Oleh. Nadia Ummu Ubay (Pendidik, Aktivis Muslimah Semarang)
wacana-edukasi.com, OPINI--Pernikahan menjadi tolak ukur kedewasaan dan kematangan, namun kini ditakuti. Pergeseran urgensi untuk segera menikah seolah menjadi marak ditakuti dan banyak yang memilih untuk tidak melampui jenjang pernikahan ini. Memilih untuk bisa mapan secara finansial daripada terjebak dalam penderitaan pernikahan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dimuat dalam laman kompas.id (27/11) tingkat pengangguran didominasi penduduk usia 15-24 tahun dan juga tingkat upah paling rendah dengan Rp. 2,6 juta per bulan diterima pada penduduk usia 20-24 tahun. Nominal ini jauh dari upah rata-rata nasional sebesar Rp. 3,33 juta per bulan per Agustus 2025. Apakah ini yang menjadikan beban finansial berat bagi mereka?
Ada pertimbangan yang lebih penting dipilih generasi muda untuk menunda menikah di antaranya stabilitas psikologi dan ekonomi, kesehatan mental, dan kualitas hidup layak dengan mapan dan tenang. Inilah tujuan hidup yang dituju daripada status pernikahan yang menambah beban kehidupan (kompas.id, 27/11/25).
Apalagi diperkuat dari paparan media sosial yang menampilkan standar pernikahan penuh kemewahan, sehingga kepayahan ibarat kegagalan, marriage is scary. Selain itu mereka juga menghadapi realita pekerjaan yang susah dengan upah stagnan, persaingan yang sengit, hingga biaya hidup semakin mahal. Apakah wajar ketakutan untuk menuju pernikahan ini dibiarkan berlalu tanpa menyelesaikan sumber pemicunya?
Kapitalisme Menambah Beban, Merusak Seruan Syariat Pernikahan
Ketakutan dan segala pertimbangan yang belum nyata terjadi, tanpa evaluasi untuk diselesaikan semakin menambah rumit. Terbentuklah gen-Z dengan mental pecundang. Sebab tidak semua masalah difokuskan, justru fokus pada solusi saja. Ditambah juga tata aturan kehidupan yang ada mencetak mereka beserta bebannya.
Beban kehidupan yang ditumpukkan ke masing-masing individu tanpa solusi. Negara hadir tapi tidak dengan menjamin rakyatnya. Hidup serba mahal, namun pendapatan sedikit, banyak PHK tapi lowongan kerja sulit. Kenyataan ini yang menjadikan para gen-Z lebih baik menunda menikah daripada menambah beban kehidupan yang lebih pahit dengan pernikahan.
Kemiskinan dalam pernikahan seperti kejahatan dalam pandangan manusia, padahal semua berhak mendapatkan rezekinya. Hanya saja mereka berhadapan dengan sistem kehidupan yang menyulitkan.
Negara dengan sistem aturan hari ini cenderung sulit menjamin kesejahteraan rakyatnya. Negara justru mengambil hak dari rakyatnya misalnya pajak yang tinggi dan pemangkasan gaji untuk iuran tertentu, tidak sepadan dengan waktu dan kinerja yang sudah diluangkan.
Apalagi gaya hidup di tengah gempuran media sosial yang pesat memberikan stigma besar pada tujuan pernikahan yang agung ini. Mereka memandang bahwa hidup dengan kepayahan dalam pernikahan itu adalah salah pernikahannya, mengapa memilih menikah jika belum mapan? Begitu katanya.
Kehidupan materialistis yang bersumber dari sistem Kapitalisme, mencetak para individu hedon, berorientasi dengan materi. Termasuk kesuksesan dan kebahagiaan muaranya adalah materi. Mengumpulkan sebanyak-banyaknya materi. Begitupun, kebahagiaan dalam pernikahan diukur pada pencapaian materi dan kemapanan, fasilitas hidup yang serba ada. Sebagaimana selayaknya hidup, di tengah biaya yang mahal, maka memiliki banyak materi adalah ketenangan.
Sehingga dalam sistem Kapitalisme pernikahan hanya sebatas beban, bukan pencapaian yang harus disegerakan. Beban kehidupan bertambah seiring bertambahnya kebutuhan dalam rumah tangga menjadi pemicu pelik yang membuat generasi muda enggan untuk memantaskan segera menikah. Ladang kebaikan atas peran yang dijalankan pun menghilang, semua diorientasikan dengan untung-rugi dan manfaat. Jika tidak ada manfaat yang menghasilkan materi maka tidak penting bagi kehidupannya. Kenyataan yang sangat menyulitkan kehidupan. Itulah mengapa mereka alergi terhadap seruan pernikahan.
Sistem Islam Hadir Menyolusi
Islam diterapkan dalam sebuah negara artinya syariat mengatur semua aspek kehidupan. Negara dengan syariat Islam mengatur manusia. Tujuannya adalah menciptakan kemaslahatan, kesejahteraan, dan keberkahan.
Negara yang berasaskan Islam hadir meriayah rakyat dengan menjamin kebutuhan dasar, meliputi terjaminnya pangan, lapangan kerja luas, upah yang layak dan sebanding, semua diatur dalam ekonomi Islam mengacu pada manajemen distribusi harta dan pengaturan kepemilikan.
Kepemilikan dalam Islam diatur untuk memberikan hak negara dan memudahkan negara mengatur pos pemasukan tanpa hutang dan pajak. Misalnya, kepemilikan umum akan diatur oleh negara secara penuh tanpa bantuan asing yang hasilnya untuk rakyat seutuhnya. Rakyat tidak merasa beban individual di pundaknya, karena negara mengcover dan memudahkan semuanya.
Serta didukung dengan periayahan individu pada syakhsiyah atau kepribadian. Kepribadian dibentuk melalui pendidikan berbasis akidah, mengarahkan pada tujuan dan makna hidup sesungguhnya sesuai perintah Allah. Sehingga karakter individu kuat berkepribadian Islam tidak terjebak pada hedonisme ataupun materialisme. Mereka hadir di tengah umat saling menghidupkan syu’ur Islam sehingga kehidupan mudah dan aman, mengacu pada syariat. Jiwa yang tercelup akidah Islam yang kuat akan mudah taat dan lebih matang pola pikirnya. Tidak lagi terombang-ambing dalam mental health yang dipermasalahkan sebagai pemicu ketidakmatangan individu hari ini. Islam menganhantarkan kedewasaan seseorang karena orientasi kehidupan pada level tertinggi, yaitu kehidupan sesungguhnya (akhirat).
Negara selalu hadir beserta solusi yang dibutuhkan rakyatnya. Sistem aturan yang diterapkan dalam negara akan berdampak pada kebijakan atau pengaturan rakyat. Sistem yang mencetak individu itu nantinya. Sebab, muaranya adalah bagaimana negara memudahkan dengan penjaminan yang stabil. Tidak ada lagi individu yang terjebak dalam kehidupan karena sistem yang salah. Sistem Islam lahir dari aturan Pencipta yang mengetahui tabiat hambanya.
Bahkan nantinya negara mendorong agar siapapun yang siap dan wajib menikah secara pandangan syariat, difasilitasi dan dimudahkan. Sebab, pernikahan sebagai bentuk penjagaan keturunan atau pembentuk generasi berikutnya. Standar pernikahan bukan lagi tentang materi tapi keridaan Allah. Ada kehidupan yang saling memudahkan, tidak menuntut. Bukan sebatas mapan finansial dan mental, tetapi juga matang spiritual sebagai bekal menjalankan kehidupan pernikahannya. Negara hadir membantunya. Rakyat tidak menanggung beban kepayahan sendirian, negara menjaga dan menjaminnya.
Wallahu’alam bissawab.
Views: 7


Comment here