Oleh: Iffah Komalasari (Pengajar Tsaqafah Islamiyyah di Hagia Sophia ILS Sumedang)
Wacana-edukasi.com, OPINI–Setiap kali negeri ini memperingati Hari Santri, selalu muncul dua rasa yang bersisian: haru dan tanya. Di berbagai pelosok, pesantren dan sekolah Islam tampak semarak dengan upacara, kirab, pembacaan kitab, hingga festival sinema. Lagu perjuangan berkumandang, pujian dari para pejabat mengalir. Termasuk dari Presiden Prabowo Subianto yang menyebut santri sebagai penjaga moral dan pelopor kemajuan bangsa, seraya mengenang semangat Resolusi Jihad KH. Hasyim Asy’ari (setneg.go.id, 24/10/2025).
Akan tetapi, di balik semarak itu, ada keprihatinan yang tak bisa ditutupi. Apakah semangat jihad dan keteguhan iman para santri dahulu masih hidup di tubuh dunia pesantren hari ini? Ataukah Hari Santri kini hanya menjadi rutinitas seremonial tanpa arah perubahan?
Refleksi Sejarah
Sejarah Nusantara tak bisa dilepaskan dari kiprah para santri dan ulama yang sejatinya merupakan para intelektual muslim. Merekalah penjaga ilmu dan peradaban yang mengajarkan Islam, menyebarkan dakwah, dan menegakkan kehormatan umat. Jiwa mereka menyala oleh semangat jihad fi sabilillah melawan segala bentuk penjajahan dan kezaliman.
Dari Sunan Kudus dan Pati Unus yang memimpin penyerangan ke Malaka, hingga perjuangan heroik dalam Perang Padri, Perang Diponegoro, dan Perang Aceh. Semuanya menjadi bukti bahwa santri dan ulama adalah garda terdepan perjuangan umat. Di Jawa Barat, K.H. Zaenal Mustofa dari Sukamanah, Tasikmalaya, memimpin perlawanan melawan Belanda hingga Jepang, dan akhirnya gugur syahid bersama santri-santrinya.
Tidak berhenti di situ, perjuangan mereka berlanjut dalam bentuk gerakan sosial-politik Islam. Dari Syarikat Islam hingga berdirinya Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, semuanya digagas oleh ulama dan santri dengan visi ideologis, bukan sekadar perjuangan politik praktis. Mereka memahami, Islam bukan hanya agama ritual, melainkan sistem hidup yang sempurna dan unggul di atas semua ideologi.
Dari Penjajahan Fisik ke Penjajahan Pemikiran
Kini, bentuk penjajahan memang telah berubah. Penjajahan fisik mungkin berakhir, tapi penjajahan gaya baru (neoimperialisme) menyusup ke setiap sendi kehidupan. Kapitalisme global mencengkeram dunia Islam, termasuk Indonesia, melalui politik, ekonomi, budaya, dan media. Akibatnya, negeri ini tidak benar-benar merdeka.
Umat Islam dibuat jauh dari kekuatan ideologisnya melalui serangan pemikiran dan budaya sekuler. Mereka dijejali nilai-nilai liberalisme, demokrasi, dan nasionalisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Maka tak heran, ajaran Islam yang semestinya menjadi ideologi perlawanan kini justru dipinggirkan.
Tragisnya, pesantren yang dahulu menjadi benteng jihad dan perlawanan, justru diarahkan menjadi pusat pelatihan keterampilan kerja. Santri didorong menjadi agen ekonomi kreatif, bukan lagi mujahid penegak syariat. Kata “jihad” dihindari, diganti dengan istilah lembut seperti “kontribusi sosial” dan “moderasi beragama.” Padahal, ruh jihad inilah yang dulu menggerakkan santri untuk berkorban demi izzul Islam wal muslimin.
Potensi Besar, Tantangan Besar
Kementerian Agama mencatat, pada Oktober 2025 terdapat 42.391 pesantren di seluruh Indonesia dengan lebih dari 2,5 juta santri aktif (dataloka.id, 7/10/2025). Angka ini menunjukkan potensi luar biasa bagi kebangkitan Islam. Dengan sistem pendidikan khas yang menumbuhkan kemandirian dan ketangguhan, pesantren sejatinya mampu melahirkan generasi yang faqih fiddin sekaligus memiliki kesadaran politik Islam tinggi.
Namun, potensi besar itu justru dihadapkan pada arus deras sekularisasi. Kurikulum pesantren dipengaruhi oleh ide deideologisasi, hingga ilmu-ilmu Islam kehilangan daya transformatifnya. Tak heran jika hasil pendidikan pesantren belum sepenuhnya mampu menggerakkan perubahan sosial dan politik berbasis Islam.
Lebih dari itu, pesantren kerap diserang oleh stigma negatif—dari tudingan “sarang radikalisme” hingga fitnah kekerasan seksual. Semua itu adalah bagian dari upaya sistematis untuk melemahkan peran politik pesantren, agar tidak lagi menjadi basis perjuangan melawan penjajahan gaya baru.
Moderasi dan Pembajakan Peran Pesantren
Narasi perang melawan teror yang dikampanyekan Barat sejak 11 September 2001 adalah contoh nyata propaganda global untuk memonsterisasi Islam politik dan Khilafah. Di Indonesia, efeknya adalah munculnya proyek moderasi beragama, deradikalisasi, dan ekonomi pesantren. Ini merupakan cara halus untuk menjauhkan pesantren dari peran ideologisnya.
Pesantren kini diarahkan menjadi mitra dalam proyek kapitalisme. Didorong untuk berkolaborasi dengan pemilik modal, sibuk dengan program pemberdayaan ekonomi, dan dijauhkan dari peran strategisnya sebagai benteng aqidah dan pusat perjuangan Islam kaffah. Wibawa dan potensi politik santri pun terkurung dalam sistem demokrasi yang pragmatis dan materialistik.
Revitalisasi Aktivisme Santri
Realitas ini tidak boleh dibiarkan berlarut. Sudah saatnya para santri dan ulama merevitalisasi peran mereka, yakni kembali kepada orientasi perjuangan yang transendental. Aktivisme santri harus kembali menjadi kekuatan ideologis yang siap menggagas kebangkitan umat dan memimpin perlawanan terhadap penjajahan gaya baru.
Santri sejati bukan hanya penghafal kitab, tetapi pembaca zaman. Mereka memahami bahwa tugas utama bukan sekadar menjaga moral, melainkan memperjuangkan tegaknya syariat. Mereka bukan agen moderasi, tapi penjaga akidah dan pelopor peradaban Islam.
Hari Santri harus dimaknai sebagai momentum kebangkitan, bukan nostalgia. Santri masa kini mesti melanjutkan estafet perjuangan ulama terdahulu dengan menyalakan kembali semangat jihad—jihad intelektual, moral, dan politik—untuk menegakkan Islam sebagai solusi atas seluruh persoalan umat.
Dari Keprihatinan Menuju Harapan
Meski tantangan besar menghadang, harapan itu belum padam. Di berbagai pelosok negeri, masih banyak pesantren dan santri yang istiqamah menjaga ruh perjuangan Islam. Mereka tetap menyalakan api dakwah, mengajarkan tauhid, membimbing masyarakat, dan menanamkan keyakinan bahwa hanya dengan Islam, kemuliaan umat akan terwujud.
Maka, Hari Santri seharusnya menjadi momen aktivasi kesadaran kolektif: bahwa peran santri bukan sekadar bagian dari masa lalu, tetapi kunci masa depan. Di tangan santri yang beriman, berilmu, dan berani menegakkan syariat, peradaban Islam akan kembali bangkit dan memimpin dunia dengan keadilan dan rahmat. Wallahu a’lam bishshawwab.
Views: 11


Comment here