Oleh: Novianti
Wacana-edukasi.com, OPINI--Konferensi dengan tema “Kemenangan Gaza adalah Tanggung Jawab Umat” baru saja digelar di Istanbul, Turki, pada Sabtu 26 April 2025 (sindonews.com, 28-04-2025). Konferensi diselenggarakan Koalisi Global dan dihadiri puluhan tokoh nasional, media, budaya, sosial, serikat pekerja, intelektual, dan pemuda, serta lembaga aktif dari sekitar 60 negara. Tujuannya untuk meningkatkan kesadaran bahwa permasalahan Palestina merupakan permasalahan umat Islam dan seruan agar penjajahan Palestina oleh Zionis Yahudi segera diakhiri makin menguat dan mendapat dukungan global.
Kekuatan Tandingan
Sejak lama AS melihat adanya ancaman dari gerakan ideologis yang diusung gerakan non state oleh kaum muslimin. Gerakan yang ingin melanjutkan kehidupan Islam dengan menegakan khilafah. AS melancarkan war on terrorism pasca skenario peristiwa WTC (11-09-2001) untuk menghalangi para pengusung khilafah. Dengan narasi terorisme lalu berkembang menjadi radikalisme, diharapkan pengusung khilafah dijauhi oleh umat Islam.
AS dan negara Barat menyadari ancaman keberadaan khilafah sebagai kekuatan tandingan. Sistem pemerintahan warisan Rasulullah saw. ini pada masa kejayaannya meliputi tiga benua sekaligus yakni Asia, Afrikan, dan Eropa. Ketika itu, khilafah adalah negara adidaya dunia menggeser Romawi dan Persia, menjadi kiblat peradaban selama berabad-abad sebelum runtuh pada 1924 oleh Kemal Ataturk.
Isu penegakan khilafah dikhawatirkan AS dan barat seiring dengan makin meluasnya perlawanan kaum muslimin di berbagai negara terhadap genosida yang terjadi di Palestina oleh Zionis Yahudi. Dalam banyak ruang diskusi, disampaikan wacana khilafah sebagai sistem politik alternatif menggantikan sistem politik demokrasi dan konsep nation state yang gagal mewujudkan perdamaian dan keamanan dunia.
Urgensi Khilafah
Umat Islam di berbagai negara melakukan berbagai upaya untuk menghentikan penderitaan rakyat Palestina mulai dari bantuan makanan dan obat-obatan, donasi, hingga boikot produk-produk Israel dan yang terafiliasi pendukung Israel. Akan tetapi, umat makin menyadari apa yang sudah diupayakan tidaklah cukup, kekuatan militer Israel dan sekutunya harus dilawan lagi oleh kekuatan militer. Seruan jihad pun diserukan oleh para ulama.
Persoalan berikutnya adalah ternyata jihad sulit dilakukan ketika para penguasa negara muslim masih tersekat oleh batas imajiner negara dengan semangat nasionalismenya. Masing-masing tersandera oleh kebijakan politik bebas aktif yang merupakan cara licik barat untuk memecah belah kaum muslimin. Karenanya, tidak satu pun penguasa arab dan negara muslim menyambut seruan jihad para ulama. Ketiadaan kepemimpinan tunggal di tengah kaum muslimin membuat seruan jihad bagai angin berlalu.
Aksi bela Palestina terjadi dimana-mana menyampaikan tuntutan pengiriman tentara atau jihad. Barat menyadari situasi ini, krisis di Palestina bisa membuka pintu yang lebih lebar bagi kebangkitkan umat Islam untuk bersatu dipimpin oleh khalifah di bawah naungan khilafah. Netanyahu pun langsung menebarkan ancaman dalam pidatonya pada Senin (21-4-2025) bahwa ia tidak akan menerima pembentukan khilafah di pesisir Mediterania.
Tantangan Internal
Sayang sekali, kontra terhadap khilafah yang merupakan ajaran Islam malah mendapat dukungan dari kalangan kaum muslimin sendiri. Argumentasi anti khilafah dilontarkan penguasa dan para cendekiawan muslim liberal atau yang minim kecerdasan politik. Di dalam buku Islam dan Harapan Masa Depan Dunia, tulisan Hasbi Anwar dan Ihda Arifin Faiz, mencatat beberapa pendapat tokoh anti khilafah.
Mantan pemimpin NU dan presiden RI, K.H Abdurrahman Wahid, dalam bukunya “Islamku, Islam Anda, Islam Kita” menulis bahwa Islam tidak pernah mengajarkan konsep negara yang tetap yang disebut negara Islam. Keberadaan negara yang berdasarkan Islam akan mendiskriminasi kelompok agama minoritas lainnya. K.H Hasyim Muzadi, K.H Said Aqil Siradj menyebutkan konsep Khilafah dan para pendukungnya di Indonesia merupakan ancaman bagi negara karena ide tersebut tidak berakar pada tradisi dan budaya Indonesia. Mereka dianggap pembuat onar dan pengganggu karena mendekonstruksi negara berdaulat.
Secara umum argumentasi anti-khilafah mengerucut pada tiga hal. Pertama, bahwa Islam tidak mewarisi sistem pemerintahan apapun kecuali pedoman negara universal untuk menciptakan keadilan, kemakmuran, dan kebebasan bagi umat. Kedua, secara historis, tidak ada satu bentuk tunggal negara dalam peradaban Islam sejak era kekhalifahan empat (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali). Ditambah penyorotan pada sisi kelam masa kekhilafahan. Ketiga, perlunya mengadopsi sistem politik modern demokrasi karena tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar syariat.
Racun bagi Umat
Beberapa dekade terakhir, demokrasi menjadi primadona masyarakat modern. Dari 199 negara, ada120 negara yang mengadopsi sistem demokrasi. Sistem ini diyakini bisa mewujudkan kehidupan bermasyarakat yang lebih baik melalui penghargaan terhadap HAM dan partisipasi politik yang setara dan terbuka kepada seluruh masyarakat.
Padahal, belum ada satupun negara sukses dengan menerapkan sistem demokrasi. Tentu ini dilihat dari perspektif Islam, bukan sekadar mengukur kehebatan dari sisi materi. Salah satu fakta yang makin terindra, sistem demokrasi memunculkan benalu-benalu yang bernama oligarki. Kelompok dengan kekayaannya yang sangat besar, mentransfer kekayaan mereka melalui medium politik baik secara langsung maupun tidak langsung yakni lewat kaki tangan yang berada dalam lembaga eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Kelompok oligarki ini membajak penguasa agar berpihak pada kepentingan mereka.
Tidak heran, di semua negara demokrasi bermunculan berbagai problem yang menyedot perhatian dan energi rakyatnya. Kondisi ini sudah Allah gambarkan dalam surah Thaha ayat 124 sebagai konsekuensi meninggakan hukum Allah ,”Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta”.
Persoalan Palestina timbul tenggelam di tengah-tengah tumpukan masalah di semua negara demokrasi tak terkecuali pada negara-negara muslim. Penguasanya silih berganti, berbagai kebijakan digulirkan, tetapi masalah bertambah kusut. Apa yang terjadi di Palestina tidak dipandang sebagai bagian permasalahannya karena beda negara terlebih problem internal sangat banyak. Inilah racun demokrasi yang benar-benar telah melumpuhkan daya nalar dan empati umat Islam.
Penutup
Solusi tuntas bagi persoalan Palestina adalah dengan jihad, sedang jihad menuntut keberadaan khalifah. Kaum kafir bisa dikalahkan ketika seluruh umat Islam bersatu dalam naungan khilafah. Kembalinya kekhilafahan dan kejayaan umat Islam adalah kepastian berdasarkan janji Allah Swt. dan bisyarah Rasulullah saw. Akan tetapi, kehadirannya tidak bisa turun dari langit melainkan harus diperjuangkan dengan mengikuti metode Rasulullah saw.
Dalam surah Al-Ahzab ayat 21 Allah berfirman ,”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” Artinya umat Islam harus merujuk pada jejak Rasulullah dalam upaya menegakkan sistem Islam.
Islam sudah mendesain tata kelola negara berdasarkan pada wahyu Allah Swt. zat dengan seluruh sifatnya yang agung dan mustahil salah. Hal ini tidak boleh diragukan karena sudah Allah sampaikan di halaman awal, tidak ada keraguan di dalam Al-Quran. Hanya dengan kembali pada sistem Islam, semua persoalan bisa diselesaikan sesuai hukum syarak termasuk terkait Palestina. Oleh karenanya, penegakan khilafah harus menjadi isu sentral yang disampaikan kepada umat agar tuntutan itu makin menggema di seluruh negara muslim. Akhirnya tidak ada pilihan lain bagi penguasanya kecuali menyerahkan kekuasaan kepada khalifah pilihan rakyat yang menerapkan hukum Islam. [WE/IK].
Views: 0
Comment here