Opini

Filisida Maternal: Benarkah Sekadar Gangguan Mental?

Bagikan di media sosialmu

Oleh: Anita Rachman

Wacana-edukasi.com, OPINI–Pada 30 Juli 2025, masyarakat Kabupaten Batang, Jawa Tengah dibuat geger dengan kasus pembunuhan oleh seorang ibu terhadap kedua anaknya. Ibu berinisial VM (31) tega mengajak kedua anaknya yang berusia 6 dan 3 tahun bunuh diri bersama dengan membawa mereka ke tengah laut hingga tenggelam. Beruntung sang ibu terseret ombak ke tepi pantai dan ditemukan bersembunyi di toilet dalam keadaan linglung (antaranews.com, 04/08/2025).

Hal serupa terjadi di Bandung, Jawa Barat. Seorang ibu berinisial EN (34) tewas gantung diri setelah meracuni dua anaknya yang berusia 11 dan 9 tahun di rumah kontrakannya. Di lokasi kejadian ditemukan surat yang berisi penderitaan hidup dan kekesalan hati istri kepada suaminya. (antaranews.com, 08/09/2025). Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat terdapat 60 kasus filisida maternal selama 2024. Sejak Januari 2025, terpantau di media terjadi 5 kasus dengan 7 korban, dimana pelakunya adalah ibu, ayah bahkan pacar dari ibu.

Kalau selama ini kita familiar dengan istilah babyblues syndrome, kini mencuat istilah baru yang lebih ‘horror’ yakni filisida maternal. Sebagaimana diketahui bersama, babyblues syndrome adalah kondisi psikologis paska melahirkan yang ditandai dengan suasana hati mudah berubah, menangis tanpa sebab, sulit tidur, atau merasa kewalahan. Sedangkan filisida maternal dampaknya jauh lebih serius karena masuk ranah kriminal, yaitu ibu bermaksud menghilangkan nyawa anak kandungnya.

Secara naluriah filisida maternal ini tentu tidak bisa diterima akal maupun nurani. Karena secara fitrah, ibu adalah sosok yang paling menyayangi anak-anaknya. Namun faktanya, filisida maternal menjadi fenomena yang memprihatinkan hari ini. Disebutkan beberapa faktor penyebabnya adalah permasalahan ekonomi, gangguan kesehatan mental, kurangnya pemahaman dalam mengasuh anak dan lemahnya dukungan keluarga atau lingkungan sekitar.

Beberapa pihak memberikan rekomendasi solusi, diantaranya menyediakan layanan edukasi, rumah aman, konsultasi hingga konseling. KPAI juga mendorong seluruh daerah untuk mengembangkan Kota Layak Anak sebagai alat untuk memastikan hak-hak anak terpenuhi sepenuhnya. Di level masyarakat, KPAI menginisiasi program Ruang Bersama Indonesia (RBI) dengan harapan masyarakat akan lebih memiliki kesadaran untuk saling menjaga sehingga bisa mencegah sejak dini resiko terjadinya kekerasan pada anak di lingkungannya.

Wakil Ketua MPR RI Dr. H.M. Hidayat Nur Wahid, MA mengaku sangat prihatin dengan kasus filisida maternal ini dan mendorong pemerintah untuk membuat kebijakan yang komprehensif, seperti Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga sebagai salah satu upaya menjaga asa Indonesia Emas 2045. Sementara hukum positif di negeri ini tidak secara spesifik mengatur filisida maternal. Oleh karenanya tindakan ini masuk dalam kategori pembunuhan secara umum. Dalam UU Perlindungan Anak kemudian lebih dirinci jika pelakunya adalah orangtua sendiri, maka ancaman pidananya dapat ditambah sepertiga.

Filisida maternal bukanlah kasus yang berdiri sendiri, tapi muncul karena akumulasi konflik dari berbagai aspek, mulai aspek psikologis, ekonomi, sosial, hingga hukum. Dari aspek psikologis, pakar menyebut pelaku yakni ibu mengalami gangguan mental. Namun apakah dengan memberikan edukasi, pendampingan serta konseling yang sifatnya insidental dan sementara akan mampu menyembuhkan mental ibu? Sayangnya tidak! Hal ini karena faktanya penyebab terjadinya gangguan mental pada ibu justru tidak diselesaikan.

Salah satu faktor yang disebut cukup dominan memicu ibu tertekan adalah faktor ekonomi. Mereka tidak hanya berperan sebagai ibu di rumah tetapi harus ikut memikirkan bahkan menanggung ekonomi keluarga. Itupun seringnya masih belum sepenuhnya mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Di sisi lain, segelintir orang begitu santainya menikmati kehidupan mewah. Orang-orang kaya terus bisa menumpuk kekayaannya, sementara orang miskin tetap terjebak pada kemiskinannya. Jurang pemisah antara si kaya dan si miskin yang kian dalam dan dipertontonkan di media sosial, secara langsung menambah beban mental para ibu. Sayangnya kondisi ini adalah gambaran hidup ‘normal’ dalam sistem kapitalisme.

Sedangkan di lingkup sosial, individu masyarakat sibuk dengan urusannya sendiri, sehingga fungsi kontrol sosial tidak berjalan. Istilahnya ‘loe-loe-gue-gue’. Dalihnya, memikirkan masalah sendiri saja tidak kunjung selesai, apalagi harus memikirkan masalah orang lain. Sifat individualistis ini muncul karena sistem kapitalis membentuk manusia fokus pada urusan pribadi semata. Negara bahkan tidak banyak turun tangan mengurusi rakyat dan memenuhi hak-haknya. Walhasil, semua terkondisikan untuk berjuang sendiri-sendiri.

Sayangnya dari aspek hukum pun belum ada kebijakan yang menyentuh akar masalah. Undang-undang yang ada fokus pada penanganan setelah kasus terjadi, itupun dengan hukuman yang tidak menimbulkan efek jera. Tidak ada regulasi atau sistem yang mengarah pada tindakan pencegahan termasuk menyelesaikan faktor-faktor pemicunya.

Oleh karena itu dibutuhkan segera support sistem dan solusi komprehensif yang menyentuh akar masalah untuk kasus filisida maternal ini dan Islam punya jawabannya. Di dalam Islam, peran istri, ibu dan pengurus rumah tangga adalah peran mulia dan ini adalah ketetapan Allah SWT. Oleh karena itu, Islam menyiapkan seperangkat aturan atau sistem agar kondisi ideal dapat terwujud.

Negara sebagai ra’in atau pengurus berkewajiban menyediakan lapangan pekerjaan yang mudah dan upah yang layak bagi suami, sehingga istri tidak perlu ikut memikirkan apalagi menanggung nafkah keluarga. Sandang, pangan, papan yang merupakan kebutuhan dasar akan mudah didapat karena negara memastikan stabilitas ekonomi yang bebas dari monopoli tengkulak dan spekulan nakal, kartel maupun mafia pasar. Kepala keluarga juga tidak perlu memikirkan biaya pendidikan, kesehatan dan keamanan, karena ini ditanggung sepenuhnya oleh negara, alias gratis.

Kondisi ideal ini terwujud karena negara dengan sistem Islam adalah negara yang independen, tidak tergantung apalagi dikendalikan oleh negara lain. Negara punya kekuatan ekonomi karena pengelolaan sumber daya alam dan kekayaan negara disesuaikan dengan syariat Islam. Salah satu contoh saja, tidak ada istilah barang tambang dijual kepada swasta apalagi asing. Sudah banyak pakar yang menghitung, dari satu sumber tambang emas di Papua saja cukup untuk membuat rakyat negeri ini kaya.

Sistem pendidikannya pun fokus membangun pribadi yang beriman dan bertakwa. Hasilnya, keluarga terdidik menjadi individu yang mengerti agama, paham hak dan kewajibannya karena dorongan ketaatan kepada Allah SWT. Kontrol sosial berjalan optimal karena suasana keimanan di tengah masyarakat terus terjaga. Ketika ada pelanggaran, negara tegas menerapkan sanksi sesuai syariat Islam yang memberi efek jera bagi pelaku dan mencegah siapapun untuk melakukan pelanggaran yang sama.

Sungguh peran Ibu dalam Islam sangat tinggi bahkan mulia karena dari rahim ibulah lahir para pemimpin dan ulama. Oleh karena itu Islam menjamin seorang ibu bahagia dengan seperangkat aturan yang komprehensif tadi, sehingga fungsi keibuannya bisa dijalankan dengan sempurna.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 2

Comment here