Opini

Banjir Sumatera, Rakyat Menderita

Bagikan di media sosialmu

Oleh: Mu’alimah, S.Si. (Aktivis Dakwah)

Wacana-edukasi.com, OPINI– Bencana alam tak henti hentinya menyapa negeri ini. Dan yang mendominasi adalah bencana hidrometeorologi seperti banjir, cuaca ekstrem dan tanah longsor yang menyebabkan masyarakat harus mengungsi dan tidak sedikit menimbulkan korban jiwa. Setelah longsor di wilayah Cilacap dan Banjarnegara Jawa Tengah, banjir bandang dan longsor juga di wilayah Aceh, Sumatera Utara dan Sumatra Barat hingga banjir rob di kepulauan seribu. Dampak bencana alam ini sangat luas mencakup aspek kehidupan manusia, lingkungan, sosial dan ekonomi. Bangunan rusak, layanan publik terganggu, aksesibilitas hilang, infrastruktur ekonomi hancur, mata pencaharian hilang,. Masalah yang tak kalah penting adalah penanganan terhadap para korban jiwa dan cedera, pengungsian, trauma dan ketegangan sosial yang dapat muncul akibat bencana, karena tidak tersedianya bahan makanan yang sangat mendesak terjadi penjarahan, terlambat datangnya relawan, bahan bakar, tenaga medis, dan kebutuhan urgent lainnya.

 

Sesungguhnya aktor utama sebagai penanggung jawab atas bencana adalah penguasa. Karena posisinya yang berkuasa dan dengan kekuasaan itu, ia bisa menggunakan segala perangkat kenegaraan untuk bergerak. Namun sayangnya pernyataan yang dikeluarkan pejabat negeri ini sangat menggemaskan dan sungguh di luar nalar. Begitu nyata fakta beredar di media sosial banyaknya kayu gelondongan hasil penebangan liar terbawa banjir dan longsor, parahnya daerah-daerah terisolir belum mendapatkan bantuan, rusaknya infrastruktur terutama listrik, namun tak sedikit pejabat menyatakan sebaliknya. Tentu hal ini sangat menyakitkan bagi kita yang mendengarnya, terlebih lagi korban yang merasakan langsung dampak dari bencana hidrometeorologi ini. Mendikdasmen Prof Abdul Mu’ti dalam rapat kerja dengan komisi X menyampaikan bahwa 2.798 satuan pendidikan terdampak, 5.421 ruang kelas rusak dan lebih dari 600ribu siswa mengalami gangguan layanan pendidikan. Hal ini dikarenakan banyak sekolah rusak, akses terputus, dan sebagian sekolah digunakan sebagai posko pengungsian.(detik.com/9 des 2025) Apakah para pemimpin menutup mata atau betul-betul tidak punya hati nurani?

 

Upaya pemerintah untuk melakukan mitigasi bencana, langkah-langkah antisipasi, serta pembiayaan sarana dan prasarana penanganan bencana dinilai masih lemah. Kita bisa melihat pemerintah lamban dalam penanganan bencana. Hingga saat ini setelah 3 minggu berlalu, belum juga menunjukkan perkembangan yang berarti, masih banyak daerah-daerah terisolir yang belum tersentuh bantuan baik itu logistik maupun bantuan medis dan tenaga relawan, keberlangsungan pendidikan seolah terputus karena sarana dan prasarana beralih fungsi menjadi tempat pengungsian dan bahkan ikut hancur terbawa arus. Tenaga pendidik yang ada pun harus berjuang untuk sekedar bertahan hidup, karena tidak sedikit dari korban yang berhari-hari tidak bisa makan karena tidak tersedianya bahan makanan pasca bencana. Bahkan para korban pun berujar bahwa uang tidak ada artinya disana, yang lebih mereka butuhkan adalah makanan bukan uang, ya semua karena lumpuhnya kegiatan ekonomi disana. Harus ada upaya yang lebih keras lagi untuk mempercepat pemulihan daerah terdampak, terutama pendidikan anak-anak dan pendampingan psikologis juga diperlukan untuk menghilangkan trauma atas apa yang sedang mereka alami.

 

Negeri yang dulunya gemah ripah loh jinawi, ternyata kini menjadi langganan bencana alam. Mitigasi bencana yang ala kadarnya, sarana dan prasarana penanggulangan bencana yang kurang maksimal turut memperburuk keadaan. Lagi dan lagi, rakyatnya yang menjadi korban. Solusi pemerintah hanya bersifat tambal sulam, tidak menyentuh akar masalah. Hal ini tidak terlepas dari sistem sekuler kapitalisme yang diterapkan, sehingga penguasa lebih fokus pada cuan dibandingkan pengurusan rakyatnya. Keserakahan dan ketamakan sistem sekuler kapitalisme lah yang mengeksploitasi SDA demi keuntungan penguasa dan pengusaha. Kita banyak mendapati kebijakan penguasa lebih menguntungkan pengusaha dengan pembukaan lahan menjadi perkebunan sawit dan pertambangan. Alih fungsi lahan ini tentu lebih bertujuan ekonomi. Adanya alih fungsi lahan seperti ini menyebabkan alam kehilangan keseimbangannya dan hanya menyisakan bencana bagi masyarakat sekitarnya. Keserakahan dan ketamakan sistem sekuler kapitalisme lah yang mengeksploitasi SDA demi keuntungan cuan. Mau sampai kapan bencana ini terus berulang di negeri ini? Sudah saatnya kita mengambil solusi tuntas agar generasi berikutnya bisa mendapatkan haknya dari alam untuk kesejahteraan hidupnya, bukan malah mendatangkan bencana dalam kehidupannya.

 

Fungsi kepemimpinan dalam Islam adalah mengurusi urusan umat dan melindungi umat. Penguasa wajib mengerahkan segala kemampuannya untuk kesejahteraan umat dan menjauhkan mereka dari semua yang membahayakan bahkan membinasakan mereka. Pemerintah wajib membuat berbagai kebijakan seputar penataan lingkungan dan pemetaan lahan. Harus tetap ada lahan yang berfungsi sebagai kawasan konservasi sehingga tidak boleh dialihfungsikan menjadi pemukiman, pertanian, infrastruktur, pariwisata apalagi pertambangan. Kawasan konservasi ini berfungsi sebagai penyangga ekosistem. Diperlukan pula peningkatan kesadaran masyarakat melalui pelatihan dan pendidikan. Hal ini termasuk dalam mitigasi nonstruktural. Sedangkan mitigasi struktural bisa berupa pendirian bangunan tahan gempa untuk daerah yang beresiko bencana alam, pembangunan tanggul dan bendungan untuk mengurangi resiko banjir, serta penanaman bakau sebagai pelindung alami dan abrasi pantai. Dalam Islam, dasar mitigasi bencana adalah prinsip-prinsip syariat yang bertujuan untuk menjaga keberlanjutan kehidupan dan keseimbangan di bumi. Sebagaimana tugas yang diberikan Allah kepada manusia untuk menjadi Khalifah di bumi (QS. Al Baqarah:30). Juga untuk menjaga nyawa manusia dengan tidak merusak alam, melalui upaya pencegahan atau memperbaiki kerusakan yang dapat memicu bencana. Islam melarang segala bentuk kerusakan di muka bumi sebagaimana Allah berfirman dalam QS. Ar-Rum:41 “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.

 

Mengenai pendanaan untuk keperluan bencana alam, Islam mengaturnya melalui mekanisme fai’ dan kharaj serta dari harta kepemilikan umum untuk diberikan kepada rakyatnya atas setiap kondisi darurat/bencana yang menimpa mereka. Pemerintah tidak akan mengandalkan hutang. Jika anggaran yang ada tidak mencukupi, kebutuhannya dibiayai dari harta kaum muslimin secara sukarela. Rakyat tidak perlu khawatir, ketersediaan dana untuk bencana alam terwujud, karena model APBN Islam tidak sama seperti sistem hari ini yang bersifat tahunan yang kerap kali tidak cukup ketika terjadi bencana lanjutan. Demikianlah negara dalam Islam berperan aktif sebagai penanggung jawab hajat hidup masyarakat secara preventif, kuratif hingga rehabilitatif. Kewajiban negara lah untuk menyediakan regulasi, peralatan, dana, SDM dan teknologi untuk penanggulangan bencana hingga pemulihan kondisi masyarakat secara sosiopsikologis dan material dan selanjutnya mengembalikan kondisi alam menjadi baik. Berbeda dengan sistem kapitalisme yang menjadikan penguasa sebagai regulator saja, sedangkan yang lebih berperan aktif terjun dalam penanganan bencana adalah swasta, relawan dan NGO. Islam memperbolehkan kaum muslim menjadi relawan bencana alam sebagai amalan Sunnah, taawun (tolong menolong). Namun keberadaannya tidak boleh dan tidak dapat menggantikan peran negara.

 

Pemerintah wajib mengambil alih status kepemilikan hutan/lahan yang sebelumnya dikuasai para kapitalis, untuk selanjutnya dikembalikan menjadi kepemilikan umum, dan bertanggung jawab penuh atas pengelolaannya sehingga manfaatnya dapat dinikmati oleh masyarakat luas. Jika terjadi pelanggaran dalam bentuk apapun, pemerintah akan memberikan sanksi yang tegas dan menjerakan pelakunya. Pemerintah harus bersungguh-sungguh dalam menjaga dan melindungi rakyatnya, khususnya ketika bencana alam melanda. Semua dilakukan berlandaskan Syara’, bukan pencitraan sebagaimana pemimpin sekuler kapitalis. Nyawa manusia dalam pandangan syariat-Nya menempati kedudukan yang sangat agung dan tidak boleh dikorbankan karena kelalaian pengelolaan ruang hidup. Konsistensi pemimpin Islam dan rakyatnya pada syariat kaffah adalah jaminan kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat. “Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya” (QS. Al-Maidah:32). Begitu sempurnanya aturan Islam, termasuk dalam pengelolaan bencana hidrometeorologi, sudah seharusnya diambil dan dilaksanakan pemerintah untuk keberkahan negeri ini.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 9

Comment here