Oleh: Ummu Kahfi (Penulis & Pegiat Literasi)
Wacana-edukasi.com, OPINI–Beberapa waktu lalu, geliat dari gelombang aksi demo yang berlangsung dibeberapa daerah terus memanas. Semangat perjuangan dan nafas tuntutan perubahan, nampak terasa mengalir dan viral di media nasional juga media sosial. Kekecewaan rakyat atas kedzaliman para penguasa telah mendorong banyak pihak dari berbagai latar belakang yang berbeda, untuk ikut serta dalam menyuarakan aspirasinya. Diantaranya ada aktivis, pelajar, mahasiswa, buruh, influencer, ojol, dan masih banyak lagi.
Pakar EKONOM Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menyatakan bahwa, masifnya demonstrasi yang terjadi akhir-akhir ini disebabkan oleh kesenjangan ekonomi di masyarakat. Ia merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2025, bahwa telah tercatat angka kemiskinan di Indonesia mencapai 24 juta jiwa. Ia juga menegaskan bahwa jumlah kelompok rentan yang memiliki penghasilan dibawah Rp 1 juta per bulan, diperkirakan lebih dari 100 juta orang atau sama dengan sepertiga populasi penduduk Indonesia. (www.msn.com, 01/09/2025).
Parahnya, semakin nampak kesenjangan ekonomi antara penguasa dan masyarakat yang semakin menganga, setelah adanya pemberitaan tentang adanya tunjangan gaji untuk setiap anggota DPR sebesar Rp100 juta lebih setiap bulannya. Kekecewaan dan kemarahan masyarakat yang tak dapat lagi dibendung, melahirkan aksi-aksi unjuk rasa di berbagai kota di seluruh Indonesia. Di tengah situasi inilah, lahir 17+8 tuntutan rakyat yang menjadi viral. (www.bbc.com, 04/09/2025).
Siap-Siap Kecewa
Salah satu inisiator dari penggagas 17+8 tuntutan rakyat Andhyta F. Utami mengatakan, bahwa ia dan beberapa perwakilan dari pegiat media sosial hingga influencer telah menyerahkan tuntutan rakyat 17+8 atau 17 tuntutan jangka pendek dan 8 tuntutan jangka panjang kepada perwakilan DPR di Jakarta, pada hari Kamis (04/09). Ia juga menegaskan bahwa mereka menuntut bukti nyata dan bukan janji semata. Ia juga menuntut Pemerintah dan DPR, untuk terus meng-update dan transparan atas realisasi tuntutan rakyat 17+8. (www.bbc.com, 04/09/2025).
Para inisiator yang menggagas narasi “17+8 Tuntutan Rakyat”, sejatinya sangat berharap agar pemerintah mau menanggapi aspirasi tuntutan ini dengan serius. Berharap agar para penguasa bersegera merealisasikan perubahan secara nyata, demi keadilan bagi seluruh masyarakat. Namun, nampaknya masyarakat harus kembali menelan pil pahit, karena perubahan dalam bingkai demokrasi hanyalah sebuah ilusi. Sebab, justru sistem demokrasi dan kepemimpinan sekuler-kapitalismelah, yang menjadi dalang dari ketidakadilan dan kedzaliman di negeri ini.
Islam Menjawab 17+8 Tuntutan Rakyat
Islam sebagai agama paripurna, telah terbukti berhasil menjadi sistem yang agung nan adil di kancah perpolitikan dunia selama 14 abad lamanya. Karenanya untuk menjawab 17+8 Tuntutan Rakyat, Ustadz Ageung Suriabagja, M.Ag dalam kanal Youtube Ngaji Shubuh di kajian hadits tematik pada tanggal 10 September 2025, menyatakan ada 4 intisari “17+8 Tuntutan Rakyat”, yaitu yang pertama, kepolisian yang mengayomi. Imam Al Bukhari telah menuturkan Riwayat dari Anas bin Malik r.a, bahwa Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya Qais bin Saad di sisi Nabi Saw. memiliki posisi sebagai kepala polisi dan ia termasuk di antara para amir.”
Imam at-Tirmidzi juga telah meriwayatkannya dengan redaksi:
“Qais bin Saad di sisi Nabi Saw. berkedudukan sebagai kepala polisi dan ia termasuk diantara para amir. Al- Anshari berkata: yaitu orang yang menangani urusan-urusan polisi.”
Di dalam Islam, polisi diberi tugas untuk menjaga sistem, mengelola keamanan dalam negeri, dan melaksanakan seluruh aspek implementatif. Dua hadits diatas menunjukkan bahwa polisi berada disamping penguasa. Makna berada di samping penguasa adalah polisi berperan sebagai kekuatan implementatif yang dibutuhkan oleh penguasa untuk menerapkan syariah, menjaga sistem, dan melindungi keamanan, termasuk melakukan kegiatan patroli.
Kedua, wakil rakyat yang amanah. Pada peristiwa Baiat Aqabah II, Rasulullah Saw meminta ditunjuknya 12 naqib (perwakilan) dari kaum Anshar. Disebutkan oleh Ibn Hisyam dalam Sirah Nabawiyah dari jalan Ka’ab bin Malik:
“Keluarkan (pilihlah) kepadaku dua belas naqib dari kalian yang bertanggung jawab atas kaum mereka.”
Dari hadits diatas, digali hukum mengenai posisi para anggota Majelis Umat sebagai para wakil masyarakat dalam mengemukakan pendapat. Karena itu, asas yang menjadi dasar pemilihan anggota Majelis Umat adalah harus mewakili masyarakat secara representatif, seperti halnya kondisi yang menjadi pijakan Rasulullah Saw dalam memilih para penanggung jawab dan harus mewakili kelompok secara representatif seperti halnya ketika Rasulullah Saw memilih wakil dari kaum Muhajirin dan Anshar.
Adapun wewenang Majelis Umat yaitu pertama mereka akan dimintai dan memberikan masukan kepada khalifah dalam pengurusan urusan publik. Kedua, memberikan pandangan perihal qanun yang akan di tabanni khalifah. Ketiga, mengoreksi khalifah. Keempat, memiliki hak menampakkan tidak ridha atas para mu’awin, wali dan amil. Kelima, memiliki hak membatasi calon untuk jabatan khalifah.
Ketiga, tentara fokus di militer. Imam Al Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin Umar r.a:
“Nabi Saw. mengutus pasukan. Beliau mengangkat Usamah bin Zaid sebagai amir pasukan itu.”
Departemen Peperangan menangani semua urusan yang berhubungan dengan Angkatan bersenjata seperti pasukan, logistik, persenjataan, peralatan, amunisi dan sebagainya, menangani akademi-akademi militer, misi-misi militer, serta pemikiran Islam dan pengetahuan umum apa saja yang menjadi keharusan bagi tentara, serta menangani segala hal yang berhubungan dengan peperangan dan persiapannya.
Keempat, komitmen pemberantasan korupsi. Harta ghulul adalah harta yang diperoleh para wali (gubernur), para ‘amil, (kepala daerah setingkat walikota/bupati) dan para pegawai negara dengan cara yang tidak syar’i. Baik mereka memperolehnya dari harta (milik) negara maupun dari harta (milik) masyarakat. Mereka tidak boleh mengambil harta-harta seperti itu, kecuali pengganti/santunan dan bukan gaji. Maka setiap harta yang mereka peroleh dengan memanfaatkan jabatan, kekuasaan atau status kepegawaiannya, baik harta itu berasal dari harta negara maupun harta individu, maka harta tersebut dianggap ghulul (curang) dan itu termasuk harta perolehan yang diharamkan. Karena diperoleh dengan cara yang tidak syar’i, mereka wajib mengembalikan harta itu kepada pemiliknya, jika diketahui. Jika tidak diketahui, maka harta itu akan disita dan diserahkan ke baitul mal kaum muslimin.
Umar bin Khattab jika meragukan kekayaan seorang wali atau ‘amil, maka beliau menyita jumlah kelebihan dari yang telah ditentukan sebagai penghasilan yang sah. Kadangkala jumlah kelebihan itu dibagi dua. Beliau selalu menghitun dan mencatat kekayaan seorang wali atau ‘amil sebelum diangkat sebagai pejabat. Setelah masa tugasnya selesai kekayaannya akan dihitung lagi. Apabila ia mempunyai kekayaan tambahan yang diragukan, maka kelebihannya disita atau dibagi dua. Harta yang disita akan masuk kedalam kas baitul mal.
Wallahu a’lam bishawab
Views: 0
Comment here