Opini

Afghanistan dan Mimpi Mendirikan Negara Islam

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Marjani Sabrina

Wacana-edukasi.com, OPINI–Dua dekade berlalu sejak tanah Afghanistan menjadi panggung kekerasan, duka, dan ketidakpastian. Pada 15 Agustus 2021, dunia menyaksikan peristiwa dramatis: jatuhnya Kabul ke tangan Taliban dan berakhirnya rezim buatan Barat. Sejak saat itu, Taliban mendeklarasikan terbentuknya pemerintahan baru bernama Emirat Islam Afghanistan, sebuah pemerintahan sementara yang mereka klaim sebagai upaya menegakkan sistem Islam di negeri para mujahidin itu.

Bagi banyak umat Islam, momen ini adalah harapan. Harapan bahwa setelah semua darah dan air mata, Afghanistan akan berdiri sebagai negara Islam sejati, bukan hanya dalam simbol dan retorika, tetapi dalam sistem yang benar-benar berakar dari syariat. Namun benarkah sistem yang kini ditegakkan Taliban telah mencerminkan pemerintahan Islam sebagaimana yang pernah dicontohkan Rasulullah ﷺ?

Taliban menyebut negaranya sebagai Emirat Islam Afghanistan, sebuah bentuk pemerintahan yang dalam praktiknya menyerupai negara teokrasi, di mana otoritas mutlak berada di tangan seorang pemimpin spiritual-politik bernama Amir al-Mu’minin. Jabatan ini saat ini dipegang oleh Hibatullah Akhundzada, sosok ulama senior yang tidak dipilih rakyat, tetapi ditunjuk melalui mekanisme internal yang tertutup dan berbasis baiat dari kalangan terbatas.

Konsep ini menimbulkan dilema. Sebab dalam Islam, sistem pemerintahan bukan teokrasi, di mana segelintir elite agama memegang kendali penuh, melainkan khilafah—sebuah institusi politik yang didasarkan pada hukum syariat dan kedaulatan hukum Allah, namun kekuasaannya tetap berasal dari umat yang memberikan baiat kepada seorang khalifah. Artinya, meskipun umat tidak berdaulat dalam membuat hukum, mereka memiliki otoritas dalam memilih pemimpin yang akan menjalankan hukum Allah.

Ada perbedaan besar antara menerapkan syariat secara simbolis dan menjalankannya sebagai sistem kehidupan. Taliban sejauh ini lebih fokus pada aspek-aspek yang bersifat fisik dan personal: pemakaian hijab, larangan musik, atau penerapan hudud dalam kasus tertentu. Namun, sistem ekonomi, sosial, pendidikan, dan hubungan internasional belum sepenuhnya berlandaskan syariat.

Bahkan, hubungan Taliban dengan negara-negara sekuler seperti China dan Rusia, serta ketergantungannya pada bantuan internasional, menunjukkan bahwa asas-asas sekularisme dan nasionalisme masih membayangi arah kebijakan mereka. Padahal, Islam tidak mengenal batas-batas negara bangsa. Islam menuntut satu kepemimpinan yang melampaui batas teritorial, dengan misi menyatukan umat di bawah satu kepemimpinan dan menyebarkan dakwah ke seluruh penjuru dunia.

Jika berbicara tentang negara yang didirikan oleh Rasulullah ﷺ dan dilanjutkan oleh para sahabat hingga Khilafah Utsmani, kita dapat saksikan bahwa terdapat empat syarat yang harus dipenuhi sebuah negara Islam. Syarat pertama, kekuasaannya merupakan kekuasaan yang hakiki atau bersifat independen, yang hanya bersandar pada kaum Muslim saja dan tidak boleh bergantung pada negara kufur atau masuk aliansi internasional yang dibuat musuh-musuh Islam semisal PBB, G-20, OKI, dan sebagainya.

Syarat berikutnya, keamanan kaum Muslim di negeri itu adalah keamanan Islam, bukan keamanan kufur. Artinya perlindungan yang ada hanya berasal dari kekuatan kaum Muslim saja. Syarat ketiga, negara itu mengawali penerapan Islam secara total, sekaligus, dan menyeluruh serta langsung mengemban Dakwah Islamiyyah ke penjuru dunia. Terakhir, khalifah yang dibaiat harus memenuhi syarat-syarat in’iqãd kekhilafahan (muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka, mampu) meskipun tidak memenuhi syarat afdhaliyyah, karena yang wajib hanya syarat in’iqãd.

Khalifah adalah pemimpin yang mewakili umat Islam dalam urusan pemerintahan, kekuasaan, dan penerapan hukum syariat. Dalam sistem Islam, kekuasaan berasal dari umat, dan umat menunjuk seorang khalifah melalui baiat, yakni janji setia secara sukarela dari Ahlul Halli wal ‘Aqd (pemilik otoritas umat). Tanpa baiat ini, seseorang tidak sah disebut khalifah karena dengan baiat itulah ia wajib menjalankan hukum Islam dan berhak atas ketaatan dari umat selama ia memimpin dengan adil dan sesuai syariat.

Mu’awin adalah pembantu khusus yang membantu khalifah menjalankan urusan pemerintahan. Pembantu khalifah ini dibagi menjadi dua, yakni Mu‘āwin Tafwīdh yang memiliki wewenang bersifat umum dalam seluruh aktivitas pemerintahan dan bisa bertindak atas nama khalifah, lalu Mu‘āwin Tanfīdz yang melaksanakan kebijakan khalifah bersifat administrasi. Ini berbeda dengan menteri dalam sistem demokrasi yang memiliki otoritas sektorial dan bisa menetapkan kebijakan berdasarkan konstitusi buatan manusia.
Negara Islam yang dibangun Rasulullah ﷺ bukan negara kota semata, melainkan negara dengan wilayah kekuasaan yang terus meluas. Oleh karena itu, Rasulullah ﷺ menunjuk para gubernur (wulāt) untuk memimpin daerah-daerah. Mereka mengurus semua urusan di wilayah mereka—ibadah, pengadilan, keamanan, hingga ekonomi—semua dalam kerangka hukum syariat.

Rasulullah ﷺ juga mengangkat qadhi untuk mengadili perkara berdasarkan hukum syariat, bukan hukum adat atau hukum asing. Hakim-hakim ini berdiri independen dan tidak tunduk pada kekuasaan eksekutif, tapi langsung pada syariat. Fungsi mereka sangat sentral karena hukum Islam hanya sah ditegakkan melalui pengadilan syariah, bukan keputusan politik atau opini publik. Selain itu Rasulullah ﷺ menunjuk para penulis atau pejabat administratif (kuttāb) untuk mencatat dan mengelola berbagai urusan negara, mulai dari surat menyurat, pendataan harta rampasan perang, hingga hasil pertanian.

Pada ranah militer, Rasulullah ﷺ adalah panglima tertinggi. Beliau langsung memimpin ekspedisi, menyiapkan pasukan, menentukan strategi, dan juga menunjuk panglima perang. Namun, untuk pelaksanaan teknis, beliau mengangkat amir jihad untuk memimpin pasukan dalam operasi tertentu. Lebih luas lagi, amir jihad juga menangani urusan luar negeri, keamanan dalam negeri, dan industri.

Berkaitan dengan dewan permusyawaratan, mekanismenya berbeda dengan dewan perwakilan rakyat dalam sistem demokrasi yang menggunakan suara mayoritas, melainkan konsultasi dengan ahli ilmu dan orang-orang bijak. Majelis Syura ini hanya berfungsi sebagai pengawas dan pemberi masukan terhadap kebijakan negara bukan sebagai legislatif pembuat undang-undang.
Struktur negara yang ditegakkan Rasulullah ﷺ bukan hanya konseptual, melainkan realitas historis yang dapat dirinci, ditelusuri, bahkan merupakan ketetapan syariat. Semua perangkat negara bekerja dalam satu sistem terintegrasi yang tunduk pada hukum Allah, bukan pada hawa nafsu manusia atau sistem asing.

Perjuangan panjang para mujahid di Afghanistan seharusnya tidak berakhir pada lahirnya negara yang hanya beraroma Islam, tetapi tidak menjadikan Islam sebagai satu-satunya asas dan sistem yang diterapkan secara menyeluruh. Umat harus terus diingatkan agar jangan sampai perjuangan panjang itu berakhir pada pengulangan sejarah, jatuh dalam kompromi dan pengkhianatan terhadap cita-cita Islam yang sesungguhnya.

Apa yang dibutuhkan bukan sekadar semangat jihad atau semangat kembali ke Islam, tetapi kesadaran ideologis yang jernih tentang apa itu negara Islam, bagaimana bentuknya, dan bagaimana menerapkannya sesuai metode kenabian. Hanya dengan jalan itu, pengorbanan para syuhada dan penderitaan rakyat Afghanistan selama puluhan tahun akan menemukan makna sejatinya, tak lain lahirnya sebuah negara Islam yang membawa rahmat bagi seluruh alam. [WE/IK].

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 1

Comment here