Oleh : Ummu Hisyam (Pegiat Dakwah Wonosobo)
Wacana-edukasi.com, OPINI–Kerusakan hutan merupakan bencana longsor dan banjir bandang yang menerjang sebagian wilayah Sumatra Barat, Sumatra Utara, Aceh, dan beberapa wilayah di sekitarnya. Data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per Minggu (7/12) pukul 16.13 WIB sebanyak 940 orang meninggal dunia, 276 orang yang masih dinyatakan hilang, dan 5.000 orang terluka.
BNPB juga mendata setidaknya ada 655 fasilitas umum rusak, 72 fasilitas kesehatan rusak, 383 fasilitas pendidikan rusak, 200 tempat ibadah rusak, 29 gedung atau kantor rusak, dan ada 64 jembatan yang ambruk. Banyaknya korban yang berjatuhan dan besarnya kerugian materi, hingga saat ini pemerintah belum menetapkan sebagai bencana nasional
Pada saat memimpin rapat terbatas bersama sejumlah menteri Kabinet Merah Putih di kediamannya di Hambalang, Bogor, Jawa Barat, Presiden RI Prabowo Subianto secara intens membicarakan penanganan bencana tersebut. Prabowo menginstruksikan agar dilakukan percepatan pemulihan (cnnindonesia.com, 7-12-2025).
Banjir dan Gelondongan Kayu
Semua bencana yang terjadi tidak lain atas ijin Allah Swt. yang menggerakkan hujan dari langit hingga mengguyur bumi. Seharusnya guyuran air hujan ini menjadi berkah bagi alam, karena dengan air hujan ini tumbuhan semakin subur, tanah pertanian menghasilkan bahan pangan, juga buah-buahan yang melimpah. Selain itu, hujan yang meresap ke dalam tanah juga akan menambah sumber air bersih pun semakin banyak.
Namun, derasnya air hujan saat ini sangat berbeda, yaitu menjadi malapetaka bagi manusia. Di antaranya ribuan rumah diterjang banjir bandang yang disertai hanyutnya ribuan gelondongan kayu-kayu besar. Inilah indikasi bahwa telah terjadi kerusakan hutan di wilayah tersebut. Ratusan ribu orang pun harus mengungsi, dan korban meninggal dunia mencapai ratusan bahkan ribuan.
Sistem Kapitalisme
Bencana alam kali ini sesungguhnya menunjukkan kerusakan hutan yang sudah sangat parah. Data dari Global Forest Watch menujukan 2022-2023 Indonesia kehilangan 10.5 juta hektar hutan primer tropis.
Hal ini menempatkan Indonesia berada di peringkat ke-2 dunia dalam kehilangan hutan primer. Padahal, setiap hektare yang hilang, artinya ada ekosistem yang runtuh, dan iklim makin tidak stabil. Yang demikian itu, tentu berakibat pada risiko bencana yang meningkat.
Banjir dan longsor ini bukan sekadar karena pohon yang di tebang, tetapi hilangnya benteng alam yang selama ini menjaga keseimbangan lingkungan kita. Pertanyaannya ini ulah siapa? Siapa yang paling patut untuk disalahkan? Penebangnya, atau perusahaannya? Penguasa setempat, penguasa pusat, atau aturan yang lemah?
Tentu saja ini adalah karena sistem yang rusak, dan bertemu dengan orang-orang yang rusak pula, kemudian saling berkomplot untuk merusak alam demi memperkaya diri. Mereka tidak peduli akan dampaknya.
Dalam sistem yang rusak ini mereka akan membuat, mengubah, bahkan melanggar aturan semaunya demi kepentingan diri dan kelompoknya. Inilah kerusakan sistem demokrasi yang memberikan kebebasan dalam membuat aturan.
Selain itu, sistem demokrasi juga mengharuskan pemilihan pemimpin secara langsung yang berbiaya sangat fantastis. Hal ini menjadikan penguasa berpikir bagaimana supaya bisa mengembalikan modal politik mereka dengan cara menjual aturan-aturan menjadi uang.
Masa menjabat selama lima tahun kepemimpinannya, membuat mereka dikejar target, mulai dari tingkat kepala desa hingga selevel kepala negara. Mereka akan menghalalkan segala cara untuk bisa mengembalikan modal politiknya yang digunakan untuk kampanye.
Oleh karena itu, kini kita bisa melihat bagaimana masifnya pembalakan liar, pengerukan tambang, membuat kebijakan yang pro dengan pemilik modal, dan lain-lain. Inilah refleksi dari penerapan sistem pemerintahan kapitalisme demokrasi.
Ideologi kapitalisme berasal dari Barat, padahal bagaimana pun Barat adalah negara penjajah. Umat mesti menyadari bahwa sampai kapanpun mereka akan menjajah dan saat kini melalui sistem pemerintahan yang bernama sistem kapitalisme demokrasi. Padahal Allah telah berfirman,
ظَهَرَ ٱلْفَسَادُ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (TQS. Ar-Rum: 41)
Oleh karena itu, selama rakyat masih memilih untuk menerapkan ideologi kapitalisme demokrasi, maka kerusakan demi kerusakan di segala bidang akan terus terjadi.
Solusi Islam
Sudah saatnya rakyat menyadari akan kerusakan alam ini karena efek dari kerusakan sistem demokrasi, yaitu sistem yang terlalu bebas bagi kerakusan manusia. Sudah saatnya pula rakyat menyadari untuk segera kembali kepada hukum syariah. Hal itu karena sistem syariah telah terbukti mampu menjaga keseimbangan manusia, kehidupan, dan alam semesta ini.
Dengan sistem Islam, niscaya menghasilkan para pemimpin yang amanah, yang tidak bisa dibeli karena lahir dari pemilihan orang-orang yang amanah, dan takut akan akibat dosa yang dilanggarnya.
Dalam Islam, sistem pemilihan seorang pemimpin atau khalifah dipilih orang-orang yang paling mampu dan mumpuni, yaitu orang yang amanah dalam menjalankan syariat termasuk dalam menjaga alam dan lingkungan. Pemimpin diambil dari orng-orang yang paling mampu dan amanah di antara mereka.
Dengan demikian, tidak akan dijumpai money politic maupun politik kepentingan, tetapi murni karena keimanan dan semangat untuk melayani rakyat. Mereka tidak bisa dibeli, dan bagi mereka uang tidak ada artinya di hadapan keimanan yang ia pegang.
Hukum syariah yang agung akan mereka genggam dan gigit dengan gigi geraham sekuat-kuatnya. Sistem politik Islam berlandaskan syariah merupakan sistem yang adil dan sebagai solusi total untuk penjagaan dan kebangkitan umat manusia.
Dengan demikian, kerusakan hutan sejatinya adalah potret dari bobroknya sistem yang saat ini diterapkan, yaitu sistem kapitalisme demokrasi. Dalam demokrasi, aturan dan hukum dibuat oleh manusia, sehingga bisa diubah kapan saja sesuai dengan kepentingan dan nafsunya.
Sementara dalam Islam, pembuat hukum dan aturan hidup, adalah hak prerogatif Dia Sang Maha Pencipta manusia dan alam semesta, yaitu Allah Swt. Sesungguhnya Dia Sang Maha mengetahui segalanya
Rakyat harus sadar bahwa selama masih menerapkan sistem kapitalisme demokrasi, maka kerusakan di segala bidang akan terus terjadi. Oleh karena itu, tak ada cara lain kecuali rakyat harus memahami betapa pentingnya untuk kembali menerapkan sistem Islam dalam pemerintahan termasuk dalam menjaga hutan. Dengan demikian, kerusakan hutan dan segala bidang-bidang kehidupan yang lain tidak akan kembali berulang.
Wallahualam bissawab.
Views: 18


Comment here