Opini

Perbedaan Standar Kemiskinan Nasional dan Global

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Yuli Yana Nurhasanah

Wacana-edukasi.com, OPINI–Cara penghitungan BPS (Badan Pusat Statistik) dan Bank Dunia terdapat perbedaan yang signifikan. Berdasarkan Data Marco Poverty Outlook, pada April 2025 menunjukkan bahwa penduduk Indonesia, dari total penduduk 171,8 juta jiwa, terdapat sebanyak 60,3 persen penduduk Indonesia yang dikategorikan miskin.

Versi penghitungan tingkat kemiskinan BPS masih menggunakan pendekatan kebutuhan dasar dan berapa jumlah minimum yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar yang terkategori miskin. Di sisi lain, kategori miskin dihitung berdasarkan pengeluaran minimum untuk memenuhi kebutuhan yang mendasar, yaitu makanan dan non-makanan. Kebutuhan makan mencakup berapa kalori minimal yang dikonsumsi per orang per harinya, sesuai dengan pola konsumsi rumah tangga di Indonesia. Komponen non-makanan mencakup kebutuhan minimum seperti tempat tinggal, transportasi, pakaian, kesehatan, dan pendidikan.

Pendataan masyarakat miskin yang dilakukan oleh Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) berdasarkan hasil pengumpulan data dan pemotretan pengeluaran serta pola konsumsi masyarakat. Pendataan dilakukan bukan berdasarkan individu, tetapi pada tingkat rumah tangga, karena pengeluaran dan konsumsi dalam kehidupan pada umumnya terjadi secara kolektif. Lain halnya, pendataan yang dihitung oleh BPS mencerminkan apa saja yang dibutuhkan masyarakat Indonesia. ( 06/05/2025. Tirto.ID )

Oleh sebab itu, dibutuhkan data yang akurat mengenai garis kemiskinan di lapangan agar data statistik dan lapangan bisa sinkron. Agar tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara standar kemiskinan nasional dan dunia, di mana penduduk Indonesia dikategorikan mampu secara nasional, tetapi masuk dalam garis kemiskinan ekstrem dalam standar kemiskinan global.

Inilah dampak dari penerapan sistem kapitalisme, karena standar yang rendah dalam tata kelola sosial dan ekonomi. Sistem kapitalisme mengklaim sukses “mengentaskan kemiskinan,” padahal itu semua hanya manipulasi angka untuk menarik investasi, karena nyatanya sistem kapitalisme gagal menyejahterakan rakyatnya dan terdapat kesenjangan yang jelas dalam kehidupan rakyatnya.

Nyatanya, kemiskinan di Indonesia masih menjadi PR besar. Dengan adanya perbedaan standar kemiskinan antara pemerintah dan Bank Dunia tidak serta-merta mengatasi kemiskinan di negeri ini. Meski pemerintah mengklaim standar pemerintah lebih sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia, semuanya hanya kesuksesan semu pemerintah dalam mengurangi angka kemiskinan secara nasional, karena faktanya pemerintah memanipulasi angka demi satu keuntungan untuk menarik investor. Dan keuntungan itu bukan untuk masyarakat miskin, melainkan untuk para korporasi.

Pemerintah cenderung fokus pada program populisnya. Mengatasi masalah dengan pemberian bansos, tetapi abai menanggulangi inflasi dan rendahnya daya beli masyarakat, karena saat ini susah mencari mata pencaharian. Yang sudah ada pun malah marak dengan PHK massal. Maraknya masyarakat menengah ke bawah dalam gurita pinjol dan judi online yang berdampak pada kesehatan mental dan berakhir dengan bunuh diri.

Gagalnya penguasa mengatasi kemiskinan dan menyejahterakan rakyatnya, adalah bukti sistem yang diterapkan saat ini rusak; bahkan kebutuhan paling dasar pun tidak mampu dipenuhinya, seperti layanan kesehatan, pendidikan, akses informasi, dan layanan sosial, karena faktanya banyak yang terbengkalai tanpa penyelesaian, yang hanya semakin menambah daftar panjang permasalahan di negeri kita.

Penanggulangan kemiskinan tidak efektif hanya dengan penyaluran bantuan sosial yang bersifat sementara. Padahal, negeri ini kaya dengan sumber daya alamnya; jika tata kelola yang tepat diterapkan, masalah kemiskinan ini tidak akan ada. Ini membuktikan ada faktor ketidakhadiran penguasa dalam mencukupi kebutuhan rakyatnya. Sudah saatnya kita hempaskan sistem yang rusak yang hanya memberi derita berkepanjangan kepada rakyat, menggantinya dengan sistem Islam, aturan yang berdasarkan Alquran dan Sunnah.

Saat ini, umat membutuhkan kepemimpinan dan peraturan hidup yang berazaskan akidah Islam. Pemimpin yang berakidah Islam tidak akan berkompromi dengan kapitalis, menggadaikan kekayaan alam demi kepentingan diri, golongannya, dan penguasa dengan menghalalkan segala cara. Seorang pemimpin Islam akan menempatkan diri sebagai pengurus rakyatnya, menerapkan sistem ekonomi Islam, serta mendistribusikan harta secara adil dan merata per individu sesuai dengan apa yang dibutuhkan rakyatnya.

Sejatinya, kemiskinan dalam sistem ekonomi Islam bisa diatasi, bukan melalui sistem ekonomi kapitalisme yang aturannya lahir dari pemikiran manusia yang terbatas. Dalam sistem Islam ditegaskan bahwa jika seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, maka ia masuk dalam kategori faqir miskin.

Keadilan dalam sistem Islam bukan hanya bersifat moral, tetapi keadilan juga adalah pilar. Untuk mewujudkan keadilan ekonomi dalam sistem Islam, mekanisme pendistribusian kekayaan menjadi perhatian utama. Tidak ada harta yang beredar hanya di sekelompok orang kaya saja; semuanya harus adil dan merata. Karena dalam praktiknya, keadilan dan pemerataan kekayaan di tengah rakyat itu butuh peran negara. Dalam sistem Islam, negara bukanlah hanya sekadar regulator dan fasilitator para korporasi seperti dalam sistem kapitalisme. Negara dalam sistem Islam bertanggung jawab penuh untuk pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu rakyatnya, dari makanan hingga non-makanan.

Sistem Islam akan melakukan berbagai upaya dan cara untuk mengentaskan kemiskinan, yaitu dengan mengelola sumber daya alam seperti barang tambang, minyak, gas, dan sumber mineral yang merupakan milik umum dan dikelola oleh negara untuk kesejahteraan rakyatnya. Selain itu, negara juga menyediakan lapangan pekerjaan sehingga tidak ada lagi rakyat miskin yang tidak mempunyai sumber mata pencaharian.

Negara menyediakan kebutuhan dasar untuk rakyat, seperti memudahkan pendidikan, layanan kesehatan, dan pelayanan publik yang mudah diakses oleh masyarakat. Semua ini hanya bisa terwujud jika negara menerapkan sistem Islam secara menyeluruh dalam segala aspek kehidupan. Negara Islam akan dipimpin oleh pemimpin yang berakidah Islam, di mana dalam sistem Islam, pemimpin tersebut bertanggung jawab mengurus dan memelihara rakyatnya. Rasulullah ﷺ bersabda: “Imam (khalifah) adalah pemelihara dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). [WE/IK].

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 0

Comment here