Oleh: Iffah Komalasari, S.Pd. (Pengajar Mapel Tsaqafah Islamiyah di Hagia Sophia ILS)
wacana-edukasi.com, OPINI–Rentetan bencana yang menimpa Sumatera beberapa waktu terakhir membuat kita semua tersentak. Longsor, banjir bandang, dan berbagai kerusakan lain melanda Sumatera Barat, Sumatera Utara, Aceh, dan sejumlah daerah lain. Dampaknya sangat besar, rumah hanyut, jalan terputus, ratusan korban meninggal, ribuan warga mengungsi (nasional.kompas.com, 30/11/2025). Duka ini bukan hanya milik Sumatera, melainkan luka bagi kita semua sebagai satu bangsa.
Peristiwa tragis ini dipastikan membekas di hati anak-anak. Mereka bertanya, “Mengapa bencana terjadi terus-menerus? Mengapa korban tidak berhenti bertambah? Mengapa alam seperti tidak bersahabat dengan manusia?” Kegelisahan generasi muda yang sebenarnya menginginkan hidup aman, stabil, dan punya masa depan nampak terwakili oleh pertanyaan sederhana itu. Akan tetapi, sering kali jawaban yang mereka dengar justru menyederhanakan persoalan: “Ini hanya faktor alam, krisis iklim dan hujan intensitas tinggi.” Padahal realitasnya tidak sesederhana itu.
Bencana yang Bukan Sekadar Ujian Alam
Bencana memang bagian dari kehidupan manusia. Akan tetapi, apa yang terjadi di Sumatera tidak bisa hanya dilihat sebagai peristiwa alam semata. Curah hujan yang tinggi memang berperan, tetapi kerusakan parah justru disebabkan oleh sebab lain. Yakni menurunnya daya tampung wilayah akibat perusakan hutan besar-besaran, tambang terbuka, alih fungsi lahan, dan pembangunan yang tidak memerhatikan daya dukung lingkungan (kompasiana.com, 7/12/2025).
Jika kita telusuri, banyak area rawan longsor adalah daerah yang hutannya sudah digunduli atau digantikan dengan perkebunan sawit skala besar. Banyak sungai yang meluap karena daerah resapan air dihancurkan demi proyek tambang, properti, atau kawasan industri (tirto.id, 3/12/2025).
Fakta yang lebih menyakitkan, semua perusakan itu bukan sekadar aktivitas ilegal di lapangan, tetapi dilegitimasi oleh kebijakan negara. Konsesi lahan diberikan begitu luasnya. Izin perusahaan sawit dan tambang diobral. UU Minerba dan UU Ciptaker justru mempermudah eksploitasi besar-besaran. Bahkan untuk kelompok tertentu, termasuk ormas, izin tambang dibuka demi kepentingan politik (beritasatu.com, 5/12/2025).
Sistem Salah, Membiarkan Alam Hancur
Dalam sistem demokrasi sekuler-kapitalisme, hubungan antara penguasa dan pengusaha sering kali menjadi simbiosis saling menguntungkan. Penguasa butuh dukungan politik dan pendanaan, pengusaha butuh akses izin usaha. Maka, lahirlah kebijakan yang bukan untuk rakyat, tetapi untuk kepentingan industri. Parahnya, ini telah terjadi sejak lama dan tanpa henti.
Itulah sebabnya bencana bukan lagi perkara takdir alam. Melainkan hasil dari sistem yang membolehkan perusakan dengan dalih pembangunan. Negara berdiri bukan sebagai pelindung, tetapi sebagai pemberi izin atas eksploitasi.
Rakyat hanya menonton ketika hutan ditebang, gunung dibongkar, sungai dirusak, dan lingkungan hancur perlahan-lahan. Bencana di Sumatera hanyalah salah satu bukti terbaru dari betapa rentannya negeri ini dalam menjalankan pembangunan tanpa memperhitungkan kelestarian alam. Korban yang jatuh bukan mereka yang mengambil keuntungan dari hutan, tetapi masyarakat kecil yang hidup di lereng, di pinggir sungai, dan di desa-desa terpencil.
Islam, Jalan untuk Mengembalikan Harmoni Alam
Islam telah jauh hari memperingatkan manusia agar tidak membuat kerusakan di muka bumi. Allah SWT., menegaskan bahwa kerusakan yang tampak di darat dan di laut adalah akibat ulah manusia. Maka menjaga alam bukan sekadar tuntutan etika lingkungan, tetapi bagian dari keimanan dan amanah sebagai khalifah di bumi.
Dalam sistem Islam, negara memiliki peran kunci dalam menjaga keseimbangan alam. Bukan karena tuntutan proyek pembangunan atau keuntungan industri, tetapi karena ia bertanggung jawab penuh kepada Allah dan manusia. Hal ini terlihat dari beberapa aspek:
Pertama, negara mengurus lingkungan dengan hukum Allah SWT., Setiap tindakan pengelolaan hutan, tambang, dan tata ruang wajib tunduk pada syariat. Tidak ada ruang bagi kongkalikong politik-bisnis. Tidak ada izin tambang yang merusak daya dukung lingkungan. Tidak ada pemberian konsesi lahan untuk kepentingan kelompok tertentu.
Kedua, negara merancang tata ruang secara ilmiah dan menyeluruh. Pemimpin dalam sistem Islam akan menggunakan pendapat para ahli lingkungan untuk memetakan wilayah. Mana yang menjadi kawasan lindung, mana yang boleh dimanfaatkan, dan mana yang harus dijaga ketat. Perumahan, industri, dan pertanian diatur berdasarkan daya dukung alam, bukan kepentingan investor.
Ketiga, negara siap mengeluarkan biaya besar untuk pencegahan, bukan hanya penanganan. Dalam Islam, mencegah kerusakan lebih utama daripada mengobati. Negara akan melakukan reboisasi, memperkuat tebing sungai, membangun kanal yang tepat, dan menjaga kawasan resapan air. Semua dilakukan sebelum bencana terjadi.
Keempat, pemimpin negara wajib menghilangkan seluruh bahaya (dharar). Syariat mengatur bahwa negara tidak boleh membuat kebijakan yang mendatangkan bahaya bagi rakyat. Karena itu, perusakan alam dalam skala besar tidak mungkin dilegalkan dalam sistem Islam. Dengan demikian, penerapan Islam bukan hanya soal ibadah ritual. Ia adalah solusi komprehensif yang melindungi alam dan manusia sekaligus.
Kita membutuhkan sistem yang mampu melahirkan rasa aman, bukan rasa cemas. Sistem yang menjaga lingkungan agar tetap lestari, bukan sistem yang membiarkan alam hancur demi keuntungan segelintir orang. Sistem yang memandang generasi masa depan sebagai amanah, bukan sekadar angka statistik. Hal itu hanya mungkin terwujud dalam penerapan Islam kaffah yang mengatur manusia dan alam secara selaras.
Wallahu a’lam bishshawwab
Views: 6


Comment here