Opini

Kumpul Kebo Berujung Mutilasi, Potret Tragis Liberalisasi

Bagikan di media sosialmu

Oleh: Sari Ramadani, S.Pd. (Aktivis Muslimah)

Wacana-edukasi.com, OPINI–Cinta yang kebablasan tanpa batas di kalangan muda berakhir tragis di Surabaya. Alvi Maulana (24) membunuh dan memutilasi pacarnya sendiri, TAS (25), kemudian menyebar ratusan potongan tubuh korban antara kos mereka dan semak-semak di Mojokerto. Tragedi ini menjadi cermin suram dari liberalisasi pergaulan sosial, di mana sekadar tinggal serumah tanpa ikatan resmi bisa berubah menjadi mimpi buruk yang mematikan.

Kasus ini terjadi pada Minggu (31/8/2025) sekitar pukul 02.00 WIB di kos mereka di Jalan Raya Lidah Wetan, Surabaya. Alvi dan TAS, yang sudah menjalin hubungan selama lima tahun, terlibat cekcok akibat tekanan ekonomi dan perselisihan pribadi. Dalam amarahnya, Alvi menikam leher TAS hingga tewas, lalu memutilasi jasad korban di kamar mandi kos. Sebagian potongan tubuh dibuang di semak-semak Dusun Pacet Selatan, Mojokerto, sebagian lainnya disimpan di laci kos, bahkan ada yang dikubur di halaman depan (news.detik.com, 08/09/2025).

Setelah tertangkap pada Minggu (7/9/2025) pukul 03.00 WIB di kosnya, Alvi meminta maaf kepada keluarga korban, mengaku menyesal, dan menjelaskan bahwa tindakannya dipicu oleh emosi terhadap sikap TAS yang dianggap tempramen, terutama saat korban menguncinya dari dalam kos pada Sabtu (30/8/2025). Sebelumnya, warga telah menemukan 75 bagian tubuh korban di semak-semak Pacet, sementara sebagian lainnya masih tersimpan di kos pelaku. Pelaku kini dijerat Pasal 338 dan atau 340 KUHP dengan ancaman penjara seumur hidup (surabaya.kompas.com, 08/09/2025).

Fenomena tragis ini menjadi alarm keras tentang risiko kohabitasi, yaitu tinggal bersama pasangan tanpa ikatan pernikahan, yang kini makin populer di kalangan generasi muda. Banyak yang melihatnya sebagai cara mengenal pasangan lebih dekat atau efisiensi biaya hidup, tetapi kenyataannya keputusan ini bukan sekadar persoalan praktis. Psikolog Virginia Hanny menekankan tiga hal penting sebelum memutuskan kohabitasi, keputusan harus atas kemauan kedua belah pihak tanpa paksaan, tempat tinggal harus jelas agar biaya dan tanggung jawab tidak menjadi sumber konflik, serta tujuan dan batasan hubungan harus dipahami, misalnya apakah hanya untuk uji coba sebelum menikah atau sekadar menghabiskan waktu bersama. Tanpa pertimbangan ini, kohabitasi berpotensi menimbulkan masalah serius (validnews.id, 13/09/2025).

Tragedi Surabaya sungguh mencerminkan dampak buruk dari sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan sosial. Aktivitas pacaran dan kohabitasi yang seharusnya perbuatan tercela justru malah dinormalisasi, sementara itu negara malah abai terhadap pembinaan pemahaman agama secara menyeluruh. Akibatnya, generasi muda mudah terikut perilaku bebas nan tercela yang dapat memicu konflik, kekerasan, juga dosa besar di hadapan Allah. Dari sini terlihat jelas pentingnya menanamkan Islam sebagai pedoman hidup, menumbuhkan takwa dalam diri individu sebagai benteng moral, memperkuat kontrol sosial di masyarakat, dan menerapkan sistem pendidikan serta pergaulan Islam secara menyeluruh sebagai upaya pencegahan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰۤى اِنَّهٗ كَا نَ فَا حِشَةً ۗ وَسَآءَ سَبِيْلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’ [17]: 32).

Peristiwa ini bukan hanya sekadar kasus kriminal biasa, tetapi cermin rusak dari parahnya sistem pergaulan modern hari ini. Kohabitasi, pacaran, dan liberalisasi seksual yang dianggap wajar-wajar saja merupakan akibat dari lemahnya kontrol sosial dan minimnya pemahaman agama. Ketika nilai-nilai moral dan syariat diabaikan, maka kehidupan akan menemukan kekacauan, sebagaimana yang terjadi pada Alvi dan TAS. Belum lagi dosa besar yang harus ditanggung akibat tidak taat syariat, sebab setiap muslim nantinya akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya selama di dunia.

Islam yang merupakan sebuah sistem hidup sempurna, telah memberikan solusi nyata untuk segala permasalahan kehidupan. Pendidikan akidah menanamkan takwa sejak dini, membentuk karakter individu agar mampu menahan diri dari kemaksiatan. Di samping itu, sistem pergaulan Islam juga mengatur batasan interaksi antara laki-laki dan perempuan, mengatur hubungan sosial agar tidak menimbulkan fitnah atau konflik.

Hukum syariat dan sanksi moral berfungsi sebagai pengingat dan penegak norma, sementara kontrol sosial melalui keluarga dan masyarakat menjaga setiap individu agar tidak terseret dalam aktivitas kemaksiatan yang amat memalukan. Dengan penerapan Islam secara kafah, permasalahan pacaran, kohabitasi, kekerasan dalam rumah tangga, hingga kasus ekstrem seperti mutilasi dapat diminimalkan bahkan dicegah sebelum terjadi.

Kasus Alvi dan TAS menjadi alarm keras bagi masyarakat dan negara, bahwa sistem pergaulan yang hanya mengandalkan norma sekuler dan budaya populer nyatanya tidak mampu menjamin keselamatan moral dan sosial. Islam menawarkan solusi komprehensif, bukan hanya sekadar aturan ritual, tetapi pedoman hidup yang dapat membentuk individu, keluarga, dan masyarakat menjadi tertib, beretika, dan selamat dari kehancuran. Mengabaikan sistem ini berarti membuka pintu lebar bagi tragedi serupa yang akan terulang kembali. Maka dari itu, adalah keharusan menerapkan syariat Islam di dalam kehidupan.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 33

Comment here