Oleh: Riena Enjang (Pegiat Dakwah)
Wacana-edukasi.com, OPINI-Dalam beberapa waktu terakhir, Indonesia diguncang oleh serangkaian kasus pelecehan seksual yang melibatkan figur publik dari dunia akademik, aparat penegak hukum, hingga tenaga medis. Di Universitas Gadjah Mada, Guru Besar Fakultas Farmasi, Prof. Edy Meiyanto, dipecat setelah terbukti melakukan pelecehan seksual terhadap 13 mahasiswi dengan modus memanfaatkan sesi bimbingan akademik, termasuk di rumah pribadinya.
Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma, juga dipecat secara tidak hormat setelah terbukti melakukan pelecehan terhadap empat korban, termasuk anak-anak, serta menyebarkan konten asusila secara daring—kasus yang terungkap berkat kerja sama Kepolisian Australia dan Indonesia. Di ranah medis, kasus serupa mencuat di berbagai daerah. Di Malang, seorang dokter berinisial YA dilaporkan oleh pasien karena diduga melakukan pelecehan seksual saat pemeriksaan di ruang IGD tanpa izin dan pengawasan. Di Bandung, dr. Priguna Anugerah P., seorang dokter PPDS anestesi di RS Hasan Sadikin, ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan pemerkosaan terhadap pendamping pasien, yang mengakibatkan pencabutan hak praktiknya seumur hidup oleh Konsil Kesehatan Indonesia.
Sementara itu, dilansir dari compas.id (22-4-2025), di Garut, dokter spesialis kandungan M. Syafril Firdaus dilaporkan atas tindakan pelecehan seksual yang dilakukan ketika pemeriksaan USG. Tak tanggung-tanggung, ada lima orang yang berani melaporkan dengan kasus yang sama. Akhirnya, pelaku dijerat dengan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Pasal 6 C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022, dengan ancaman pidana maksimal 12 tahun penjara dan denda Rp 300 juta. Kasus-kasus ini menyoroti urgensi penegakan hukum yang tegas serta pembenahan sistem perlindungan terhadap korban di lingkungan pendidikan, kepolisian, dan layanan kesehatan.
Pelecehan Seksual Cermin Krisis Relasi Kuasa dan Kegagalan Sistemik
Kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang melibatkan figur publik di bidang pendidikan, kesehatan, dan kepolisian menunjukkan bahwa kejahatan ini tidak sekadar masalah moral pribadi. Maraknya kasus kekerasan seksual mencerminkan ketimpangan dalam relasi kekuasaan, dan kegagalan sistemik dalam menanggulangi atau menindak pelaku kekerasan seksual. Pelaku sering kali memanfaatkan posisi mereka untuk menekan korban. Sementara itu, institusi terkait sering kali lambat dalam penanganan, atau ragu untuk mengambil tindakan tegas demi mempertahankan reputasi mereka.
Ketika sistem pengawasan lemah, prosedur pelaporan tidak aman, dan perlindungan korban kurang memadai, maka pelecehan seksual menjadi tindakan yang terus berulang terjadi tanpa disadari. Hal ini menunjukkan bahwa reformasi menyeluruh sangat diperlukan, yaitu mulai dari edukasi kesetaraan dan seksualitas di ruang publik, hingga penegakan hukum yang mendukung korban dan perombakan budaya institusional yang masih melanggengkan impunitas.
Meskipun Indonesia mayoritas Muslim dan telah memiliki regulasi seperti UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), serta lembaga seperti Komnas Perempuan dan Kementerian PPPA, tetapi kekerasan seksual tetap marak. Akar persoalan ini karena adanya penerapan sistem sekularisme-liberalisme. Sistem ini mendorong maraknya pergaulan bebas, dan membanjirnya konten pornografi. Padahal, seharusnya bisa dicegah melalui UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, serta eksploitasi perempuan dalam berbagai bentuk.
Akibatnya, relasi bebas antara pria dan wanita menjadi hal biasa. Perempuan pun makin rentan dijadikan objek seksual. Hal ini diperparah dengan lemahnya penegakan hukum, di mana pelaku kerap mendapat sanksi ringan, dan korban enggan melapor karena trauma, akibatnya upaya perlindungan pun menjadi tidak optimal, meski hukum sudah tersedia.
Islam Menjaga Hak dan Martabat Perempuan
Islam hadir sebagai sistem hidup yang menyeluruh termasuk memberikan perlindungan nyata bagi perempuan. Islam juga menetapkan aturan-aturan yang menjaga kehormatan, keamanan, dan martabat mereka secara utuh. Berbeda dari sistem sekular-liberal yang sering menjadikan perempuan hanya sebagai objek seksual dan komoditas ekonomi.
Islam secara tegas mengatur interaksi antara laki-laki dan perempuan melalui larangan berkhalwat (berdua-duaan tanpa mahram), perintah menutup aurat, serta pembatasan percampuran laki-laki dan perempuan (ikhtilât), kecuali dalam kondisi darurat, atau kebutuhan yang sah menurut syariat. Aturan ini bukan bentuk pembatasan kebebasan, melainkan penjagaan dari kerusakan moral dan sosial yang kerap muncul akibat kebebasan yang tanpa batas. Allah berfirman :
“مَنْ عَمِلَ صَٰلِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُۥ حَيَوٰةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ”
“Siapa saja yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan, sementara dia beriman, maka sungguh akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Kami akan beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (TQS an-Nahl : 97)
Ayat ini menegaskan bahwa dalam Islam, amal shalih dan keimanan menjadi tolok ukur utama, bukan peran sosial atau jenis kelamin. Dengan prinsip tersebut, Islam memuliakan perempuan sebagai subjek yang harus dilindungi dan dihormati, bukan dikomersialkan. Islam juga menetapkan laki-laki sebagai qawwam (pemimpin dan pelindung) bagi perempuan dalam lingkup keluarga dan masyarakat. Selain itu, Islam menerapkan hukuman yang tegas terhadap pelaku kekerasan seksual, guna mencegah berulangnya kejahatan dan memberikan rasa aman kepada perempuan.
Dalam sejarahnya, Islam mencatat kiprah perempuan seperti Khadijah ra. dan Aisyah ra. yang berperan besar dalam bidang dakwah, keilmuan, dan sosial tanpa kehilangan kehormatan dan jati diri mereka. Dengan menjadikan iman dan takwa sebagai fondasi hubungan sosial, bukan hawa nafsu atau standar materialistik, Islam benar-benar menciptakan lingkungan yang melindungi kemuliaan perempuan secara hakiki.
Kasus pelecehan seksual yang melibatkan figur publik di Indonesia, seperti di dunia akademik, kepolisian, dan medis, menunjukkan bahwa kejahatan ini bukan hanya masalah moral individu, tetapi juga cerminan ketimpangan relasi kuasa dan kegagalan sistemik dalam menanggulangi kekerasan seksual. Meski telah ada regulasi seperti UU TPKS, sistem sekular-liberal yang mendominasi mendorong pergaulan bebas dan eksploitasi perempuan, sementara penegakan hukum yang lemah menghalangi upaya perlindungan korban.
Dalam konteks ini, Islam hadir sebagai sistem hidup yang menyeluruh dengan prinsip perlindungan terhadap perempuan, menekankan kehormatan, keamanan, dan martabat mereka melalui aturan tegas mengenai aurat, interaksi pria-wanita, serta larangan eksploitasi. Dengan dasar keimanan dan takwa, Islam menyediakan solusi untuk menjaga kemuliaan perempuan, memastikan mereka dilindungi dari kekerasan seksual, serta mencegah terulangnya kejahatan serupa, melalui penerapan hukuman tegas bagi pelaku. [WE/IK].
Views: 3
Comment here