Opini

Di Balik Aksi Buruh, Ada Paradigma yang Harus Ditinjau Ulang

Bagikan di media sosialmu

Oleh: Anita Rachman

Wacana-edukasi.com, OPINI–Ribuan buruh dari berbagai federasi turun ke jalan pada Rabu, 3 Desember 2025, membawa serangkaian tuntutan yang berkaitan dengan upah dan kesejahteraan pekerja. Aksi berlangsung di sejumlah titik di Jakarta Pusat, termasuk kawasan Monas dan sekitar gedung pemerintahan (pojoksatu.id)

Sudah tak terhitung berapa kali aksi buruh digelar, baik skala kecil maupun besar, bahkan hingga menimbulkan korban jiwa. Tuntutan utama buruh dalam setiap aksinya pun secara konsisten tidak jauh dari tuntutan kenaikan upah, penghapusan outsourching, penolakan PHK massal, revisi hukum ketenagakerjaan dan reformasi pajak terhadap buruh, seperti pajak atas pesangon, THR dan JHT.

Namun, sampai detik hari ini, setelah aksi yang kesekian kali digelar, hasilnya tidak menunjukkan penyelesaian secara permanen. Buruh tetap mengalami perlakuan tidak layak dan terus berulang. Hal ini terjadi karena, baik tuntutan buruh maupun solusi yang diberikan tidak menyentuh akar masalah. Sifatnya hanya menenangkan sesaat untuk meredam gejolak yang lebih besar.

Padahal ketika kita pahami bagaimana cara pandang sistem hari ini terhadap posisi buruh, maka kita akan menemukan titik terang akar masalah sekaligus solusinya. Paradigma dasar yang digunakan dalam sistem hari ini -yaitu sistem kapitalis- bahwa buruh dipandang sebagai bagian dari biaya produksi. Sementara bagi sebuah perusahaan ketika ingin memaksimalkan profit, maka salah satu langkahnya adalah menekan biaya produksi.

Disinilah perang tawar menawar upah buruh menjadi sengit. Bagaimana agar nominalnya bisa ditekan serendah mungkin, outsourching atau kontrak singkat menjadi pilihan karena minim resiko, serta hak-haknya dibatasi. Semua dilakukan agar bisa menghemat biaya produksi sehingga perusahaan pun akan mendapatkan lebih banyak keuntungan.

Alasan kedua, negara dalam sistem kapitalis sangat tergantung pada modal, investasi dan pertumbuhan ekonomi. Dengan kata lain tergantung pada investor, termasuk investor asing. Ketergantungan ini membuat negara tidak punya kekuatan untuk melindungi pekerja dengan membuat regulasi ketenagakerjaan yang kuat, misal melarang outsourching total, menaikkan upah buruh dengan layak, atau fasilitas jaminan kerja lainnya, karena khawatir akan “menakuti” investor, atau malah memang sudah berada di bawah kendali investor. Akibatnya, regulasi yang dikeluarkan bukan pro-buruh, tapi justru pro-investor, sebagaimana yang menjadi polemik dalam UU Cipta Kerja.

Berikutnya, aksi-aksi yang dilakukan para buruh -meskipun massif- sifatnya sesaat, hanya ketika ada momentum saja. Semangatnya pun berangkat dari rasa marah ketika merasakan ketidakadilan. Maka, setelah tuntutan disuarakan dalam aksi, kemudian muncul janji dari pihak berwenang akan memberi solusi, emosi tersebut mereda, tapi tidak ada jaminan bahwa janji itu akan direalisasikan secara sistematis dan permanen.

Prioritas sistem kapitalis adalah profit dan efisiensi. Bagaimana caranya bisa menghasilkan untung sebesar-besarnya dengan biaya yang sekecil-kecilnya. Sementara buruh yang notabene adalah manusia yang memilik hak untuk mendapatkan keamanan kerja, kesejahteraan, kemuliaan bahkan waktu istirahat dan hak sosial yang lain, ini adalah biaya tambahan yang akan membebani biaya produksi dalam sistem kapitalis.

Maka, permasalahan buruh ini tidak akan selesai hanya dengan menggelar aksi menuntut kenaikan upah, penghapusan outsourching, ataupun revisi undang-undang keteganakerjaan. Hal ini karena akar masalahnya ada pada cara pandang sistem hari ini yang fokus pada laba dengan mengabaikan harkat dan martabat manusia.

Oleh karena itu, perlu ada sistem alternatif yang mampu menjadi penawar racun sistem kapitalis, yang benar-benar menempatkan buruh sebagai manusia yang berhak mendapatkan hak-hak nya secara pernuh. Yang memposisikan mereka bukan sebagai obyek atau komoditas, tetapi subyek.

Di dalam sistem Islam, bekerja akadnya adalah ijarah, akad jasa antara dua pihak yang wajib adil, tidak boleh menzalimi salah satu pihak. Maka, harus ada kesepakatan dan saling ridho antara pekerja dengan pemberi kerja, terkait detail pekerjaan dan upah yang akan diterima.

Upah di dalam Islam jauh dari eksploitasi, memanfaatkan tenaganya semaksimal mungkin bahkan melampaui batas. Melainkan, sesuai dengan nilai jasa yang dihasilkan dan jerih payah yang dikeluarkan. Akan ada ahli yang khusus mengkaji terkait referensi nilai upah. Semuanya didasarkan pada prinsip keadilan, yaitu bahwa buruh adalah manusia yang punya hak hidup layak, punya martabat, punya keluarga yang harus dinafkahi, punya hak untuk dilindungi dari eksploitasi.

Di sisi lain, negara dalam sistem Islam menjamin terwujudnya kondisi ekonomi yang stabil, yaitu tercukupinya kebutuhan dasar masyarakat sehingga mereka tidak terpaksa menjual tenaga dengan harga murah. Negara dalam sistem Islam memiliki kemandirian ekonomi karena pengelolaan kekayaan negara dilakukan dengan benar sesuai syariat Islam, sehingga tidak ada istilah tergantung dengan investor apalagi investor asing.

Inilah paradigma Islam terhadap buruh yang benar-benar memposisikan mereka sebagai pelaku aktivitas ekonomi yang harus dihargai sebagai manusia, bukan biaya yang harus ditekan serendah-rendahnya.

Selama aksi buruh masih terkonsentrasi pada tuntutan perubahan parsial, bukan pada perubahan sistemik, maka permasalahan buruh masih akan terus berulang. Perlu ada paradigma baru, bahwa dalam menuntut sebuah perubahan tidak bisa hanya karena dorongan kemarahan tapi harus dengan pemahaman dan pemikiran yang komprehensif dan mendasar, sehingga akan menemukan akar masalah sekaligus solusinya.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 4

Comment here