Oleh: Moni Mutia Liza, S.Pd. (Pegiat Literasi)
Wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA--Pelecehan seksual berkedok agama bukanlah hal yang baru terjadi di negeri ini. Bahkan perbuatan tercela ini kian menjamur terjadi diberbagai pelosok negeri. Sungguh aneh memang, seorang yang dipandang berilmu dan memahami agama namun bertolak belakang dengan perbuatannya yang begitu menjijikkan. Bukan satu kasus saja, bahkan puluhan kasus serupa terjadi di pesantren-pesantren. Meskipun demikian, kita tidak bisa menjudge bahwa pesantren sarang pelecehan seksual, sebab itu tergantung ke personal gurunya. Namun, hal ini tentunya akan memberikan ketakutan tersendiri bagi wali santri untuk menitipkan putra-putrinya ke pesantren.
Maraknya kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh orang yang dikenal alim justru menjadi tanda tanya besar bagi kita. Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Bukankah mereka berilmu? Bukankah mereka orang yang rajin beribadah? Bukankah mereka harusnya menjadi teladan bagi santrinya?
Menjamurnya kasus serupa tentu ada penyebabnya. Salah satunya yaitu hilangnya ketakwaan dalam diri orang-orang berilmu. Seharusnya ilmu dan takwa itu berbanding lurus, namun kenyataannya bila ilmu tidak diterapkan justru hanya akan menjadi teori belaka dan akan menghilangkan sifat takwa. Dan hal ini sangat berbahaya, sebab akan menghilangkan rasa kepercayaan umat terhadap orang-orang yang berilmu. Jika orang yang berilmu saja tidak lepas dari perbuatan menjijikkan, lantas kemana lagi umat mencari rujukan dan teladan?
Iklim pelecehan seksual ini juga terjadi akibat lemahnya kontrol negara terhadap lembaga pendidikan. Negara cenderung abai dan bersikap lamban dalam menangani kasus pelecehan seksual sehingga kasus ini kian menjamur diberbagai daerah. Lemahnya sanksi yang diberikan negara juga mempengaruhi maraknya kasus pelecehan seksual. Di Indonesia, hukuman atas pelecehan seksual diatur dalam UU TPKS No. 12 Tahun 2022 dan KUHP. Jenis dan tingkat keparahan pelecehan, serta usia korban, memengaruhi berat ringannya sanksi. Pelecehan nonfisik seperti ucapan atau gerakan yang merendahkan dikenai hukuman maksimal 9 bulan penjara dan denda Rp10 juta. Pelecehan fisik yang bersifat seksual dapat dihukum hingga 12 tahun penjara dan denda maksimal Rp300 juta. Jika korban adalah anak di bawah umur, sanksinya lebih berat sesuai dengan Pasal 289, 290, 291, dan 293 KUHP.
Namun fakta berbicara lain, justru banyak yang kita dapati hukum yang diberikan kepada pelaku kejahatan seksual tidak setimpal dengan perbuatan yang telah dilakukannya. Hal inilah yang mengakibatkan tidak adanya efek jera bagi pelaku dan ketakutan di tengah-tengah masyarakat sehingga oknum tertentu semakin berani dan menjamurnya perbuatan tercela tersebut.
Selain itu negara juga lemah dalam melindungi masyarakat dari konten-konten porno. Pasalnya situs-situs porno dengan mudah diakses oleh siapapun. Artinya adalah negara tidak menutup rapat kran pornoaksi dan pornografi yang merusak individu dan masyarakat. Mengapa negara begitu lemah? Padahal negara memiliki kekuatan?. Hal ini didasari oleh pondasi negera ini yang mengadopsi ideologi kapitalisme-sekulerisme. Ideologi ini menjadikan negara hanya sebagai fasilitator bukan pengatur dan pengontrol. Inilah kelemahan ideologi kapitalisme, menjadikan peran negara hilang dan rakyat mengurus nasibnya sendiri.
Beda dengan sistem Islam yang memiliki perangkat aturan yang detail lagi jelas. Aturan yang tidak sarat akan kepentingan sebab diciptakan oleh sang pemilik jagad raya bukan dari akal manusia. Dalam hukum Islam, pemerkosaan diperlakukan seperti zina yang dilakukan dengan paksaan, dan pelakunya dapat dikenai hukuman mati. Hukuman ini termasuk dalam kategori hudud yang memerlukan bukti kuat seperti pengakuan atau kesaksian empat saksi laki-laki yang adil. Namun, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang penggunaan bukti lain seperti DNA atau CCTV. Pemerkosaan terhadap anak dianggap sebagai kasus khusus yang biasanya diatur oleh hukum negara dengan sanksi lebih berat, seperti hukuman mati atau penjara seumur hidup. Jika syarat hudud tidak terpenuhi, hakim dapat menjatuhkan hukuman ta’zir sebagai alternatif, untuk memberikan efek jera dan mencegah kejahatan serupa.
Begitu tegasnya negara yang mengadopsi sistem Islam terhadap pelaku pelecehan seksual apalagi terhadap anak di bawah umur. Sehingga menekan angka kejahatan dan memberikan pelajaran yang berat sehingga kejadian serupa tidak terjadi diberbagai wilayah lainnya. Selain itu, negara yang berideologi Islam juga akan menutup berbagai sarana yang mengundang syahwat sehingga individu dan masyarakat terjaga aqidahnya dan ibadahnya.
Lantas yang menjadi pertanyaannya adalah apakah kita masih mau hidup dengan peraturan sekuler atau bersegara mengganti ideologi sekuler menuju penerapan Islam kaffah oleh negara? [WE/IK].
Views: 4
Comment here