Oleh: Irohima
Wacana-edukasi.com, OPINI--Ruang digital memberi tempat untuk kita bisa berekspresi, berkreasi, berbagi ide, dan berinteraksi dengan orang lain tanpa batas geografis. Di ruang digital, ide dan informasi melalui media atau produk elektronik, dikemas dalam berbagai bentuk seperti tulisan, gambar, video atau suara yang dirancang untuk menyampaikan pesan, menghibur, mengedukasi, bahkan memengaruhi audiens. Kebebasan dan kemudahan dalam berinteraksi terkadang membuat ruang digital bukan hanya menjadi ajang berbagi informasi tapi juga terkadang menjadi media kekerasan dan kejahatan via daring.
Seperti yang terjadi baru-baru ini. Sebuah konten terkait perlindungan anak dari bahaya rokok yang diunggah Denta Mulyatama, seorang remaja, anggota Forum Anak Sukowati Sragen, menjadi sasaran cyberbullying tahu perundungan daring dari warganet. Komentar bernada ejekan dan hinaan membanjiri unggahan Denta. Reaksi negatif warganet membuat Denta sempat mengalami tekanan dan takut untuk menyuarakan opininya di ranah publik (kompas.com, 06/12/2025). Kasus Denta bukan kasus yang pertama terjadi, masih banyak kasus serupa bahkan berdampak lebih parah yang berujung pada hilangnya nyawa korban cyebrbullying atau kekerasan via daring.
Data terbaru dari United Nations Children’s Fund (UNICEF) melaporkan bahwa 48% anak di Indonesia terkena cyberbullying. Bukan hanya itu, anak-anak di sini menggunakan internet rata-rata 4 sampai 5 jam perhari dan 50% pernah terpapar konten dewasa. Di sisi lain, Badan Pusat Statistik menyatakan 89% anak usia 5 tahun ke atas telah menggunakan internet dan mengakses sosial media. Akses digital yang begitu tinggi dan bebas tanpa pengawasan orang tua, membuat anak-anak berisiko besar terpapar konten negatif. Perundungan daring, pornografi, serta kecanduan konten dewasa telah menjadi ancaman yang nyata.
Menyikapi hal ini, pemerintah melalui Kementerian Komdigi, telah menerbitkan Peraturan Pemerintah atau PP nomor 17 tahun 2025 (PP Tunas) sebagai upaya perlindungan kepada anak-anak dari ancaman digital. PP Tunas mengatur kewajiban Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) menyediakan teknologi dan fitur aman bagi anak-anak termasuk verifikasi usia, kontrol orang tua, serta edukasi keamanan digital. Dalam ketentuan PP Tunas, anak di bawah usia 13 tahun hanya boleh mengakses situs edukasi, usia 13-15 tahun dibolehkan mengakses platform dengan risiko rendah hingga sedang, usia 16-17 tahun, boleh mengakses platform berisiko tinggi dengan pendampingan orang tua. Dan usia 18 tahun ke atas, dapat mengakses semua platform secara independen.
Sosial media atau ruang digital bukan satu-satunya penyebab masalah yang terjadi saat ini. Sosial media hanya menjadi perantara untuk mempertebal emosi/perasaan anak-anak akan suatu hal. Sejatinya penerapan sekularisme-kapitalisme lah yang menjadi akar permasalahannya, sekularime yang meniadakan peran agama dalam kehidupan telah melahirkan individu-individu yang jauh dari pemahaman agama, tidak bisa memilah antara yang hak dan yang batil. Kapitalisme menambah buruk kondisi saat ini, keuntungan besar yang didapat pada sebuah konten dengan like, view dan comment yang tinggi, membuat orang terkadang tak lagi memperhatikan etika, moral dan dampak dari sebuah konten.
Pembatasan akses sosial media saat ini hanyalah solusi pragmatis (cepat tapi tidak menyeluruh), tidak menyentuh akar masalah dan hanya bertumpu pada aspek media bukan ke faktor lain yang bisa turut menjadi penyebab semisal pendidikan atau regulasi, ditambah lagi ketentuan dalam PP Tunas tidak menjelaskan secara detail terkait platform yang terkategori rendah, sedang atau tinggi, sehingga para orang tua tidak memiliki rujukan untuk memilih platform yang aman. Dan pada akhirnya tanggung jawab perlindungan akan risiko terpaparnya anak-anak dari konten berbahaya kembali pada orang tua, bukannya negara sebagai periayah.
Dalam pandangan Islam, sikap dan perilaku manusia akan dipengaruhi oleh pemahamannya akan sesuatu bukan sosial media. Dikatakan seperti itu karena sosial media merupakan hasil perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta dipengaruhi oleh ideologi yang melingkupinya. Dibutuhkan keimanan yang kokoh pada generasi agar bijak dalam memilah segala sesuatu yang akan dikonsumsinya termasuk menggunakan sosial media. Pemahamanlah yang akan menentukan perilaku seseorang, jika pemahamannya benar, tentu sikap dan tindakan yang muncul bukanlah yang merugikan diri sendiri serta orang lain melainkan sikap yang terpuji dan senantiasa membawa kebaikan. Maka dari itu, Islam akan menerapkan kurikulum pendidikan berbasis akidah Islam yang akan membina individu dengan keimanan yang kokoh dan tegas dalam bersikap.
Di sisi lain, syariat yang diterapkan negara dalam Islam pada seluruh aspek kehidupan akan mampu mewujudkan kondisi yang kondusif dan ideal dalam membentuk generasi yang taat dan tangguh. Sanksi yang jelas dan tegas akan dikenakan bagi para pelanggar aturan, dan ini tentu saja akan membuat mereka bertobat serta tak berani lagi mengulang kesalahan. Dalam Islam, ruang digital akan dioptimalkan sebagai sarana dakwah, pemberian edukasi dan informasi, dan sosial media akan menjadi ajang penyebaran konten yang bermanfaat dan membawa pada kebaikan.
Saat ini, satu-satunya sistem yang bisa menyelamatkan anak-anak kita hanyalah sistem Islam, dengan Islam, sosial media akan diatur dengan bijak, dan hanya akan digunakan untuk kemaslahatan umat.
Wallahualam bis shawab
Views: 6


Comment here