sistem ekonomi Islam, celah pintu masuk budaya konsumerisme, hedonisme, flexing, permisif, dan sejenisnya sangat minim. Umat akan sellau diingatkan bahwa setiap perbuatan kelak di hadapan Allah Swt. akan dimintai pertanggungjawaban. Sehingga, masyarakat akan terbentuk ketakwaannya dengan standar bahagia dengan meraih ridha Allah Swt.. Konsep inilah yang akan menjaga dan menjamin kesejahteraan rakyat.
Penyakit dari persoalan ini hanya bisa disembuhkan jika negara menerapkan sistem ekonomi Islam. Sepanjang sejarah, penerapan Islam secara kaffah terbukti, mampu menjamin kesejahteraan rakyat. Syariat Islan akan menghapus praktik ribawi untuk terjaga dari hal-hal yang diharamkan. Pemerintah dalam sistem Islam memiliki tanggung jawab untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat individu per individu.
Oleh karena itu, wahai umat muslim di seluruh penjuru negeri. Berjuang mewujudkan kembali kehidupan Islam menjadi bagian tugas dan tujuan hidup kita. Semua itu akan terwujud secara nyata dengan penerapan syariat Islam secara kaffah dalam sebuah institusi negara. [WE/IK].
Views: 0
Comment here