Oleh: Della Damayanti (Opini Daerah)
wacana-edukasi.com, OPINI—Program “Sekolah Ramah Anak” kembali menjadi sorotan setelah Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan sejumlah kabupaten/kota, termasuk Pemkab Wonosobo, menggenjot pelaksanaannya. Sehubungan dengan itu, Bupati Wonosobo, Amir Husein mengatakan bahwa Pemerintah Kabupaten Wonosobo menjamin terpenuhinya hak dan perlindungan anak.
Hal itu ia sampaikan saat menjadi Pembina Apel di SD Negeri 5 Wonosobo, Senin (03/11). Di antaranya adalah hak dan perlindungan dari perundungan, intoleransi, kekerasan seksual, maupun diskriminasi. Jaminan itu diterapkan berupa program Safari Sekolah Ramah Anak di seluruh satuan pendidikan di Kabupaten Wonosobo.
Langkah ini tentu patut diapresiasi. Di tengah meningkatnya berbagai kasus kekerasan dalam dunia pendidikan, upaya preventif seperti ini memberi harapan baru bagi orang tua dan masyarakat. Namun, pertanyaan adalah, apakah program ini benar-benar mampu menyelesaikan masalah perundungan, intoleransi, kekerasan seksual, maupun diskriminasi, atau hanya menjadi penanganan sementara untuk meredam gejala? Padahal, masalahnya lebih Dalam dari Sekadar Perilaku Anak
Orientasi Pendidikan
Fenomena perundungan, kekerasan seksual, dan intoleransi bukanlah persoalan sederhana. Ia tidak lahir hanya dari karakter buruk individu, tetapi dari lingkungan yang terbentuk oleh sistem, nilai, dan budaya tertentu.
Selama ini, pendidikan Indonesia berjalan dalam kerangka sistem kapitalisme sekuler, yang menempatkan kebebasan tanpa batas sebagai asas kehidupan. Dalam ruang pendidikan, hal ini tercermin pada orientasi pendidikan yang berfokus pada kompetisi dan prestasi materi, bukan pembentukan akhlak dan kepribadian.
Selain itu, budaya individualisme, yang menumbuhkan sikap merasa lebih unggul, akan membuka peluang perundungan. Bahkan yang menjadi keprihatinan adalah minimnya internalisasi nilai agama sebagai fondasi moral, sehingga standar benar-salah tidak lagi bersifat absolut. Media dan lingkungan sosial pun tidak dikendalikan oleh nilai Islam, sehingga anak-anak mudah terpapar konten dan perilaku yang bertentangan dengan nilai kebaikan.
Oleh karena itu, selama orientasi pendidikan ini tidak diluruskan, maka berbagai program yang ditawarkan akan sia-sia. Program Sekolah Ramah Anak pun hanya akan mengurangi gejala di permukaan saja, tanpa menghapus sumber penyakitnya.
Program Ramah Anak Tidak Cukup
Program semacam “Sekolah Ramah Anak” biasanya hanya menyentuh sisi edukasi perilaku, baik sosialisasi anti-bullying, seminar dan penyuluhan, atau pelatihan guru ramah anak.
Namun, semua itu tidak akan mengubah sistem nilai yang menguasai pendidikan. Ketika kurikulum tetap sekuler, maka standar perilaku tetap relatif. Media juga tetap mengajarkan kebebasan. Dampaknya, problem akan terus berulang. Hal ini seperti menutup atap yang bocor tanpa memperbaiki konstruksi rumahnya.
Islam Memandang
Islam bukan hanya agama, tetapi sistem kehidupan yang lengkap. Ketika diterapkan dalam pendidikan, Islam tidak sekadar mengatur kurikulum, tetapi membentuk tiga aspek penting secara serempak, yaitu cara berpikir, cara bersikap, dan lingkungan sosial yang mendukung keduanya.
Pertama, tujuan Pendidikan Islam Adalah Pembentukan Syakhsiyah Islamiyah, yaitu membentuk kepribadian Islam pada setiap individu agar mampu berpola pikir maupun bertingkah laku sesuai syariat Islam. Allah Swt. berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (TQS. At-Tahrim: 6)
Ayat ini menunjukkan tanggung jawab pendidikan yang menekankan pembinaan iman dan akhlak. Pendidikan tidak cukup mencetak anak cerdas, tetapi harus mencetak anak bertakwa.
Rasulullah saw, juga bersabda:
“Tidaklah seorang anak lahir kecuali dalam keadaan fitrah, maka orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menegaskan bahwa pendidikan dan lingkungan membentuk karakter anak bukan semata program teknis.
Kedua, Islam Mengatur Lingkungan Pendidikan Menjadi Lingkungan Aman. Dalam Islam, negara memiliki kewajiban menjaga keamanan, kehormatan, dan keselamatan setiap individu. Allah Swt. berfirman,
“Dan barang siapa membunuh satu jiwa bukan karena qishash atau membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan ia telah membunuh seluruh manusia.” (QS. Al-Maidah: 32)
Ayat ini menunjukkan betapa tinggi penghormatan Islam terhadap jiwa manusia termasuk jiwa anak-anak. Oleh karena itu, Islam menata lingkungan sekolah yang bebas dari kekerasan, interaksi antara pendidik dan peserta didik yang beradab, serta kurikulum yang membentuk akhlak sebelum akademik. Islam juga menerapkan sistem hukum yang memberi efek jera bagi pelaku kekerasan atau pelecehan.
Ketiga, Islam Memiliki Sistem Pencegahan dan Pengawasan. Pendidikan Islam tidak hanya memberi imbauan. Negara bertanggung jawab penuh melakukan pengawasan ketat terhadap guru dan staf pendidikan. Di antaranya yaitu mengontrol konten media yang dikonsumsi anak, penyediaan fasilitas aman, juga penerapan sanksi tegas bagi pelaku kejahatan terhadap anak. Pencegahan dilakukan dari hulu hingga hilir, bukan hanya lewat kampanye moral.
Khatimah
Jika kita benar-benar ingin memberikan pendidikan yang aman, mulia, dan melahirkan generasi berkualitas, maka bukan sekadar program jangka pendek, atau sekadar mengurangi gejala, tetapi menyelesaikan akar masalah yang menyebabkan berbagai kerusakan.
Yang paling mendasar adalah bahwa pendidikan harus kembali pada sistem yang berlandaskan akidah Islam. Hanya dengan fondasi nilai yang kuat, lingkungan yang terjaga, dan tujuan pendidikan yang jelas sebagaimana pada sistem pendidikan Islam, maka sekolah benar-benar akan menjadi ruang yang aman, ramah, dan membentuk generasi yang bertakwa.
Pada akhirnya, pertanyaannya bukan lagi, “Program apa yang harus dibuat?”, tetapi, “Sistem apa yang mampu menjaga anak-anak kita dengan tuntas di sekolah, di rumah, dan di masyarakat?”
Selama masih bercokol ide sekularisme yang merupakan bagian dari ideologi kapitalisme, maka upaya melindungi anak hanya akan bersifat parsial, bahkan utopis. Akan tetapi, jika pendidikan dibangun berdasarkan atas akidah Islam, solusi hakiki bukan lagi utopis, melainkan sebuah kenyataan yang dapat diwujudkan.
Views: 3


Comment here